Sejumput Tentang Lamut

Oleh : Arsyad Indradi

I. Pendahuluan
Lamut adalah salah satu genre sastra Banjar atau kerap diartikan sebagai cerita bertutur yang dikhawatirkan suatu saat nanti akan punah. Disebabkan karena hampir tidak ada lagi yang berminat untuk menjadi Palamutan (orang yang bercerita lamut), dan tidak ada yang peduli dari masyarakat Banjar itu sendiri, lembaga atau instansi seni budaya untuk melestarikan kehidupan lamut yang semakin langka ini.

Mengapa dikatakan Lamut? Sebagian pendapat mengatakan bahwa lamut diambil dari nama seorang tokoh cerita di dalamnya, yaitu Paman Lamut seorang tokoh yang menjadi panutan atau sesepuh, baik di lingkungan kerajaan atau pun masyarakat seperti halnya Semar dalam cerita wayang. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa lamut berasal dari kesenian Dundam yaitu cerita bertutur dengan menggunakan instrumen perkusi yaitu tarbang. Bercerita sambil membunyikan (memukul) alat tersebut. Konon, pendundam ketika membawakan ceritanya tidak tampak atau terlihat samar dalam gelap. Cerita yang dibawakan adalah dongeng kerajaan Antah Berantah. Sedang berlamut, pelamutannya tampak oleh penonton dan ceritanya menurut pakem yang ada walau tak tertulis. Cerita yang dikenal masyarakat Banjar yakni cerita tentang percintaan antara Kasan Mandi dengan Galuh Putri Jung Masari. Kasan Mandi adalah putra dari Maharajua Bungsu dari Kerajaan Palinggam Cahaya, sedangkan Galuh Putri Jung Masari adalah putri dari Indra Bayu, raja dari Mesir Keraton. Kasan Mandi kawin dengan Galuh Putri Jung Masari dan melahirkan seorang putra bernama Bujang Maluala. Di dalam cerita ini ada tokoh antagonis bernama Sultan Aliudin yang sakti mandraguna dari Lautan Gandang Mirung yang jadi penghalang, dan terjadi perang tanding. Kasan Mandi dibantu oleh Paman Lamut bersama anak–anaknya yaitu Anglung, Anggasina, dan Labai Buranta, akhirnya dapat mengalahkan Sultan Aliudin.

II. Sejarah Lamut
Berlamut sudah ada sejak zaman kuno yaitu sekitar tahun 1500-1800 Masehi tetapi dalam bercerita tidak menggunakan tarbang. Ketika Agama Islam masuk ke Kalimantan Selatan, setelah Raja Banjar Sultan Suriansyah wafat, barulah berlamut memakai tarbang. Sebab kesenian Islam terkenal dengan Hadrah dan Burdahnya.

Seiring dengan pesatnya penyebaran agama Islam, kesenian Islam sangat berpengaruh pada perkembangan kebudayaan dan kesenian Banjar. Terutama syair–syair dan pantun yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Dan lamut juga mendapat tempat yang strategis dalam penyebaran Islam di masyarakat Banjar.

Ketika Sultan Suriansyah masuk Islam, banyak kebudayaan dan kesenian Jawa, terutama dari Demak (Jawa Tengah), berbaur dengan kebudayaan dan kesenian Banjar. Maka tak heran Lamut mendapat pengaruh juga dari seni Wayang Kulit khususnya pada dialognya yang mirip dialog dalam wayang. Lamut bukan saja berkembang di seluruh pelosok Kalimantan Selatan tetapi juga sampai di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

III. Penyajian, Fungsi, Penggarapan, dan Instrumen.
A. Penyajian
Lamut pada umumnya ditampilkan pada malam hari sebagai hiburan bagi masyarakat Banjar saat acara perkawinan, manyampir (berkaitan dengan tradisi keluarga), dan perayaan hari–hari besar. Durasi penampilan lamut biasanya berkisar antara 3 sampai 5 jam.

Palamutan membawakan cerita dengan duduk di sebuah meja kecil bernama cacampan yang berukuran 1,5 x 2 meter. Cacampan ini diberi titilaman (tilam kecil). Pada waktu dulu, di hadapan palamutan disediakan parapen (perapian), dupa, dan kemenyan yang selalu berasap dan sebiji kelapa muda yang sudah dipangkas untuk minuman palamutan. Penonton lamut biasanya duduk melingkar seperti tapal kuda.

Lamut termasuk teater tutur yang mempunyai komponen cerita, sutradara atau dalang, penokohan, penonton, dan tempat pertunjukan. Pelamutan sekaligus bertsebagai sutradara atau dalang yang menciptakan karakter meskipun sudah ada pada pakem.

B. Fungsi
Lamut berfungsi :
Sebagai media dakwah agama Islam dan pemuatan pesan–pesan pemerintah atau pesan dari pengundang lamut.
Sebagai hiburan.
Manyampir, yaitu tradisi bagi keturunan palamutan.

Hajatan seperti untuk tolak bala atau sebagai doa selamat pada acara kelahiran anak, khitanan atau sunatan, dan saat mendapat rezeki. Menurut kepercayaan, kalau manyampir dan hajat ini tidak dilaksanakan maka akan mengakibatkan mamingit, yakni menyebabkan sakit bagi yang bersangkutan.

Sebagai pendidikan terutama mengenai tatakrama kehidupan masyarakat Banjar. Biasanya berisi petatah-petitih berupa nasehat, petuah atau bimbingan moral.

C. Penggarapan
Lamut mempunyai struktur lakon, yaitu :
Sebelum memulai cerita, Pelamutan terlebih dahulu membunyikan tarbang dengan nyanyian pembukaan yang terdiri dari syair–syair dan pantun.
Narator dan berdialog dilaksanakan dengan terampil oleh pelamutan sendiri.
Antarababak–babak lakon selalu diselingi dengan lelucon.
Ditutup kembali dengan bunyi–bunyian tarbang yang dinamis.

Cerita pada lamut merupakan cerita yang turun temurun, bentuk baku yang tidak tertulis. Sebab tidak ada buku–buku yang merupakan bentuk baku cerita lamut. Oleh karena itu, tidak jarang pelamutan membawakan sebuah kisah yang merupakan penambahan atau pengurangan dari cerita aslinya, bahkan ada yang keluar sama sekali dari carangan (bentuk baku).

Sebenarnya bentuk cerita baku yang ada adalah bermula pada sebuah kerajaan yang diperintah oleh seorang raja bernama Jaya Sakti yang berputra kembar bernama Indra Bungsu dan Indra Bayu. Indra Bungsu berputra Kasan Mandi, sedangkan Indra Bayu berputri Galuh Putri Jung Masari. Kasan Mandi kawin dengan Galuh Jung Masari dan melahirkan Bujang Maluala.

Kemudian Bujang Maluala menikah dengan putri maharaja Cina bernama Dandan Amas Salian Kaca dan melahirkan seorang putra bernama Bujang Busur. Bujang Busur kawin dengan Hindawan Bulan dan melahirkan Bujang Jaya. Lalu Bujang Jaya kawin dengan putri Walayu Galuh Mamagar Sari.

Setiap dinasti ini mempunyai cerita tentang percintaan, perang dengan adu kesaktian. Namun tokoh–tokoh yang selalu hadir dalam setiap cerita yaitu Paman Lamut, Anglung, Anggasina, dan Labai Buranta, sebagai pendamping setia, penasihat dan panglima perang dari putra –putra raja tersebut.

Setelah dinasti Bujang Bungsu, cerita lamut sudah mengalami perkembangan cerita oleh pelamutan yakni menciptakan cerita baru yang lebih menarik. Memang kreativitas pelamutan sangat diperlukan agar cerita lebih menarik, baik bumbu dialog maupun gaya ceritanya.

Dalam pengembangan cerita dapat pula mengambil dari cerita Panji, cerita Andi–andi, tutur candi, dongeng seribu satu malam, atau pun cerita rakyat lainnya, tetapi dalam cerita itu tetap ada tokoh utama yakni Paman Lamut berikut anak–anaknya Anglung, Anggasina, dan Labai Buranta.

D. Instrumen
Instrumen sebagai penunjang lakon yang digunakan oleh pelamutan adalah sebuah tarbang lamut. Tarbang ini bentuknya seperti rebana namun lebih besar, dengan ukuran diameter 45 sampas 60 cm, terbuat dari kayu seperti kayu nangka, kayu sepat, kayu kursi atau kayu apa saja yang liat (keras), diberi kulit kambing kemudian disimpai sedemikian rupa dengan rotan. Agar kencang, kulit tersebut diberi pasak kayu pada penampang bagian belakang tarbang dan dipasak dengan batangan rotan pada bagian dalamnya.

IV. Pantun dan syair dalam Lamut.
Pelamutan setelah memukul tarbang dengan beberapa irama, sebagai tradisi maka ia menghaturkan salam kepada penonton dengan berpantun sebagai pembuka. Pantun tersebut antara lain :
Tabusa salah sarai sarapun
Bawa balayar kuliling nargi
Lamun tasalah banyak-banyak maminta ampun
Kisah Banjar dibawa kamari
Pinang anum barangkap – rangkap
Pinang tuha barundun – rundun
Lawan nang anum maminta maaf
Lawan nang tuha maminta ampun
Kemudian dilanjutkan dengan bersyair. Hal ini merupakan ungkapan bermacam peristiwa, dengan berlagu. Antara lain :
Bismillah itu mula pang ku bilang
Kartas pang dawat jualan dagang
Kartasnya putih salain lapang
Pena manulis di kartas lapang
Bukan badanku pandai mangarang
Hanya taingat di dalam badan
Syair tidak sembarang ucap, tetapi berplot, seperti berikut ini :
Hanyarkurait pulang kaya bilaran
Satu pang tali, dua pang lalaran
Katiga tungkat, ampat pang ukuran
Kalima jarum, anam kulindan
Tujuh kompas, lapan padoman
Kasambilan teori politik
Kasapuluh lawan aturan
Syair yang mengungkapkan sebuah negeri atau kerajaan yang kaya raya, makmur sejahtera. Antara lain :
Nargi Palinggam Cahaya mimang sugih
Handak malunta ada hundang
Bajanggut amas, sisiknya pirak, matanya intan
Lah jua baisi jukung bapangayuh bagiwas
Ulin manggis, bapananjak buluh parindu

Ada beberapa prosa lirik merupakan monolog dalam mengungkapkan jalan cerita, maupun keindahan atau kecantikan seseorang. Misalnya :

Bengkengnya Galuh Putri Jung Masari dalam mahligai. Sabagaimana kambang nang sadang harum–harumnya. Rupa bungas, rupa nang langkar, manisnya. Bakambang goyang, bagalang di batis. Anak rambutnya malantang wilis. Putih kuning kuku panjang nipis nang kaya gambar ditulis.

Kemudian penuturan cerita biasanya disertai dengan prosa lirik, seperti :

Kasan Mandi maluncat ka atas kuda, lamut ka atas kuda Kasan Mandi. Mamukul kuda, lamut jua, tarur Kasan Mandi mambalap ka hujung kampung nargi Palinggam Cahaya.Lamut mambontel di balakang malalui Pasiban Basar. Jauh tatinggal, maka ujar Kasan Mandi : “ Paman Lamut lakasi paman , malam pacangan kadap, subuh tatarang upih, kita mudahan sampai ka rimba rimbangun.

V. Salah Satu Cerita dalam Lamut
Bujang Maluala
Setelah dewasa pergi berlayar tanpa tujuan, ditengah lautan tidak disangka – sangka kapalnya dilanda topan sehingga kapalnya hancur., dan kapalnya terapung hanyut sesat ke banua Cina.

Bujang Maluala beserta ponakawannya Lamut, Anglung, Anggasina, dan Labai Buranta menyamar seperti orang Cina, dan masing – masing merubah nama yang disesuaikan dengan nama orang cina.

Kerajaan Cina sangat besar, rajanya bernama Tiung Dermawan mempunyai putri bernama Dandan Amas Salian Kaca serta amban. Benua Cina ini bernama Siming Dermaya.

Bujang Maluala merindukan putri raja meskipun dia belum pernah bertemu Cuma mendengar namanya saja. Kemudian dia minta agar dirinya dijual pada orang Cina itu. Lalu Lamut menjual pada raja Cina itu. Dan bertuigas sebagai pesuruh mengerjakan perintah putri di rumah.

Tak lama kemudian Bujang Maluala jatuh sakit lalu dipukul oleh putri karena dianggap malas bekerja. Bujang Maluala melarikan diri dan melaporkan hal ihwal yang dialamainya kepada Lamut. Kemudian Lamut memberikan minyak guna – guna, maka minyak itu disapukan kepada putri, akhirnya putri jatuh cinta., kemudian Bujang Maluala kawin dengan putri, dan memperoleh putra diberi nama Bujang Busur.

-

Arsip Blog

Recent Posts