Semangat Seni Tradisi Bangkit di Lombok

Oleh : Khaerul Anwar

Suara seruling yang melengking-mendayu berpadu dalam irama gamelan, memecah kesunyian malam di Dusun Mapak, Desa Kuranji, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Lewat temaram cahaya lampu neon, para penabuh yang rata-rata berusia tua tampak penuh konsentrasi saat menabuh gamelan mengatur harmoni gending. Para penabuh itu tengah berlatih memainkan gending pengiring pertunjukan wayang kulit Sasak Lombok yang puluhan tahun seakan telah "mati suri".

Di tempat terpisah, saat matahari beranjak ke barat, di Dusun Punikan, Desa Batu Mekar, Lombok Barat, sekelompok anak muda mengakhiri latihan menabuh musik Kemidi Rudat.

Letih bercampur puas tergurat pada wajah mereka karena sejak sore tenaga dan konsentrasi menabuh. Lalu, instrumen musik tradisi itu satu per satu mereka kumpulkan. Apalagi satu biola dan dua buah genderang untuk latihan merupakan pinjaman dari tetangga dusun.

"Kami belum tahu persis apa latar belakang munculnya seni pewayangan dewasa ini. Yang jelas di situ ada semangat yang menyala-nyala dari generasi muda dan kalangan tua untuk berkesenian," ujar Sadauridin, Ketua Pepadi (Persatuan Pedalangan Indonesia) Komisariat Daerah NTB.

Menurut dia, dewasa ini tercatat ada 40 orang dalang wayang serta 30 kelompok wayang di Lombok, sebagian besar bentukan baru. Di luar jumlah itu, puluhan anak muda giat berlatih mendalang, dan menghafal musik pengiring wayang.

Untuk itu, mereka tidak segan-segan meminjam alat tabuh dari teman ataupun kelompok lain. "Tar atau rebana sebanyak empat buah, dan sebuah biola ini kami pinjam dari teman. Sedang jidur (bedug) milik kami sendiri," ujar Udin, Ketua Kelompok Kesenian Kemidi Rudat Dusun Punikan.

Kemidi (Komedi) Rudat, diambil dari nama tarian yang tampil sebagai pertunjukan pembukaan. Gerak tarinya serupa pencak silat, pemainnya memakai tarbus (topi ala serdadu Turki) dan penarinya melantunkan lagu berirama Timur Tengah.

Pemain teater keliling ini menggunakan bahasa Melayu Arab, sedang lakon yang diangkat umumnya Kisah 1001 Malam. Tokoh Hadam (pesuruh raja) yang berkostum ala badut menjadi daya tarik khusus dan kunci keberhasilan dalam pertunjukan Kemidi Rudat.

Adapun wayang kulit Sasak agak berbeda dengan pertunjukan wayang di daerah lain. Berbeda dengan wayang yang seluruh pertunjukan didominasi peran dalang.

Misalnya, sumber cerita adalah Serat Menak yang juga dipakai dalam wayang golek, sedang wayang Jawa dan Bali memakai Mahabharata dan Ramayana. Bentuk panggung wayang Sasak, penontonnya berhadapan dengan ranggon (panggung) dan kelir (layar), sementara penonton wayang Jawa umumnya berada di belakang dalang dan penabuh gamelan.

Dalam beberapa dasawarsa terakhir, seni wayang Sasak tergusur oleh kehadiran media audiovisual modern yang lebih banyak menyedot penggemar, meski dalang mencoba bertahan dengan berkreasi menyangkut kelampan (cerita) yang umumnya serius.

Kreasi baru ini dilakukan melalui tokoh-tokoh yang akrab di tengah kehidupan masyarakat sekarang, terutama pada adegan rerencekan (selingan) yang berisi banyolan lewat dialog antartokoh panakawan agar penonton lebih tertarik.

Dalang H Lalu Nasib, warga Desa Gerung, Lombok Barat, tergolong berhasil membawa wayang dalam corak ini.

Belakangan dalang Arup alias Amak Rani, warga Dusun Gerupuk, Desa Sengkol, Lombok Tengah, juga tampil menonjol. Arup menampilkan wayang aktual yang menyuguhkan kelampan yang diangkat dari kisah penduduk setempat yang diambil tanahnya dalam pembangunan obyek wisata di kawasan Pantai Kute dan Aan.

Dalam pertunjukan wayangnya Arup pun berdialog dengan dalang layaknya pertunjukan Lenong Betawi. Selain itu, penonton bahkan bisa meminta dalang agar mengubah kelampan konvensional dengan kelampan demo (aksi demonstrasi penduduk atas perlakuan pemodal dan pemerintah dalam proses pembebasan tanah di kawasan obyek wisata itu).

NASIB buruk dialami kesenian Kemidi Rudat di Lombok Barat yang pada tahun 2001 jumlahnya hanya tinggal satu. Itu diakui Fathurrahman, Ketua Kelompok Kemidi Rudat Setia Budi, Dusun Terengan, Desa Pemenang Timur, Kecamatan Pemenang, Lombok Barat.

Kesenian ini nyaris kehilangan penonton karena alat musik dan kostum dijual akibat tuntutan perut pemain. Awaknya pun beralih jadi transmigran, buruh ke Bali, dan tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Malaysia.

"Kelemahan kami terletak pada susunan adegan yang baku. Padahal, masyarakat saat ini menuntut lebih dari itu, seperti yang tampil di televisi, katakanlah Ketoprak Humor," papar Fathurrahman. Ia bertekad akan mempertahankan kesenian ini agar terus hidup sekaligus tetap menarik penonton.

Tekad atau komitmen seperti itu agaknya menjadi modal utama para seniman tradisi di Lombok. Sebutlah Ida Wayan Pasha yang tekun memburu dan berhasil membakukan laras nada lokal Lombok. Laras nada yang dinilainya tercecer di berbagai desa itu antara lain terdapat pada vokal penembang seni memaos (membaca) naskah lontar dan berbagai instrumen gamelan.

Warga Kota Mataram itu melakukan perburuannya selama 30 tahun, baik melalui kunjungan ke desa maupun koleksi pribadi beragam alat musik yang dia pajang di halaman depan rumahnya, termasuk alat musik yang dibuatnya sendiri.

Dia merasa terlecut oleh kenyataan bahwa banyak kelompok musik gamelan di Lombok harus memesan instrumen musik tradisi itu dari luar Lombok, namun titi laras nadanya tidak melalui proses paudan atau penyelarasan yang sesuai. Akibatnya, karakter laras nada lokal hilang, sedang tukang paud di Lombok saat ini sangat minim.

Minimnya tukang laras nada, menjadikan instrumen itu tidak dipakai lagi. Sebutlah instrumen rebab, salah satu alat musik pengiring kesenian tari gandrung yang tidak dipakai lagi. Akibatnya, babak parianom, saat penari harus menyanyi, sebagai babak akhir pertunjukan itu, kini tidak dijumpai lagi.

Dengan pembanding tangga nada musik diatonis, Pasha melihat nada B dan E pada laras nada Lombok frekuensi suaranya lebih tinggi, atau naik sedikit (di Bali itu disebut pengumbang) dibanding nada B dan E pada musik diatonis. Berapa frekuensi kenaikan nada B dan E tidak dirinci, karena dia tidak punya alat pengukur untuk menetapkannya. Berbeda dengan standar getar nada A pada musik diatonis yang frekuensinya disepakati 435 per detik.

Komitmen berkesenian itu juga ada pada seniman tari, di antaranya Sulatiah alias Inak Sunin, warga Dusun Punikan, Desa Matu Mekar, Lombok Barat. Dalam usianya yang 65 tahun, kecuali masih mengawal anak didiknya pentas di hotel atau menghadiri undangan hajatan, ia juga bersedia melatih anak-anak dan remaja putri menari gandrung.

Setidakya ada 15 penari di dusunnya yang dilatihnya sendiri, selain pernah melatih siswa Sekolah Dasar Negeri I Narmada.

Tari gandrung yang dipentaskan malam hari terdiri tiga babak, yaitu babak bapangan (memperkenalkan diri) dengan menyatakan dirinya tiang lanang (saya lelaki), kemudian menari sambil menyanyi (besandaran atau bedede).

Kemudian babak gandrungan, yaitu mengibas-ngibas kipas dan menari mengitari arena. Pada saat tertentu penari menyentuhkan kipas (tepekan) pada penonton yang serta-merta maju ke arena untuk menari (ngibing) atau disebut babak parianom. Penonton diberi waktu ngibing sekitar 10 menit, dan sebelum meninggalkan arena ia harus menyerahkan uang.

Kekayaan seni budaya masyarakat di Lombok, agaknya tidak luput dari perhatian seniman dan praktisi tari yang berlatar belakang akademis.

Contohnya Lalu Suryadi Mulawarman alias Cung, tenaga honorer Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB. Lulusan Institut Kesenian Jakarta tahun 2000 itu mengambil beberapa jenis gerakan tari tradisional, kemudian mengembangkannya sedemikian rupa dalam kreasi baru. (Khaerul Anwar)

(Kompascyber)

-

Arsip Blog

Recent Posts