Oleh : Bambang Budi Utomo
Sumatra merupakan salah satu pulau dari enam buah pulau terbesar di dunia dengan luas daratannya sekitar 474.000 kilometer persegi (termasuk kepulauan di sebelah barat dan timur Sumatra). Merupakan pulau besar di bagian barat Nusantara yang dibagi miring oleh garis khatulistiwa. Keadaan ini disebabkan karena pulau ini membentang dari baratlaut ke tenggara yang dibagi dua bagian yang nyaris sama. Ujung baratlaut di wilayah Nangroe Aceh-Darussalam terletak pada garis lintang 5º35’ LU, dan ujung tenggara di wilayah Provinsi Lampung terletak pada garis lintang 5º56’ LS.
Seperti juga Semenanjung Tanah Melayu, keletakkan Sumatra sangat strategis karena terletak di tepi jalur lintas perdagangan antara Persia, India, dan Tiongkok. Meskipun sama strategisnya, namun Sumatra mempunyai kelebihan dalam sumberdaya alam yang menjadi komoditas penting pada kala purba, yaitu kapur barus dan emas.
Bumi Sumatra
Rupabumi pulau Sumatra terdiri dari dataran rendah aluvial yang sebagian besar membentang di sebelah timurlaut, dan rangkaian pegunungan Bukit Barisan membentang di sebelah baratdaya. Pada dataran aluvial mengalir beberapa sungai besar dan kecil yang dapat dilayari hingga pedalaman, misalnya Sungai Barumun, Rokan, Kampar, Batang Kuantan, Batanghari, Musi, dan Sekampung. Sebagian besar sungai-sungai tersebut bermata-air di Bukit Barisan dan bermuara di Selat Melaka, Selat Karimata, dan Selat Bangka. Beberapa batang sungai di antaranya, dipakai sebagai jalur lalulintas air yang “menghidupi” kota-kota besar.
Rangkaian Pergunungan Bukit Barisan yang panjangnya lebih dari 1.600 km., membentang dari Dataran Tinggi Gayo di baratlaut hingga ke Teluk Semangko di tenggara pulau. Rangkaian pegunungan ini terbentuk pada awal zaman Pliosen (60 juta tahun yang lampau), tetapi pada kala Oligosen/Miosen (25 juta tahun yang lampau), telah terjadi sedikit penurunan (Jazanul Anwar et al. 1984: 9). Pada rangkaian pegunungan ini terdapat lebih dari 50 gunung api yang tingginya bervariasi antara 1.600 hingga 3.800 meter d.p.l. antara lain Gunung Talakmau, Kerinci, Singgalang, Merapi, dan Gunung Dempo.
Patahan Semangko memungkinkan material dari dalam bumi terinterusi keluar pada permukaan bumi. Tekanan hebat dari dalam bumi mengakibatkan tonjolan-tonjolan pada permukaannya. Tonjolan yang dikenali dalam geologi sebagai Tumor Batak mempunyai ukuran panjang +275 km. dan lebar +150 km., membentang di antara Sungai Wampu dan Barumun. Ketika Tumor Batak ini meletus sehebat-hebatnya pada 75.000 tahun yang lampau, meterial yang dikeluarkannya menutupi kawasan seluas 20.000—30.000 kilometer persegi. Daerah di sekitar pusat letusan tertutup material tufa mencapai ketebalan 600 meter. Akibat dari letusan dahsyat tersebut, terbentuk dasar Danau Toba tetapi belum mencapai bentuknya yang seperti sekarang ini. Dasar Danau Toba purba merupakan kepundan sebuah gunung api. Serentetan letusan yang lebih kecil membentuk suatu gunung api baru di bagian dalam kepundan besar tersebut. Ketika gunung api yang baru ini meletus juga dan kemudian runtuh, gunung ini terbelah menjadi dua bagian. Bagian barat membentuk “tanjung” Samosir, dan bagian timur membentuk “tanjung” Porsea.
Sumberdaya Alam
Salah satu daya tarik Sumatra untuk dikunjungi saudagar asing adalah sumberdaya alamnya. Karena sumberdaya alam inilah sekelompok pemukiman dapat berkembang menjadi sebuah kota kerajaan. Sumber-sumber tertulis Arab dan Tionghoa, menginformasikan kepada kita mengenai sumberdaya alam yang dijadikan komoditi oleh kerajaan-kerajaan di Sumatra (Hirth & Rockhill 1911).
Berita asing banyak menginformasikan mengenai perdagangan emas dan hasil hutan yang diambil dari bumi Sumatra. Komoditi ini dikapalkan melalui pelabuhan-pelabuhan di tepi sungai-sungai besar pantai timurlaut Sumatra atau di tepi teluk pantai barat. Ada indikasi maju dan mundurnya sebuah pelabuhan dapat tergantung dari sumberdaya alam yang dipasarkan melalui pelabuhan tersebut. Sebuah kota sekaligus pelabuhan sungai atau pantai laut, biasanya mengambil lokasi di tempat yang strategis, dekat dengan sumberdaya alam atau mempunyai akses dengan sumberdaya alam, misalnya pelabuhan Palembang (Po-lin-fong, Ku-kang), Jambi (Chan-pi, Pi chan), Kota Cina, dan Barus (Fansur, Po-li, Barosai).
Komoditi yang cukup populer pada millenium pertama Masehi antara lain kapur barus, damar, storax (bahan dasar untuk membuat minyak wangi), myrobalan, candu, dan benzoin (Groeneveldt 1960; Wheatley 1961: 315-316). Kapur barus merupakan produk alamiah dalam bentuk kristal yang dihasilkan dari sejenis pohon yang tumbuh di hutan tropis Sumatra, Kalimantan, dan Semenanjung Tanah Melayu. Pelabuhan tempat pengapalannya ada di Barus, pantai baratdaya Sumatra.
Damar dan storax juga merupakan komoditi perdagangan yang banyak digemari oleh para pedagang asing (Marsden 2008: 147). Damar adalah semacam terpentin dari spesies pohon pinus dan yang diperdagangkan ada dua jenis, yaitu damar biasa (Agatis alga) dan damar wangi (Araucaria cunninghamii).
Hasil hutan lainnya adalah kemenyan yang berasal dari getah pohon kemenyan (Astyrax benzoin). Kemenyan banyak dihasilkan di daerah sebelah utara khatulistiwa di Tanah Batak, tetapi di sebelah selatan khatulistiwa juga ditemukan dalam jumlah yang terbatas (Marsden 2008: 144).
Dalam sejarah perdagangan Asia, barang logam yang digemari para saudagar dan menjadi komoditi penting dari Sumatra adalah emas (Marsden 2008: 153-159). Karena logam inilah maka Sumatra dikenal juga dengan nama Swarnnadwīpa (= Pulau Emas) atau Swarnnabhūmi (= Tanah Emas). Di samping emas, mineral lain termasuk perak, timah hitam, tembaga, seng, besi, dan air raksa ditambang di Sumatra sebelum abad ke-16 (sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropah (van Bemmelen 1944 (2): 103, 105, 164, 210). Bukti penambangan logam sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropah di Nusantara, ditemukan di daerah pegunungan dekat dengan pantai barat Sumatra, tetapi pekerjaan penambangan tertua ditemukan di daerah Aceh dan Lampung (Miksic 1979: 85).
Beberapa logam lain juga ditemukan di Sumatra seperti perak, plumbum, tembaga, zink, besi, dan air raksa (van Bemmelen 1944: 210; Miksic 1979: 263). Jenis logam tersebut telah lama ditambang jauh sebelum abad ke-16 Masehi, yaitu ketika para penguasa barat melakukan penambangan secara besar-besaran di bumi Sumatra (Miksic 1979: 262). Air raksa banyak ditemukan di Lebong dan cinnabar, satu jenis logam yang mengandung air raksa, telah ditambang di daerah Jambi jauh sebelum kedatangan orang Barat (Miksic 1979: 262; Tobler 1919: 463-464). Cinnabar, plumbum, zink, besi, dan tembaga juga ditambang di Muara Sipongi, Kabupaten Tapanuli Selatan (Sumatra Utara) (van Bemmelen 1944: 210).
Logam lain yang ditemukan belakangan adalah timah. Logam ini ditemukan di Pulau Bangka secara tidak sengaja. Menurut Marsden dalam History of Sumatra (1740), disebutkan bahwa timah ditemukan ketika salah sebuah rumah penduduk Tionghoa terbakar (Marsden 2008: 159). Karena panasnya api, maka bijih timah yang terkandung di bawah lantai rumah mencair. Sejak saat itulah bangsa barat dengan memanfaatkan tenaga setempat, menambang timah secara besar-besaran. Pada masa pemerintahan Kesultanan Palembang, timah dari Bangka dan Belitung menjadi barang komoditi utama.
Bangsa Bahari
Apabila ditelusuri sampai jauh ke belakang ketika orang-orang penutur bahasa Austronesia menyebar, pada hakekatkan bangsa Indonesia adalah Bangsa Bahari. Hidup matinya kerajaan-kerajaan besar di Sumatra selain tergantung dari sumberdaya alamnya, juga tergantung dari peranan kebaharian masyarakatnya. Kalau ingin menguasai Selat Melaka, maka kerajaan yang ada di sekitarnya haruslah mempunyai kekuatan laut.
Śrīwijaya dan Mālayu dikenal sebagai kerajaan bahari. Sepanjang kelangsungan hidupnya, kerajaan ini menguasai perairan sekitar Selat Melaka dan perairan sebelah barat Nusantara. Sebuah berita Tionghoa menceriterakan bahwa rakyat Śrīwijaya mahir berperang di darat maupun di laut (Groeneveldt 1960: 73). Ada ketentuan bahwa para saudagar asing yang berniaga di Nusantara harus memakai kapal Śrīwijaya. Bukti-bukti arkeologis menunjukkan kapal yang tenggelam di perairan Nusantara sekitar abad ke-9 Masehi, adalah kapal yang dibuat dengan teknologi Asia Tenggara. Barang-barang muatannya berasal dari berbagai tempat di Asia.
Di bidang penguasaan laut, terutama di perairan barat Nusantara, pelaut-pelaut Melayu menunjukkan kemahirannya. Buku panduan laut bangsa Portugis, antara lain dibuat berdasarkan petunjuk pelaut Melayu. Dalam menghadapi perompak-perompak di laut, pada masa kesultanan angkatan laut kesultanan yang memberikan jaminan keamanan. Angkatan Laut Kerajaan Aceh menjamin keamanan di wilayah teritorialnya di Selat Melaka. Kesultanan Siak pernah memberikan jaminan keamanan dalam pengiriman emas dari Sumatra ke Johor.
Awal Hunian
Pulau Sumatra telah lama dihuni manusia. Berdasarkan sisa-sisa sampah dapur berupa cangkang kerang (kjökkenmöddiger) yang ditemukan dengan kapak genggam (pebble) di Sumatra Timur, hunian di tempat tersebut sudah ada sejak 11.000 tahun yang lampau, pada sekitar awal Holosen. Beberapa pakar menduga bahwa permukiman di daerah ini dihuni oleh manusia Papua-Melanesoid pada rumah-kolong yang dibangun di tepi pantai. Mereka menggunakan alat-alat batu, dan makanan utamanya siput laut.
Kelompok manusia Papua-Melanesoid yang lain tinggal di gua-gua dan ceruk-ceruk pada dinding batu. Di Sumatra sisa-sisa hunian dalam gua ditemukan di Jambi (Gua Tiangko Panjang), dan di Sumatra Selatan (Gua Silabe, Gua Pandan, Gua Karang Pelaluan, Gua Karang Beringin, dan Gua Harimau). Dari dalam gua ditemukan alat-alat batu dan kayu yang pertanggalannya 5700–9000 tahun yang lampau. Khusus pada Gua Harimau pada dindingnya terdapat lukisan dari bahan okker. Alat-alat batu dari gua-gua tersebut melihat teknologinya berasal dari masa preneolitik – neolitik. Di samping itu ditemukan juga alat dari logam perunggu dan barang-barang tembikar.
Di daerah kaki Gunung Dempo, di Pagaralam banyak ditemukan tinggalan megalitik yang berupa arca batu dan bilik batu. Ketika ditemukan bilik batu tersebut dalam keadaan tertimbun tanah. Sebagai tanda pada permukaan “pintu” yang tertimbun terdapat sebongkah batu. Beberapa di antara bilik batu yang sudah terbuka, pada bagian dindingnya terdapat lukisan yang dibuat dari bahan okker.
Sebuah kompleks megalit ditemukan di Situs Tinggihari berupa batu-batu menhir. Batu-batu menhir yang jumlahnya 9 buah ini diberi bentuk manusia dan binatang. Didirikan di sepanjang jalan mendaki ke puncak bukit yang tingginya antara +700—1.000 meter d.p.l. Adanya arca-arca ini di kalangan penduduk berkembang ceritera Si Pahit Lidah, ceritera tentang seseorang kalau berucap maka yang diucapkannya menjadi batu.
Seluruh tinggalan budaya dari masa prasejarah tersebut memberikan informasi bahwa pada masa lampau, di daerah hulu Musi sudah terdapat hunian manusia. Hunian awal ini mengambil lokasi di daerah tepian-tepian sungai pada bidang tanah yang tinggi. Hunian yang sedikit lebih maju ditemukan di daerah kaki Gunung Dempo di sekitar kota Pagaralam sekarang. Dari tempat ini banyak ditemukan arca megalit dan bilik batu yang berhiaskan lukisan dari bahan oker.
Kerajaan Pengaruh India
Sebagai pulau yang menempati posisi strategis dan banyak dikunjungi saudagar asing, sudah barang tentu unsur budaya asing mudah berkembang. Ramainya perdagangan dengan India, Persia, dan Tiongkok, lama kelamaan di Sumatra muncul kerajaan-kerajaan yang kemudian berkembang menjadi suatu imporium. Berita-berita asing mencatat beberapa kerajaan yang mendapat pengaruh budaya India, seperti Tulangbawang, Mālayu, Śrīwijaya, dan Pane. Kerajaan Mālayu dan Śrīwijaya merupakan dua kerajaan besar yang dominasinya di Sumatra saling bergatian.
Kerajaan besar pertama yang ada di Sumatra adalah Mālayu. Menurut Berita Tionghoa, Hasan Djafar (1992: 77) membagi kerajaan ini dalam tiga fase, yaitu:
Fase I Fase Awal, sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi;
Fase II Fase Pendudukan oleh Śrīwijaya, sekitar tahun 680 sampai sekitar pertengahan abad ke-11 Masehi;
Fase III Fase Akhir, sekitar pertengahan abad ke-11 sampai sekitar akhir abad ke-14 Masehi
Awalnya lokasi kerajaan ini diduga di sekitar Sungai Musi, atau tepatnya di sekitar kota Palembang sekarang. Sebelum “kelahiran” Śrīwijaya dan menjadikan Palembang sebagai ibukotanya, kota Mālayu merupakan sebuah pelabuhan penting. Menurut berita Tionghoa, pada tahun 644/645 kerajaan ini mengirim utusan ke Tiongkok (Pelliot 1904: 324 dan 334). Selanjutnya disebutkan bahwa di Mālayu banyak tinggal penganut ajaran Hīnayāna dan hanya sedikit Mahāyāna. Arca Buddha Śākyamuṇi dari Bukit Siguntang merupakan arca tertua (abad ke-6 Masehi) yang diduga berasal dari masa kerajaan Mālayu awal.
Setidak-tidaknya sampai dengan kedatangan I-tsing yang pertama tahun 671, Mālayu masih negara/pelabuhan bebas. Ketika itu lokasi Fo-shih atau Shih-li-fo-shih (Śrīwijaya) berada di antara Guangzhou dan Mo-lo-yeu (Mālayu). Boleh jadi waku itu Śrīwijaya masih berada di sekitar delta Batanghari sebagaimana diberitakan saudagar Arab (661-681 Masehi) mengenai negeri Zābag (Śrīwijaya) sebagai bandar lada terbesar di Sumatra. Namun ketika I-tsing kembali dari Tamralipti tahun 687 dan singgah di Mālayu, ia menulis: “Mālayu sekarang adalah ibukota Śrīwijaya” (Fukami 2001).
Kota Śrīwijaya dibangun di Mālayu (Palembang) pada tanggal 16 Juni 682. Setelah membangun kota, Dapunta Hiyaŋ Śrī Jayanāśa membangun taman Śrīksetra pada 23 Maret 684. Berdasarkan prasasti-prasasti yang dikeluarkannya, Dātu Śrīwijaya banyak melakukan persumpahan pada daerah-daerah yang berhasil ditaklukannya. Prasasti Telaga Batu merupakan batu persumpahan terpenting, karena di dalamnya memuat nama para pejabat sampai pegawai rendahan yang tinggal di ibukota mulai dari putra mahkota sampai tukang dobi. Wilayah kekuasaan kadātuan Śrīwijaya pada sekitar abad ke-7 meliputi Batanghari (Karangberahi), Bangka (Kota Kapur), Lampung (Palas Pasemah dan Bungkuk), dan sekitar perairan Selat Melaka (Boechari 1979: 18-40; Cœdès 1989: 1-135).
Śrīwijaya dikenal sebagai kerajaan bahari. Sebagian besar dari kehidupan rakyatnya dari pelayaran dan perdagangan. Bandar-bandar penting pada masa kejayaannya adalah Barus di pantai baratdaya Sumatra, Lamuri, Kota Cina, dan Jambi di pantai timurlaut. Dari bandar-bandar ini dikapalkan hasil-hasil bumi Sumatra dan tempat-tempat lain di Nusantara–misalnya rempah-rempah dari Ternate (Maluku)– ke Tiongkok, India, Persia dan Arab. Sebagai bandar besar, saudagar dari berbagai bangsa dan corak budaya datang dari berbagai tempat.
Kehadiran orang-orang Po-ssu (Persia) bersama-sama dengan orang-orang Ta-shih (Arab) di bandar-bandar sepanjang tepian Selat Melaka dan pantai baratdaya Sumatra, diketahui sejak abad ke-7 Masehi. Mereka dikenal sebagai pedagang dan pelaut ulung. Sebuah catatan harian Tionghoa yang menceriterakan perjalanan pendeta Buddha I-tsing tahun 671 Masehi dengan menumpang kapal Po-sse dari Guangzhou ke Fo-shih (Śrīwijaya). Kemudian pada tahun 717 Masehi diberitakan pula tentang kapal-kapal India yang berlayar dari Srilanka ke Śrīwijaya dengan diiringi 35 kapal Po-sse (Poerbatjaraka 1952: 31-32).
Bukti-bukti arkeologis yang mengindikasikan kehadiran pedagang Persia di Śrīwijaya dan Mālayu adalah ditemukannya artefak dari gelas dan kaca berbentuk vas, botol, jambangan dll di Situs Barus (pantai barat Sumatra Utara) (Guillot & Sonny Wibisono 2002: 179-198) dan situs-situs di pantai timur Jambi (Muara Jambi, Muara Sabak, Lambur). Barang-barang tersebut merupakan komoditi penting yang didatangkan dari Persia atau Timur Tengah dengan pelabuhan-pelabuhannya antara lain Siraf, Musqat, Basra, Kufah, Wasit, al-Ubulla, Kish, dan Oman. Dari Nusantara para saudagar tersebut membawa kemenyan dan kapur barus.
Kerajaan Śrīwijaya juga mengadakan hubungan politik dan agama dengan kerajaan lain. Beberapa surat dari Mahārāja Śrīwijaya yang dikirimkan melalui utusan kepada Khalifah Umar ibn ‘Abd. Al-Aziz (717-720 Masehi), menyebutkan tentang pemberian hadiah sebagai tanda persahabatan dan permohonan agar dikirim mubaligh ke Śrīwijaya (Azyumardi 1994: 41-42). Prasasti Nālanda (abad ke-8 Masehi) menyebutkan pembangunan asrama untuk para pelajar di Nālanda (India Utara), Prasasti Ligor A (15 April 775) menyebutkan Mahārāja Śrīwijaya membangun trisamaya caitya untuk Padmapāni, Wajrapāni, dan Śākyamuni di Thailand Selatan (Cœdès 1989: 1-135). Dalam prasasti yang disimpan di Leiden (Belanda) disebutkan bahwa raja Mārawijayottuńgawarman dengan bantuan raja Cōla Rājakeśariwarman Rājarāja I mendirikan sebuah kuil Buddha di Nāgipattana (Nālanda) yang diberi nama Cūdāmaniwarmawihāra.
Berita Tionghoa yang berasal dari masa Dinasti Song (960-1279 Masehi) menyebutkan sebuah kerajaan di Sumatra yang bernama San-fo-t’si (Śrīwijaya). Diuraikan bahwa kerajaan itu terletak di Laut Selatan di antara Chen-la (=Kamboja) dan She-po (=Jawa). Ibukota kerajaan di mana raja bersemayam terletak di Chan-pi (Jambi) (Groeneveldt 1960: 61; Hirth dan Rockhill 1967: 62). Berita tersebut mengindikasikan bahwa ibukota Śrīwijaya yang semula berada di Palembang, pada sekitar abad ke-11 telah dipindahkan ke Jambi. Ketika sudah berada di Jambi, Śrīwijaya masih menjalin persahabatan dengan Tiongkok. Sebuah prasasti yang ditemukan di Guangzhou menyebutkan bahwa Mahārāja Śrīwijaya tahun 1079 memerintahkan pembangunan kembali kuil Tao yang bernama Tien Qing yang telah dibakar habis oleh penyerbu (Yamin 1962). Para pekerjanya didatangkan dari Śrīwijaya.
Kadātuan Śrīwijaya mulai menunjukkan kemundurannya ketika diserang oleh Kerajaan Cōla dari India Selatan. Prasasti Rājarāja I dari Tañjore (1030/31 Masehi) menyebutkan penaklukan Cōla atas Śrīwijaya dan kerajaan-kerajaan lain di sekitar Selat Melaka. Śrīwijaya berhasil ditaklukkan dan rajanya Śangrāmawijayottungawarman ditawan (Nilakanta Sastri 1932: 315).
Setelah Śrīwijaya runtuh, Mālayu menggantikannya sebagai penguasa Sumatra. Kitab Nāgarakṛtāgama menyebutkan Mālayu lebih dahulu dan menyebutkan sebagai sebuah negara terpenting dari seluruh negara bawahan Majapahit (Pigeaud vol. 1 1960). Wilayah kekuasaannya meliputi seluruh Sumatra, dari ujung baratlaut hingga ujung tenggara. Beberapa daerah yang merupakan “bawahan” Mālayu seperti misalnya Jāmbi, Dharmmāśraya, Kaṇdis, dan Manaṅkabwa berlokasi di daerah Sungai Batanghari.
Kerajaan Mālayu tetap diperhitungkan sebagai sebuah kerajaan yang memegang peranan penting. Karena itulah ketika Kṛtanagara dari Siŋhasāri sedang menghadapi ancaman Mongol, perlu menjalin persahabatan dengan Mālayu. Besarnya perhatian Kṛtanagara kepada Mālayu membuktikan bahwa pada abad ke-13 Masehi, Mālayu merupakan negara utama di Sumatra. Sebagai tanda persahabatan Kṛtanagara mengirimkan arca Amoghapāśa.
Prasasti Dharmmaśraya menyebutkan bahwa pada tahun 1286 Masehi sebuah arca Amoghapāśa dengan keempatbelas pengiringnya dan saptaratna dibawa dari Bhūmijawa ke Swarnnabhūmi untuk ditempatkan di Dharmmāśraya sebagai punya Śrī Wiswarupakumara. Seluruh rakyat Mālayu dari keempat kasta bersukacita, terutama rajanya, ialah Śrīmat Tribhuwanarāja Mauliwarmmadewa (Hasan Djafar 1992: 56–8). Menurut prasasti ini jelas bahwa ekspedisi Pamālayu bukan merupakan pendudukan Siŋhasāri atas Mālayu, tetapi lebih ke arah persahabatan.
Prasasti pada bagian punggung arca Amoghapāśa yang ditemukan di Rambahan pada sekitar tahun 1800-an (Krom 1912: 48) memberikan petunjuk, bahwa pada tahun 1347 yang berkuasa di Mālayu adalah Śrī Mahārājā Ādityawarmman Disebutkan juga upacara yang bercorak tantrik, pendirian sebuah arca Buddha, dan pemujaan kepada Jina. Besar dugaan bahwa tahun 1347 merupakan tahun awal pemerintahan Ādityawarmman di Mālayu.
Berdasarkan data arkeologi dan prasasti-prasasti masa Mālayu, dapat diduga bahwa pusat pemerintahan kerajaan ini mengalami tiga kali perpindahan. Ibukota yang awal ada di hilir Batanghari di sekitar kota Jambi, kemudian bergeser ke Dharmmāśraya, dan akhirnya ke Pagarruyung. Raja Mālayu yang memindahkan ke Pagarruyung adalah Akarendrawarman pendahulu Ādityawarmman (de Casparis 1989 dan 1992).
Pada sekitar tahun 1340-an, di daerah Pagarruyung memerintah seorang raja yang bernama Ādityawarmman. Pada prasasti-prasasti yang ditemukan di daerah tersebut, misalnya Prasasti Kuburajo I dikatakan bahwa Ādityawarmman memerintah di kaṇakamedinīndra (=raja pulau emas) (Kern 1917: 219). Dalam Prasasti Amoghapāśa (1347 Masehi) disebutkan bahwa Ādityawarmman mengangkat dirinya menjadi seorang mahārājādhirāja dengan gelar Śrī Udayādityawarmman atau Ādityawarmodaya Pratāpaparākramarājendra Mauliwarmadewa (Kern 1917: 163-175).
De Casparis (1992) menduga bahwa Mālayu pada masa Ādityawarmman mendapat ancaman dari kerajaan Islam di Samudra Pasai. Namun bukan ini sebab perpindahannya, melainkan untuk penguasaan sumber emas yang banyak terdapat di daerah pedalaman (Bambang Budi Utomo 1992). Di samping itu, secara geografis daerah pedalaman di Batusangkar dan Pagarruyung dekat dengan jalan air yang lain menuju Selat Melaka, yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Indragiri. Emas dari daerah pedalaman kemudian dipasarkan keluar Mālayu melalui sungai-sungai ini (Dobbin 1977: 1-38).
Lahirnya Kesultanan
Sejak awal millenium kedua tarikh Masehi, para saudagar Islam banyak melakukan aktivitas niaga di sekitar Selat Melaka. Bersamaan dengan aktivias niaga, masuk pula agama Islam di Sumatra dan Semenanjung Tanah Melayu. Melalui gerbang ini para saudagar dari Gujarat, Bengal, India Selatan, Pegu, Siam, dan Burma bertemu dengan saudagar dari Tiongkok, Arab, Persia, dan Jawa. Melalui para saudagar Arab dan Persia agama Islam disiarkan ke Nusantara.
Pasai yang letaknya di pantai timur ujung baratlaut Sumatra, merupakan pelabuhan yang paling ramai tempat bertemunya saudagar dari berbagai bangsa. Antara tahun 1290 dan 1520 Kesultanan Pasai tidak hanya menjadi kota dagang terpenting di Selat Melaka, tetapi juga pusat perkembangan Islam dan bahasa sastra Melayu (Tjandrasasmita 1988: 67-82). Menurut kitab Hikayat Raja-raja Pasai, raja Pasai pertama yang memeluk Islam adalah Meurah Silau dengan gelar Sultan Mālik al-Sāleh.
Sultan Mālik al-Sāleh mangkat pada tahun 1297 dan diganti oleh putranya, Sultan Muhammad yang memerintah sampai tahun 1326. Batu nisannya dihias dengan kaligrafi Arab gaya Kufik yang berisi syair tentang kehidupan di dunia yang fana. Sultan Muhammad lebih dikenal dengan nama Sultan Mālik al-Ṭāhir yang setelah mangkat digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Ahmad. Sultan ini juga memakai nama ayahnya Mālik al-Ṭāhir. Dalam masa pemerintahannya, Samudra Pasai mendapat kunjungan Ibn Baṭṭuta, seorang utusan Sultan Delhi. Ia singgah di Pasai dalam perjalanannya dari India – Tiongkok – India pada tahun 1345.
Hingga tahun berapa Sultan Ahmad Mālik al-Ṭāhir ini memerintah tidak diketahui. Demikian juga penggantinya yang bernama Sultan Zain al-Abidin tidak diketahui. Data keberadaan sultan-sultan tersebut hanya dari batu nisan makamnya.
Kerajaan Samudra Pasai mulai kehilangan kekuasaan perdagangan atas Selat Melaka pada pertengahan abad ke-15. Penyebabnya antara lain karena perebutan kekuasaan di lingkungan elite keraton, berkembangnya bandar Melaka, dan juga masuknya Portugis di Selat Melaka. Pada akhirnya kekuasaan Samudra Pasai jatuh ke tangan Kerajaan Aceh yang muncul tahun 1520-an.
Sejak pertengahan abad ke-15, Melaka ramai dikunjungi saudagar dari berbagai tempat. Sejak saat itu Melaka menjadi pusat perdagangan di jalur selat. Namun setelah Melaka jatuh ke tangan Portugis, para saudagar memindahkan aktivitasnya di Aceh. Akibatnya timbul suatu kerajaan di Aceh yang melepaskan diri dari Pidie.
Kerajaan Aceh mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Kerajaan ini mempunyai tentera laut dan darat yang kuat. Dengan kekuatan militernya Aceh berhasil menguasai hampir separuh daratan Sumatra hingga ke Bengkulu, pantai barat, dan pantai timur hingga Kampar (Alfian 2005).
Sultan Iskandar Muda digantikan oleh menantunya, Iskandar Tani. Di bawah pemerintahannya Aceh maju dengan pesat. Akan tetapi setelah raja ini mangkat, Aceh mengalami kemunduran. Berbagai daerah, seperti Minangkabau dan Kampar berhasil membebaskan diri dari pengaruh kekuasaan Aceh. Penyebabnya tidak lain karena perselisihan di antara elite keraton.
Setelah Kesultanan Aceh, pada masa-masa berikutnya di Sumatra muncul kesultanan-kesultanan lain. Di Sumatra Utara muncul Kesultanan Deli, Serdang Bedagai, Siak Sri Indrapura, Langkat; di kepulauan Riau muncul Kesultanan Riau-Lingga, dan di Sumatra Selatan muncul Kesultanan Jambi dan Kerajaan Palembang yang akhirnya menjadi Kesultanan Palembang-Darussalam.
Kelahiran Kesultanan Deli tidak lepas kaitannya dengan Kesultanan Aceh (Luckman Sinar 2005). Sebuah sumber menyebutkan bahwa salah seorang Laksamana dari Kesultanan Aceh yang berhasil menaklukan pantai baratdaya dan timurlaut Sumatra, kawin dengan adik Raja Urung Sugal (penguasa Batak-Karo yang sudah Islam). Karena perkawinan ini kemudian pada tahun 1630 ia ditabalkan menjadi raja di Deli. Setelah Laksamana Aceh yang dirajakan di Deli ini mangkat, penggantinya yang bergelar Tuanku Panglima Perunggit Deli memutuskan hubungan dengan Aceh, dan pada tahun 1669 Deli menjadi kerajaan yang merdeka.
Berbeda dengan kelahiran kerajaan/kesultanan Islam di Sumatra bagian utara dan Riau kepulauan yang mengambil zuriat dari Aceh, maka kelahiran kerajaan/kesultanan Islam di Palembang mengambil zuriat dari Kesultanan Demak/Mataram di Jawa. Bermula dari perebutan tahta di Kerajaan Demak yang dimenangkan oleh Pangeran Hadiwijaya. Dalam peperangan itu Pangeran Arya Penangsang tewas. Para pengikutnya yang setia, di antaranya Arya Jipang, terpaksa melarikan diri ke Palembang. Pelarian yang dipimpin oleh Ki Gede ing Suro (1547) ke Palembang paling tidak untuk merebut pewarisan dari Ki Mas Palembang yang ada di Palembang (Djohan Hanafiah 1989). Kemudian Ki Gede ing Suro membangun Kerajaan Palembang yang bernuansa Islam.
Kerajaan/kesultanan yang bernuansa Islam di Palembang (1552-1825) mengalami tiga kali perpindahan keraton (Hanafiah 1989). Keraton pertama Kuto Gawang (1552-1659) terletak di daerah 1 dan 2 Ilir. Karena dihancurkan VOC Belanda tahun 1659, ahli warisnya (Ki Mas Hindi) yang ditabalkan dengan gelar Sultan Abdurrahman memindahkan keraton ke arah hulu di Beringin Janggut (1660).
Entah sampai kapan pusat pemerintahan Kesultanan Palembang di Beringin Janggut, pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I pada 29 September 1737 diresmikan Keraton Kuto Tengkuruk. Keraton ini letaknya di sebelah barat Beringin Janggut. Tidak sampai 50 tahun Kuto Tengkuruk berdiri, pada tahun 1780 di sebelah barat Kuto Tengkuruk Sultan Muhamad Bahauddin membangun Keraton/benteng Kuto Besak. Akhirnya Kesultanan Palembang-Darussalam dihapuskan Belanda pada tahun 1825. Sultan terakhir yang melawan Belanda, Mahmud Badaruddin II ditangkap dan diasingkan ke Ternate.
Budaya Asing yang Tertinggal
Pulau Sumatra secara alami terletak di jalan persimpangan antara dua pusat kebudayaan dunia Tiongkok di timur serta India dan Persia di barat. Hasil hutan dan tambang yang menjadi daya tarik saudagar dari Tiongkok, India, dan Persia menjadikannya Sumatra tempat persinggahan. Belum lagi budaya dari tempat lain di Jawa yang saudagarnya juga datang ke Sumatra, menambah marak lagi budaya yang berkembang di Sumatra.
Ketika intensitas niaga dengan India cukup tinggi, di Sumatra berkembang ajaran Hindu dan Buddha. Perkembangannya lebih luas Buddha daripada Hindu. Tinggalan budaya materi yang masih tersisa adalah arca-arca Buddha berlanggam Amarāwati, Cōla, dan Tamil Nadu Pedesaan (McKinnon 1994: 53-79). Hubungannya dengan Jawa (Kerajaan Mdaŋ, Matarām) pada abad ke-8-9 Masehi, meninggalkan jejak arca-arca Hindu dan Buddha berlanggam Śailendra.
Kehadiran Perserikatan Dagang Tamil (Subbarayalu 2002: 17-26) dengan saudagarnya di Sumatra bagian utara, “menyisakan” komunitas Tamil di beberapa tempat di pantai timurlaut Sumatra Utara mulai dari Banda Aceh hingga Medan. Pada waktu tertentu mereka membuat upacara Hindu di kuil dan dalam bentuk festival, misalnya festival pada Hari Thaipusam. Hari Thaipusam merupakan hari menunaikan nazar dan menebus dosa atau memohon ampun di atas dosa-dosa yang telah dilakukan selama ini. Salah satu cara memohon ampun adalah dengan menyiksa diri.
Agama Islam masuk dan berkembang di Sumatra di antaranya dibawa oleh para saudagar Persia pada masa Kekhalifahan Abbassiyah (750-870 Masehi) (Hourani 1951: 61-62). Mereka banyak melakukan aktivitas niaga di sepanjang pantai baratdaya Sumatra mulai dari Banda Aceh hingga Bengkulu. Unsur budaya yang tertinggal adalah peringatan 10 Muharram dengan arak-arakan tabot, dan paham Islam Tarekat pada penduduknya.
Palembang yang merupakan bekas kota Mālayu dan Śrīwijaya pernah juga dihuni oleh komunitas Tionghoa dalam kurun waktu yang lama. Pada masa Kesultanan Palembang-Darussalam orang-orang Tionghoa pernah didatangkan sebagai tenaga kerja, khususnya kuli bangunan. Pada waktu senggang komunitas tersebut mengembangkan seni kriya lakuer yang sudah ada di tempat asalnya Tiongkok. Hingga kini satu-satunya tempat di Indonesia yang memproduksi barang-barang lakuer hanya di Palembang.
Bambang Budi Utomo
Kerani Rendahan pada
Puslitbang Arkeologi Nasional
Sumber: http://hurahura.wordpress.com