Saidi Kamaludin (69) mulai gelisah. Sudah tiga jam lebih lelaki tinggi-besar itu menunggu di emperan museum. Berulang kali ia menengok jam di tangan kirinya, tetapi orang yang ia tunggu tak kunjung muncul bersama pesanannya: seperangkat alat pengeras suara!
Saidi pantas gelisah. Ia sudah menunggu di sana jauh sebelum kemerahan senja di atas Sungai Musi ’sembunyi’ di balik Jembatan Ampera, sebelum perahu-perahu ketek yang hilir-mudik di sungai yang membelah Kota Palembang itu hilang dari pandangan matanya yang mulai rabun. Sejumlah rekannya sesama pemain Dulmuluk—salah satu bentuk teater tradisi yang masih hidup dan berkembang di beberapa tempat di Sumatera Selatan—juga ikut menunggu sambil berbincang.
"Sudah hampir pukul delapan. Kalian berangkatlah duluan. Bawa bae dulu peralatan yang ado," kata Saidi seperti memberi instruksi. "Aku nunggu di sini sampai dio muncul. Baru setelah itu aku nyusul," tambahnya.
Pada Minggu malam di akhir Juni lalu itu, Saidi bersama grup Abdul Muluk "Setia Kawan" mendapat tanggapan untuk main pada hajatan perkawinan di daerah Kelurahan Karanganyar, Kecamatan Gandus, Palembang. Siangnya, resepsi perkawinan itu dimeriahkan pertunjukan organ tunggal, yang dalam beberapa tahun terakhir memang menjadi tren di daerah ini. Lalu, malam harinya, sekitar pukul 20.00, grup Abdul Muluk "Setia Kawan" pimpinan Saidi Kamaludin pun dijadwalkan ikut menghibur para undangan.
Sutrisman Dinah, lulusan Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia yang kini bermukim di Palembang, cuma bisa geleng-geleng kepala. "Susah dipahami," kata Sutrisman, dosen ilmu komunikasi dan ilmu politik di Fakultas Komunikasi, Universitas Bina Dharma, Palembang, yang sejak sore mencoba ikut berbaur dengan para pemain Dulmuluk itu.
Bagaimana mungkin mereka bisa memenuhi permintaan tuan rumah agar mulai main pukul 20.00 jika kurang dari 10 menit sebelum jadwal tersebut para pemain Dulmuluk itu masih ada di sekitar Jembatan Ampera, yang jaraknya dari lokasi hajatan hampir 20 kilometer? Kalaupun tidak marah, apa si penanggap tidak kecewa? Lalu bagaimana pula dengan calon penontonnya yang sudah menunggu?
"Inilah hebatnya Dulmuluk. Lihat saja pemain-pemain itu, mereka tenang-tenang saja. Cuma Saidi yang terlihat gelisah. Itu pun bukan karena takut bakal telat tampil di pentas, tapi lebih karena ia khawatir perangkat sound system yang mau dia sewa untuk pertunjukan nanti tidak jadi diantarkan oleh pemiliknya," kata Anwar Putra Bayu, penyair Palembang yang banyak bergaul dengan seniman- seniman tradisi di daerah ini.
Beragam latar
Bagi pemain Dulmuluk, juga kelompok-kelompok seni tradisi pada umumnya, apa yang dikenal sebagai manajemen pertunjukan adalah sesuatu yang asing. Bahkan, sangat boleh jadi hal-hal semacam itu masih jauh dari jangkauan pemikiran mereka. Dalam banyak hal, keputusan dan tindakan berkesenian mereka lebih banyak didasarkan pada keguyuban yang sangat cair, termasuk soal honorarium dan kesiapan masing-masing untuk peran yang akan dimainkan di atas panggung.
Sampai menjelang pertunjukan pada Minggu malam itu, misalnya, mereka belum tahu lakon apa dari fragmen cerita Abdul Muluk yang akan dibawakan. Atau, kalau bukan cerita Abdul Muluk yang diangkat, mereka juga tidak tahu bagian mana dari kisah Siti Zubaedah yang bakal didedahkan kepada para penonton. Tak ada yang tahu, kecuali—tentu saja—Saidi, sang ’sutradara’.
Pertunjukan teater tradisi Abdul Muluk, atau lebih populer dengan sebutan Dulmuluk, sejauh ini memang hanya berangkat dari dua lakon cerita besar: Syair Abdul Muluk dan Syair Siti Zubaedah. Hanya saja, mengingat panjangnya kisah dari masing-masing cerita dalam syair tersebut, yang jika dipanggungkan secara utuh butuh waktu 4-6 malam, dalam setiap pertunjukan—semalam suntuk sekalipun—hanya ditampilkan berupa penggalan-penggalan kecil.
Dan, malam itu ternyata kisah yang diangkat adalah penggalan dari cerita dalam Syair Siti Zubaedah. "Judul pertunjukan malam ini, ’Bercinta dalam Mimpi’, diambil dari lakon Siti Zubaedah. Kisahnya menyangkut percintaan antara Abidin dan putri raja dari Pulau Pranggi, yang berakhir dengan pernikahan kedua muda-mudi itu," kata Saidi.
Tentu saja ini bukan lakon utama pentas Dulmuluk, yang seharusnya berangkat dari cerita dalam Syair Abdul Muluk. Penghindaran ini bukan tanpa alasan. Lakon dari Syair Abdul Muluk dianggap terlalu berat. "Selain faktor cerita, juga peralatan pentas yang begitu minim tidak memungkinkan mengangkat kisah dari lakon Abdul Muluk," kata Saidi menambahkan.
Di tengah kesibukan mereka menata panggung, menyiapkan kostum dan merias diri, di bawah tatapan langsung para penonton yang sudah memenuhi arena pertunjukan sejak pukul 20.00, Saidi mulai menghitung para pemainnya untuk diberi peran. Ternyata kurang. Bahkan setelah beberapa di antara mereka mendapat peran ganda.
Jonhar Saad, yang malam itu bertindak menjadi semacam ’asisten sutradara’, segera berniat mengontak pemain Dulmuluk dari grup lain. Akan tetapi, siapa di antara mereka yang bisa dihubungi melalui pesawat telepon seluler dengan kartu prabayar itu, mengingat para pemain Dulmuluk adalah para pekerja di sektor pinggiran? Taruhlah seperti pengayuh becak, pedagang baju bekas keliling, dan atau buruh bangunan?
Ternyata ada. Sugeng Mujiyono, guru SMP yang kerap melibatkan mereka dalam kegiatan ekstrakurikuler bagi peserta didik di sekolahnya dan beberapa kali ikut bermain, bisa dikontak dan bersedia datang. Masalah ’kecil’ itu pun tertanggulangi, setelah satu jam kemudian Sugeng muncul dan langsung bergabung untuk merias diri dengan ’mencoreng-moreng’ wajahnya.
Alhasil, baru sekitar pukul 22.00 adegan pembuka dalam bentuk lagu beremas (’salam perkenalan’) menyapa penonton. Salam pembuka itu dilantunkan setelah beberapa saat sebelumnya, di balik layar yang bisa diintip penonton, Saidi bersama seorang pemain senior yang bertindak sebagai pawang memimpin upacara sesaji agar pertunjukan berjalan lancar.
"Pokoknya ikut main. Kalau soal honor, sebetulnya malu ngomong soal itu. Masing-masing paling cuma dapat Rp 20.000. Tapi, bagi teman-teman di sini honor bermain bukanlah segala-galanya. Sebab, main Dulmuluk itu sendiri adalah bagian dari hidup mereka," kata Sugeng, lelaki asal Prembun, Kutoarjo, Jawa Tengah, yang sudah sejak akhir 1970-an tinggal dan bermukim di Palembang.
Sekadar pelengkap
Nukilan dari situasi menjelang pentas tadi hanyalah sisi kecil dari beragam problema yang dihadapi oleh teater tradisi Dulmuluk. Semua serba terbatas. Bukan saja mereka yang menghidupinya jauh dari kelimpahan materi, orang-orang yang peduli pada masa depan seni tradisi ini pun kian menyusut.
Perkembangan dan kemajuan (ah, benarkah ini semua sebuah kemajuan?) telah meminggirkan Dulmuluk dari pergaulan budaya di negerinya sendiri. Seperti halnya nasib kebanyakan seni tradisi pada umumnya, Dulmuluk pun kini bagai memasuki masa- masa senja kehidupannya.
Masih beruntung hingga saat ini ada saja tanggapan yang memungkinkan mereka naik pentas. Dan itu berarti pundi-pundi kecil mereka sedikit terisi. Walaupun, harus diakui, undangan untuk mereka itu tak jarang cuma pelengkap bagi kenduri besar sebuah hajatan, taruhlah seperti perkawinan dan sunatan.
"Sekali tampil paling cuma dibayar Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta. Setelah dipotong sewa peralatan, masing-masing pemain dapat bagian seadanya," kata Saidi, yang malam itu dibantu sekitar 15 pemain.
Penghargaan? Apresiasi? Bagai ungkapan ’masih jauh panggang dari api’, keberadaan teater tradisi Dulmuluk lebih banyak dihidupi oleh semangat berkesenian para pengusung setianya. Berharap pada kepedulian pemerintah? "Ah, itu ibarat mengharap hujan di musim kemarau," kata Jonhar. (wad/ken)
Kompas, Selasa, 02 Oktober 2007
Sumber: http://sultangurun.multiply.com