Naskah-naskah Kuno Indonesia di Mancanegara

Oleh : Djulianto Susantio

Sejak lama, banyak warisan budaya Indonesia diboyongi ke mancanegara. Sebagai barang antik, benda-benda itu menjadi benda dekorasi sekaligus investasi yang menggiurkan. Berkoleksi barang antik di mata segelintir masyarakat, memang melambangkan status sosial atau gengsi.

Barangkali orang tak membayangkan kalau banyak naskah kuno asal Indonesia juga telah bermukim di mancanegara sejak ratusan tahun yang lalu. Untuk apa benda-benda itu dikoleksi? Berapakah harga jualnya sekarang atau layakkah dipajang sebagai penghias ruangan? Mungkin, sederetan pertanyaan dan keingintahuan lain muncul di benak kita.

Kita sulit mengetahui apakah motivasi mereka mengoleksi naskah kuno milik bangsa lain. Apakah sekadar ingin tahu, ingin mengorek informasi sejarah, ataukah melestarikan benda itu, entahlah.

Namun, yang mesti kita ketahui, meskipun naskah-naskah tersebut bukan milik bangsanya, mereka sangat peduli sekali terhadap kekayaan milik bangsa lain. Terbukti, di Inggris naskah-naskah kita terinventarisasi secara teliti dalam sebuah katalogus susunan M.C. Ricklefs dan P. Voorhoeve. Menurut katalogus tersebut, naskah kita sudah bermukim di Inggris sejak awal abad ke-17, bahkan mungkin sebelumnya.

Naskah-naskah itu teridentifikasi ditulis dalam berbagai bahasa daerah, seperti Aceh, Bali, Batak, Bugis, Jawa (kuno), Kalimantan, Lampung, Madura, Makasar, Melayu, Minangkabau, Nias, Rejang, Sangir, Sasak, Sunda (kuno), dan Sulawesi (di luar Bugis dan Makasar). Seluruh naskah yang ada di sana berjumlah lebih dari 1.200. Semuanya tersimpan rapi pada 20-an perpustakaan dan museum di beberapa kota di Inggris. Koleksi terbanyak berada di British Library dan School of Oriental and African Studies. Di kedua tempat itulah para arkeolog, sejarawan, dan filolog dari seluruh dunia, termasuk dari Indonesia, sering melakukan riset kepustakaan.

Menurut Annabel Teh Gallop, staf British Library, sewaktu berkunjung ke Jakarta pada 1990-an lalu, di tempatnya bekerja tersimpan berbagai macam hikayat, syair, primbon, surat, sampai bukti transaksi dagang dari masa abad ke-15. Bahan-bahan itu kerap dimanfaatkan peneliti Barat dan Indonesia. Justru karena tersimpan rapi dan terawat baik, peranannya jauh lebih besar daripada Perpustakaan Nasional RI yang juga banyak mengoleksi naskah kuno.

Kehadiran Raffles di Indonesia pada abad ke-18 diperkirakan mempermudah pihak Inggris untuk mendapatkan surat-surat dari berbagai raja yang berkuasa di Indonesia. Surat-surat demikian menjadi koleksi unggulan sampai sekarang. Misalnya surat dari Sultan Pontianak kepada Raffles yang dikirim dalam sampul terbuat dari kain sutra berwarna-warni.

Begitu pula surat dari Raja Bali kepada seorang Gubernur Belanda di Semarang. Surat itu ditulis di atas lempengan emas. Dari segi fisik, koleksi-koleksi itu begitu menarik dan unik. Dari segi isi, juga sarat informasi kesejarahan.

Belanda
Sebagai negara penjajah, sudah barang tentu koleksi naskah Indonesia lebih banyak berada di Belanda. Naskah-naskah tersebut juga disimpan pada sejumlah perpustakaan dan museum, antara lain di Amsterdam, Leiden, Delft, dan Rotterdam.

Berbeda dengan Inggris, naskah-naskah Indonesia di Belanda banyak yang tergolong adikarya. Ini dapat dimaklumi karena Belanda jauh lebih lama menguasai negeri kita daripada Inggris. Yang amat terkenal adalah naskah Nagarakretagama. Naskah itu telah dikembalikan ke Indonesia pada 1970-an oleh Ratu Yuliana kepada Presiden Suharto. Namun yang patut disayangkan, isi naskah tersebut telah dikupas habis sarjana-sarjana Belanda. Jadinya, kita hanya menerima “ampas” yang hampir tidak berguna lagi.

Diperkirakan hingga kini naskah Indonesia masih banyak bermukim di 30-an negara. Bagaimana naskah-naskah tersebut bisa berada di sana?

Sebagian besar dibawa pada masa penjajahan, antara lain sebagai barang sitaan, cendera mata dari pejabat lokal kepada pejabat asing, pembelian, perburuan, dan tukar-menukar. Sebagian lagi, selepas masa kemerdekaan, diperoleh dengan cara hibah, titipan, pinjaman, dan transaksi lewat balai lelang.

Mikrofilm
Kita sungguh beruntung karena pengetahuan mereka tentang cara-cara merawat naskah kuno sudah begitu tinggi. Karena terbuat dari bahan-bahan yang relatif mudah rapuh, mereka menanganinya dengan hati-hati sekali. Malah, mereka melakukannya dengan teknologi modern, seperti disalin ke dalam mikrofilm. Naskah-naskah kuno yang dilestarikan dengan cara demikian tentu saja membawa dampak positif bagi peneliti-peneliti masa sekarang.

Ironisnya, di negeri sendiri perawatan seperti itu sebelumnya tidak pernah dilakukan karena ketiadaan SDM, teknologi, dan dana. Berkat bantuan luar negerilah, sejumlah naskah kuno pernah dibuatkan mikrofilm. Naskah-naskah Jawa milik Kraton Yogyakarta, misalnya, ditangani oleh Dr. Jennifer Lindsay dari Australia. Sedangkan naskah-naskah lontar Bali dikomputerkan dengan sponsor perusahaan raksasa IBM.

Pada 1989 Pemerintah Inggris pernah menghadiahkan Sri Sultan Hamengku Buwono X berupa ratusan mikrofilm semua naskah Jawa yang disimpan di Inggris. Ini karena sebagian naskah Jawa itu berasal dari wilayah Yogyakarta.

Pada 1991 Perpustakaan Nasional yang mendapat hadiah. Kali ini berupa mikrofilm rekaman naskah yang tertulis dalam berbagai bahasa daerah.

Jelas, upaya tersebut menunjukkan kepedulian yang amat tinggi terhadap peninggalan budaya Indonesia. Tentulah sangat memalukan, kiprah bangsa sendiri terhadap naskah-naskah kuno miliknya, belum setinggi apresiasi mereka.

Jenis naskah
Karena naskah-naskah kuno di Indonesia kurang dikenal masyarakat, maka tidak ada yang peduli terhadap warisan budaya masa lalu itu. Padahal, naskah-naskah kuno mengandung manfaat dan kearifan yang besar buat generasi sekarang.

Bagaimana “isi perut” naskah kuno bisa disimak dari sejumlah naskah kuno koleksi Perpustakaan Nasional yang berasal dari berbagai daerah ini:

Naskah Riwayat Kota Pariaman (aksara Latin, bahasa Melayu, bahan kertas)
Naskah ini ditulis di kota Pariaman oleh Baginda Said Zakaria. Terdiri atas sepuluh bab, berisi tentang keadilan kota Pariaman, mata pencarian penduduk, upacara kelahiran, upacara perkawinan, upacara kematian, dan upacara mendirikan rumah. Selain itu ada uraian tentang keadaan dan bangunan masjid Batu Pasar Pariaman, riwayat hidup Syekh Muhammad Jamil al-Khalidi (seorang tokoh agama Islam di Pariaman) dan suasana pada saat bulan Ramadhan, termasuk 1 Syawal di kota Pariaman.

Naskah Asal Raja-raja Sambas (aksara Arab dan Latin, bahasa Melayu, bahan kertas)
Naskah ini berbentuk prosa. Isinya diawali kisah sejarah Raja Sapudak yang memerintah di kota lama secara turun-temurun. Dikisahkan, Raja Fangah dari Brunei pindah ke Sambas. Dia berputra lima orang dan masing-masing menjadi raja.

Kronik Maluku (aksara Arab, bahasa Melayu, bahan kertas)
Naskah ini berbentuk prosa. Isinya diawali dengan cerita keajaiban raja-raja Turki, China, Belanda, dan negeri-negeri lain. Baru kemudian berisi kronik kepulauan Maluku.

Babad Lombok (aksara Jawa, bahasa Jawa, bahan kertas)
Naskah ini berbentuk macapat. Berisi sejarah Lombok yang dimulai dengan cerita nabi-nabi, sampai kekalahan Lombok oleh kerajaan Karangasem.

Hikayat Aceh (aksara Arab, bahasa Arab dan Aceh, bahan kertas)
Naskah ini berbentuk prosa. Berisi antara lain syair-syair pujian yang ditujukan kepada Nabi Muhammad. Selain itu juga berisi doa-doa.

Naskah Bomakawya (aksara Bali, bahasa Bali, bahan lontar)
Naskah ini berbentuk prosa dan berilustrasi. Berisi kisah perang yang dahsyat antara Kresna dan Boma.

Sureq Baweng atau Surat Nuri (aksara Bugis, bahasa Bugis, bahan lontar)
Naskah ini berbentuk prosa. Berisi perjalanan Sawerigading sewaktu mencari calon istri yang baik, dilengkapi cerita burung nuri yang mengandung nasehat, tata cara meminang seorang perempuan, dan sejumlah ajaran budi pekerti.

Naskah Carita Parahyangan (aksara Sunda Kuno, bahasa Sunda Kuno, bahan lontar)
Naskah ini berbentuk prosa, terdiri atas 45 lempir dan tiap lempir terdiri atas empat baris tulisan. Cerita dimulai dari kisah Sang Resi Guru turun-temurun sampai raja-raja di Jawa Barat.

Naskah Sajarah Banten (aksara Arab, bahasa Jawa, bahan kertas)
Naskah ini berbentuk macapat. Isinya tentang silsilah Nabi Muhammad serta keturunannya. Diceritakan juga riwayat Sunan Gunung Jati yang menurunkan sultan-sultan Banten.

Pustaha Laklak (aksara Batak, bahasa Batak, bahan kulit kayu)
Naskah ini berbentuk prosa, terdiri atas 38 halaman. Berisi kisah Tuan Saribu Raja yang mempunyai banyak anak dan cucu.

Diuraikan juga cara membuat benteng kekuatan diri, ramalan baik dan buruk, dan sesajen yang perlu dibuat setiap hari.

Naskah Japar Sidik (aksara Arab, bahasa Sunda, bahan kertas)
Naskah ini berbentuk prosa. Berisi kata-kata mutiara berdasarkan ajaran agama Islam dan alam pikiran orang Sunda, seperti manfaat bermusyawarah, hari yang baik untuk berburu dan bepergian, perdagangan, keturunan, dan sifat-sifat terpuji.

Tergambar bahwa naskah memiliki beragam jenis bahasa, isi, dan bentuk. Betapapun perlu upaya untuk memahami naskah-naskah kuno itu agar segala informasi tentang masa lampau sampai kepada generasi masa kini dan masa mendatang.***

DJULIANTO SUSANTIO
Arkeolog, tinggal di Jakarta

-

Arsip Blog

Recent Posts