Oleh Jannes Eudes Wawa
DI kalangan para petualang bahari yang gemar berlayar keliling dunia menggunakan perahu layar bertiang tinggi, Indonesia sudah sangat dikenal. Ketenaran itu terkait dengan kekayaan potensi alam dan budaya, serta banyaknya lokasi taman laut disertai gulungan ombak laut nan indah sehingga menarik untuk dikunjungi dan dinikmati.
Itu sebabnya, ketika mengetahui digelar Sail Indonesia, mereka langsung mendaftarkan diri untuk menjadi peserta. Lihat saja pada Sail Indonesia 2010, sekitar 500 unit perahu layar dari beberapa negara didaftarkan pemiliknya, tetapi oleh Yayasan Cinta Bahari sebagai pengelola ke- giatan terpaksa membatasi hanya 106 unit dengan 200-an peserta.
Mereka memulai pelayaran dari Darwin, Australia, pada 28 Juli 2010. Dari sana, petualangan tersebut menuju Banda (Maluku) dan Kupang (Nusa Tenggara Timur), kemudian dilanjutkan ke beberapa kota hingga akhirnya menyinggahi Belitong pada 10-15 Oktober 2010, sebelum menuju Singapura dan Malaysia.
”Kami sangat menikmati perjalanan di wilayah Indonesia. Di sini banyak tempat yang indah dan fantastis. Sayangnya, kami hanya mendapatkan izin visa selama dua bulan, padahal kami ingin bertahan lebih lama lagi di Indonesia,” kata Glen Middletow (59), peserta Sail Indonesia asal Kanada yang bersama istrinya, Marilyn, dan anak mereka, Jaryd (15), mengikuti Sail Indonesia 2010.
Hambatan regulasi
Mengapa wisatawan asing itu begitu antusias ingin mengikuti Sail Indonesia? Apakah minat tersebut semata-mata karena ingin menikmati keindahan panorama laut, pesisir, serta kebudayaan Indonesia?
Sejumlah peserta Sail Indonesia 2010 yang ditemui Kompas di Belitong mengaku, keindahan panorama bukan satu-satunya faktor yang mendorong mereka untuk mengikuti kegiatan itu. Minat itu juga dipicu adanya kemudahan bagi perahu layar asing memasuki wilayah Indonesia selama Sail Indonesia digelar.
”Perahu layar kami dibebaskan dari berbagai pungutan saat masuk ke wilayah Indonesia jika menjadi peserta Sail Indonesia. Makanya, kami memanfaatkan kesempatan emas ini,” kata Nancy, asal Amerika Serikat, yang bersama suaminya, Chris, mengikuti Sail Indonesia 2010.
Harus diakui ada sejumlah regulasi di Indonesia ternyata menghambat masuknya wisatawan asing, terutama para petualang bahari. Pertama, perahu layar asing diharuskan mengantongi izin masuk ke wilayah Indonesia. Izin tersebut diterbitkan empat pihak, yakni Badan Intelijen Strategis (BAIS), Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Luar Negeri, dan Markas Besar TNI. Proses perizinan itu memakan waktu minimal satu bulan.
Kedua, pemberian visa kunjungan ke Indonesia hanya berlaku selama dua bulan. Padahal, turis asing itu menggunakan perahu layar yang sewaktu-waktu bisa rusak saat berlayar. Kecepatan perahu pun hanya delapan mil per jam, sementara perairan Indonesia sangat luas. ”Malaysia dan Turki, misalnya, memberi izin visa kunjungan untuk turis pengguna perahu layar selama satu tahun,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Cinta Bahari Raymon Lesmana.
Ketiga, sejak tahun 2006, ada ketentuan Menteri Keuangan yang mengategorikan semua sarana atau barang yang dibawa wisatawan asing ke Indonesia sebagai barang impor sementara. Hal itu berlaku juga terhadap perahu layar bertiang tinggi yang digunakan wisatawan asing mengelilingi dunia.
Sebagai barang impor, otomatis perahu-perahu layar itu juga dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan Pajak Penghasilan (PPh). Total ketiga jenis pajak itu sekitar 52 persen dari nilai barang. Harga perahu itu rata-rata Rp 15 miliar per unit. Ini berarti, turis asing harus menyetor Rp 7,8 miliar sebelum masuk ke Indonesia.
Uang jaminan itu dibayar ke kas negara melalui bank, dan nantinya diambil kembali saat hendak keluar dari Indonesia. Masalahnya, proses pengambilan kembali uang itu selalu memakan waktu lama, dengan birokrasi yang berbelit.
Keempat, Pemerintah Indonesia juga mensyaratkan adanya bank garansi di negara asal turis asing untuk tinggal selama beberapa bulan di Indonesia. Persoalannya adalah tak ada bank di dunia yang bersedia menjamin warga suatu negara untuk tinggal di negara lain.
Kelima, jika para petualang bahari itu ingin bebas dari berbagai ketentuan tersebut, maka harus mengantongi surat jaminan dari pejabat eselon satu di Indonesia. Masalahnya, mungkinkah para turis tersebut bisa bertemu dengan pejabat eselon satu guna mengurus serta mendapatkan surat jaminan masuk ke Indonesia dalam waktu singkat?
Pola Turki
Ketentuan tersebut yang menghambat para wisatawan petualangan bahari tidak bisa masuk setiap saat ke wilayah Indonesia. ”Padahal, kalau Pemerintah Indonesia lebih luwes dalam membuat kebijakan, kami yakin ribuan wisatawan pengguna perahu layar bertiang tinggi masuk ke Indonesia, dan bisa tinggal berbulan-bulan. Devisa yang masuk pun pasti cukup banyak,” kata Raymond yang sudah delapan kali menggelar Sail Indonesia.
Turki, misalnya, yang sekitar 10 tahun lalu hanya disinggahi 10 unit perahu layar bertiang tinggi per tahun. Akan tetapi, setelah pemerintah negara itu memberikan berbagai kemudahan, termasuk izin visa kunjungan selama setahun, kini sekitar 10.000 unit perahu layar yang masuk setiap tahun.
Pola yang sama ditiru Singapura dan Malaysia. Bahkan, di kedua negara ini dibangun pula lokasi perparkiran perahu layar bertiang tinggi yang luas dan dilengkapi berbagai fasilitas, seperti bengkel, peralatan, dan tenaga ahli.
Perjalanan keliling dunia biasanya dimulai pada Maret dan berakhir November. Memasuki Desember, mereka kembali ke rumah masing-masing guna merayakan akhir tahun bersama keluarga. Selama masa jeda itu, perahu layar diparkirkan di Marina (Singapura), Turki, Malaysia, atau negara lain yang memiliki fasilitas yang lengkap. Ongkos sewa parkir rata-rata 30 dollar AS per hari.
”Kalau regulasi Indonesia lebih longgar dan ditunjang berbagai kemudahan, saya yakin Indonesia menjadi tujuan utama ribuan wisatawan asing berperahu layar sepanjang tahun. Karena obyek wisata di Indonesia sangat lengkap,” ujar Dewi Lesmana, Humas Yayasan Cinta Bahari. Kini, saatnya Pemerintah Indonesia perlu lebih jeli lagi melihat peluang ini, sebab devisa sesungguhnya telah ada di depan mata.
Sumber: http://travel.kompas.com