Tanjung Ouw Saparua, Wisata Pantai yang Terlupakan

Maluku Tengah - Maluku sangat terkenal dengan objek wisata pantainya. Salah satu di antaranya adalah Tanjung Ouw di Desa Ouw, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng), Provinsi Maluku. Selain pemandangan pantainya yang indah, dari pantai itu pengunjung bisa melihat lalu lalang kapal motor pencari ikan, atau motor boat kecil yang akan menuju ke Kecamatan Nusalaut, tempat pahlawan Nasional Christina Martha Tiahahu.

Desa Ouw banyak menyimpan sejarah, baik sejarah desa tersebut maupun dokumentasi atau cerita tentang perjanjian persaudaraan (pela) antara negeri-negeri (desa). Negeri Ouw (desa Kristen) dan Negeri Seith (desa Islam) yang terikat dalam relasi sosial gandong, yakni dua atau lebih negeri yang memiliki asal-usul sama, memang patut dijadikan contoh kehidupan lintas agama yang rukun. Dalam situasi memanasnya konflik berbau agama, pemuda Ouw yang beragama Kristen justru tinggal dan menetap di Seith yang berpenduduk Islam, tanpa diganggu dan terancam.

Pada umumnya, sejarah didominasi catatan dan cerita tentang dinamika kehidupan kalangan elite berkaitan dengan kekuasaan. Tetapi di Provinsi Maluku, khususnya di Desa Ouw itu, sejarah justru menampilkan kaum ordinary people, rakyat biasa. Penyajian itu membantu pengunjung mengatasi jarak waktu dan ruang dari peristiwa yang disuguhkan, karena ternyata di Desa Ouw tersimpan sejuta misteri kisah hidup persaudaraan Islam-Kristen dan objek wisata yang menjanjikan di masa datang.

Sebaris lagu dapat mengingatkan para seniman asal Maluku tentang desa itu, "Ouw Ulath e tanjung ouw ulath e, tanjung sibarane tanjung ouw ulath e". Tanjung Ouw itu mengingatkan pengunjung kepada penyanyi era 1950-an Bob Tutupoly. Berkaitan dengan nilai sejarah dan potensi itulah Sandi de Lima Tours and Travels mencoba menawarkan kekayaan alam itu, karena memiliki daya tarik tersendiri.

Mudah mengunjungi tanjung itu. Banyak kendaraan umum yang bisa membawa pengunjung ke pantai. Dari Pelabuhan Desa Haria, perjalanan lewat darat akan melewati kota di Kecamatan Saparua, Sirisori Islam dan Sirisori Kristen, Ulath, dan Ouw. Kendaraan akan terus melaju hingga naik ke daerah pegunungan. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menuruni sekitar 20 anak tangga ke pantai.

Kecuali masyarakat Desa Saparua, khususnya warga Desa Ouw, banyak warga Maluku yang memang belum mengetahui Desa Ouw menyimpan objek wisata pantai yang sangat indah. Sayangnya, baik masyarakatnya, maupun aparat desa hingga kecamatan, belum tergerak mengembangkan potensi wisata pantai itu.

Pembangunan Daerah
Pada tahun 2005, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku, memfasilitasi untuk membangun kembali hubungan pela dan gandong di Malteng. Panas Gandong yang dilaksanakan Negeri Seith dengan Negeri Ouw, juga Negeri Hatu dan Negeri Lima, di Kabupaten Malteng, merupakan bagian dari upaya Pemerintah Daerah (Pemda) Maluku dalam upaya menghidupkan kembali hukum adat yang terkoyak akibat konflik kemanusiaan.

Pemprov Maluku telah mengambil kebijaksanaan untuk menghidupkan kembali negeri sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Hal itu dapat dibuktikan dengan lahirnya Peraturan Daerah (Perda) 14/2005 tentang Penetapan Kembali Negeri sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malteng juga menetapkan Perda Nomor 1/2006 yang pada intinya mengatur tentang negeri.

Tokoh masyarakat yang juga pakar sosiologi Dr Tonny Pariela mengatakan Pemprov Maluku mempunyai rencana kebijakan pembangunan daerah yang terkenal dengan rencana strategi (renstra). Di dalam renstra pemda, disebutkan masing-masing pemda melakukan upaya-upaya merevitalisasi nilai-nilai budaya daerah sebagai modal sosial yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan pembangunan daerah yang berbasis potensi lokal. Salah satu program dalam bidang hukum ialah inventarisasi dan kodifikasi hukum adat dalam perda berbagai bidang.

"Hal ini cukup menarik, tetapi bila dikaitkan dengan eksistensi hukum adat sebagai hukum yang hidup dan berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat, maka upaya kodifikasi perlu dikaji lebih dalam tentang aspek-aspek positif dan negatifnya," kata Pariela.

Senada dengan Pariela Dekan Fakultas Hukum Universitas Pattimura (Unpatti) George Leasa menjelaskan, semua kebijakan patut memperhitungkan berbagai dampak yang muncul kemudian. Jika kodifikasi tidak menjadikan hukum adat menjadi kaku maka sudah waktunya kodifikasi dilakukan. Tetapi, jika hal itu berdampak bagi dinamika dan perkembangan hukum adat sebagai hukum yang dinamis, perlu dipertimbangkan sebelum diambil langkah tertentu.

"Oleh karena itu, perlu langkah-langkah bijaksana dalam merumuskan perda, sehingga tidak terjebak dalam perumusan yang mungkin saja dapat berdampak negatif bagi hukum adat dan masyarakat adat itu sendiri. Perda harus luwes dan dapat memberikan tempat yang wajar bagi tumbuh kembangnya hukum adat dan masyarakat adat. Minimal peraturan daerah mengakui eksistensi hukum adat dan masyarakat adat," kata Leasa.

Ia menambahkan, arah dan kebijakan Pemda Maluku dalam menata hukum adat di Maluku belum dilaksanakan sebagaimana yang diharapkan. Upaya kodifikasi hukum adat sebenarnya merupakan suatu langkah yang patut dipertimbangkan dikaitkan dengan sifat hukum adat sebagai hukum yang hidup.

Arah dan kebijakan hukum adat harus disesuaikan dengan dinamika yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Contoh baik sudah dikemukakan Leasa, yakni Negeri Ouw dan Negeri Seith, yang terikat relasi sosial gandong. (SP/Vonny Litamahuputty)

Sumber: www.suarapembaran.com (21 April 2008)
-

Arsip Blog

Recent Posts