Jakarta - Wayang turut merekam jejak sejarah, di antaranya wayang kulit yang disebut ”kuli rante”. Wayang koleksi Museum Wayang itu merekam jejak sejarah kerja paksa pada masa Hindia Belanda di Sawahlunto, Sumatera Barat.
”Wayang kuli rante dibuat sekitar tahun 1902 oleh para tahanan yang dipekerjakan secara paksa di pertambangan batubara Sawahlunto. Wayang tidak hanya menjadi bagian dari seni tradisi, tetapi juga menjadi jejak sejarah kita,” kata Kepala Seksi Pameran dan Edukasi Museum Wayang Budi Santosa, Senin (21/4/2014), di Jakarta.
Wayang kuli rante dari Sawahlunto terdiri atas empat buah. Menurut Budi, sunggingan wayangnya lebih kasar dibandingkan dengan wayang kulit yang dikenal masyarakat. Wayang kuli rante dibuat para tahanan Hindia Belanda dari Jawa yang ditujukan menjadi alat hiburan di antara sesama tahanan. Hasil penambangan batubara Sawahlunto saat itu dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar lokomotif kereta api yang sedang tumbuh pesat di Jawa.
”Selain wayang kuli rante Sawahlunto, juga ada wayang Deli Serdang yang dibuat para pekerja perkebunan karet di Deli, Sumatera Utara,” kata Budi.
Wayang-wayang itu memberi gambaran perjuangan masyarakat dalam mengaktualisasikan nilai-nilai budaya yang masih dianut. Wayang terbukti masih menjadi akar budaya yang kuat bagi masyarakat dalam keadaan tertekan, seperti terjadi pada para tahanan yang dipekerjakan paksa di Sawahlunto.
”Wayang Deli Serdang dikerjakan oleh pekerja yang dibayar, berbeda dengan wayang kuli rante Sawahlunto,” ujar Budi.
Seni wayang mulai banyak terpinggirkan, tetapi masih ada komunitas generasi anak muda yang masih peduli. Di Jakarta, tumbuh komunitas Wayang Beber Metropolitan. Pada Minggu (20/4/2014) lalu, sempat tampil di Museum Wayang. Menurut Samuel, penggiat dan dalang dalam komunitas tersebut, wayang sebagai akar budaya yang memiliki tantangan perkembangan makin berat. ”Sebagai generasi muda, jangan malu menyentuh akar budaya kita,” kata Samuel.
Sumber: http://travel.kompas.com