Yogyakarta - Pembangunan tidak hanya mencakup bentuk fisik suatu kota. Penguatan nilai seni budaya pun merupakan sebuah kekuatan. Yogyakarta sendiri memiliki beberapa landasan, di antaranya peran Keraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman. Kepala Dinas Kebudayaan DIY Umar Priyono menyebutkan, peran keduanya penting. Terutama dalam mewariskan nilai-nilai luhur dalam masyarakat. Mengajarkan tentang tatanan kehidupan dan unggah-ungguh dalam kehidupan Jawa. “Pembangunan itu tidak hanya mencakup fisik yang bisa kita lihat dan sentuh saja. Nilai-nilai pun suatu hal yang bisa dibilang lebih penting. Karena turut membangun kualitas individu manusia,” kata Umar dalam Dialog Budaya Festival Seni Adiluhung 2014 di Museum Perjuangan Mergangsan Jogja-karta, Minggu malam (14/12).
Turut hadir pula putra Sri Sultan Hameng-ku Buwono IX dari istri keempat KRAy Tjiptomurti, GBPH Cakraningrat. Gusti Cakra-ningrat mengungkapkan, nilai luhur dan adiluhung menjadi pegangan wajib bagi penghuni Keraton Jogjakarta.
Meski begitu, nilai-nilai ini terus dikembang-kan di luar benteng Keraton. Tujuannya adalah dapat membangun manusia yang beradab sesuai nilai filosofis Jawa. Pembelajaran ini pun terus diberikan oleh aya-handanya, almarhum HB IX.“Pada awal kemerdekaan pendidikan belum berkembang secara luas dan ter-buka. HB IX pun memiliki concern tinggi dalam hal pendidikan dan kebudayaan. Seiring waktu berdirilah universitas dan museum yang turut membantu dari sisi luar,” katanya.
Dalam era ini, kebudayaan turut berkembang di luar benteng Keraton. Masyarakat dengan bebas dapat mempelajari ragam kekayaan ini. Tidak hanya belajar secara teknis, namun juga nilai yang terkandung dalam kesenian yang dimiliki.Gusti Cakraningrat mengungkapkan tem-pat pelatihan tari berkembang secara pesat. Baik itu di Ndalem Pangeran maupun ma-syarkat umum. Ini menjadikan pewarisan nilai-nilai adiluhung terus bergulir dan ter-lestarikan
Sementara itu kerabat Pura Pakualaman KPH Kusumo Pa-rastho menegaskan, nilai budaya ini menjadi magnet yang kuat. Terbukti dengan banyaknya pendatang yang masuk ke Jogjakarta. Meski pada awalnya hanya berorientasi pada bidang pendidikan.Namun proses adaptasi mem-buat para pendatang ini turut belajar kebudayaan Jogjakarta. Bahkan nilai kearifan lokal tur-ut melebur ke dalam jiwa para pendatang. Alhasil nilai-nilai ini turut mempengaruhi pola psi-kologis dan cara berpikir.“Dulu bahkan ada istilah Batak Jogja, karena nilai adiluhung kita melebur. Namun saat ini seakan semuanya terbalik. Mun-gkin karena gaya dan pola hidup membuat dinamika masyarakat terus bergerak,” katanya.
Kusumo Parastho menegaskan saat ini pergejolakan sering ter-jadi di masyarakat. Di mana budaya luar seakan memaksakan untuk berdiri di Jogjakarta. Me-ski ini bagian dari dinamika, namun tetap disayangkan.Secara tidak langsung hal ini menimbulkan sebuah konlfik. Minimnya wujud toleransi akan budaya asli membuat kekayaan nilai semakin terpinggirkan. Tidak hanya untuk pendatang, namun atmosfir ini juga turut mempeng-aruhi warga lokal Jogjakarta.“Inilah mengapa sangat penting meningkatkan budaya kita. Pri-badi Jogja yang lembah manah bisa menebar ke masyarakat umum. Dinamika itu bagus, tapi juga jangan mengikuti dina-mika yang salah apalagi mening-galkan akar budaya kita,” katanya.
Pengageng Tepas Dwarapura Keraton Jogjakarta KRT Jatiningrat menuturkan, nilai adiluhung terus dijaga hingga saat ini. Sejak zaman raja Keraton Jogjakarta pertama HB I hingga HB X upaya menjaga nilai ini terus dilakukan.Bahkan penerapan Bhinneka Tunggal Ika terlebih dahulu ber-kembang sebelum Indonesia berdiri. Pria yang akrab disapa Romo Tirun ini menjelaskan, penerapan ini bahkan hingga ke Tan Hana Dharma Mangrwa.“Artinya tidak ada pengabdian yang mendua dan tidak ter-pengaruh bujukan luar. Nilai ini sudah ditanamkan dari dulu melalui perwujudan Golong Gilig jiwa ksatria. Saat ini HB X juga mengajak masyarakat men-jadi figur ksatria. Di mana ber-korban untuk orang banyak tidak untuk diri sendiri,” katanya.
Romo Tirun pun berpesan saat pendatang tidak hanya belajar dari segi pendidikan. Seni dan budaya Jogjakarta merupakan kekuatan penting dalam pem-bentukan jiwa. Meski tidak ber-sifat memaksakan, bertujuan meresapi nilai filosofisnya.Jogjakarta pun berdiri atas berbagai akulturasi di dalamnya. Seperti akulturasi dalam budaya, fisik bangunan hingga para bre-gada Keraton Jogjakarta. Bangu-nan Keraton Jogjakarta meru-pakan peraduan antara gaya indische dengan budaya lokal.
Lalu bregada berdandan laya-knya pasukan ala Napoleon dari barat. Tapi para pasukan ini tetap menggunakan blangkon dan lurik. Para pangeran pun juga mengenyam pendidikan dari Barat, namun tetap berakar kuat pada tradisi.“Ini perpaduan yang luar bia-sa sejak zaman nenek moyang kita. Pengaruh luar masuk dan diolah dengan budaya lokal, sehingga tampil menarik dan menjadi produk yang adiuluhung. Istimewanya tidak meninggalkan pemikiran Jawa,” ungkapnya.
Menjaga kekuatan tradisi pun tercermin dalam tindakan HB VIII saat bertemu Belanda. Me-ski terlihat akur, sejatinya bentuk penghormatan. Nilai inilah yang membuat raja Jogjakarta dise-gani, bahkan oleh penjajah Be-landa sekalipun.“Contoh konkrit adalah mem-biarkan bendera Belanda berkibar, namun di sisi kirinya juga berkibar Bendera Gula Kelapa milik Kera-ton Jogjakarta. Sikap yang menunjukkan kita punya pribadi dan ciri khas yang dihargai dan wajib harus dipertahankan. Ber-pikir ala Barat namun tetap Nja-wani,” tandasnya.
Sumber: http://www.radarjogja.co.id