Makassar, Sulsel -Di pinggir kali yang terletak di kaki gunung, seorang gadis sendirian mencuci. Mengenakan kebaya merah muda dibalut sarung. Dengan wajah yang murung, dia mulai berbicara pada penonton.
"Bolu peca, onde-onde. Coba disimpan di lemari. Galau kurasa deh! Hidup di bumi seorang diri," keluh Fatimah -nama gadis itu, bersedih.
La Pampang, lelaki pribumi yang jago silat, tak sengaja melihat kehadiran Fatimah. Bersama anak buahnya, La Sengo, dia melompat ke balik batu hendak bersembunyi. La Pampang malu-malu menampakkan diri. Dalam sekejap, La Pampang terpukau dengan keanggunan Fatimah. Atas saran dari La Sengo, akhirnya, La Pampang bersedia berkenalan dengan gadis tersebut.
"Apalah arti seorang ilmuwan. Kalau tidak dapat berjalan. Apalah arti sebuah pertemuan. Kalau kita tidak kenalan," tutur La Pampang sembari mencari perhatian Fatimah. Akhirnya mereka saling kenal dan lebih dekat.
Pertunjukan ini diberi nama Opera Van Tun yang disajikan di Ewako Fest atau Festival Seni Warisan Budaya Kontemporer oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pantun dan Seni Kreatif Universitas Hasanuddin, pada Sabtu lalu.
Opera itu berjudul Ta'bangkaku alias Takkan Ku Biarkan Kau Serang Bangsaku, yang disutradarai oleh Muh. Rijal Djamal. Menggunakan latar belakang pada pementasan ini zaman penjajahan Belanda di Indonesia.
Sosok Fatimah diperankan oleh Kadek Sri Astuti. Kemudian salah satu pesuruh seorang penjajah bernama Menir diperankan Heri Aprianto. Tokoh La Pampang diperankan oleh Anwar G. Dalam kesehariannya Fatimah harus melaksanakan semua tugas yang diperintahkan Menir termasuk menekuni pekerjaan di bidang pertanian.
Namun, hubungan antara Menir dan La Pampang sejak dulu tidak pernah akur. Melalui Fatimah, La Pampang mendapat informasi rencana Menir melancarkan serangan kepadanya. Namun, di sisi lain, Fatimah juga menerima permintaan Menir agar dia menolongnya menemukan kelemahan La Pampang. Dalam situasi yang sulit itu, cinta keduanya, Fatimah dan La Pampang, dipertaruhkan dan gadis cantik ini kemudian menetapkan pilihan hatinya setia pada La Pampang.
Drama bertema perjuangan ini juga diselimuti kisah cinta. Dengan jalan cerita yang cukup sederhana disajikan dengan cukup rumit. Ditambah aksi jenaka para pemain,yang menyihir penonton berfokus dengan adegan lucu. Belum lagi adanya sosok kemayu yang membuat suasana semakin kocak.
Selain Opera Van Tun, ada pementasan lain di ajang ini seperti tari panen, parade puisi, sulap, dan breakdance. Ajang ini sekaligus memperingati hari jadi komunitas yang dulu bernama Tunas (Komunitas Pantun Unhas) dan memasuki tahun keempat. M. Rijal Djamal, salah satu pendiri komunitas ini, berharap, karya-karya dan pementasannya bisa menghibur banyak orang.
Wakil Walikota Makassar, Syamsu Rizal, yang ikut menyaksikan Ewako Fest, seolah ikut ketular berpantun. Untuk memberikan ucapan, pria yang biasa disapa Daeng Ical ini mengatakan dengan pantun.
Lebih baik beli pepaya. Daripada beli manggis.Lebih baik sibuk berkarya. Daripada demo anarkis.
Sumber: http://www.tempo.co