Jakarta - Menurut dosen tari di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Julianti Parani, tari tradisional merupakan salah satu produk budaya sebagai warisan tak benda yang merupakan bentuk perangkat lunak masyarakat masa lampau yang paling rawan menjadi korban karena termakan zaman.
Dalam seminar "Telisik Tari DKJ (Dewan Kesenian Jakarta): Tari Betawi 'Topeng & Cokek", Julianti menyayangkan tarian Cokek dari Betawi yang berasal dari budaya Tiongkok, saat ini hanya menonjolkan pelesiran (hiburan) saja. Padahal menurutnya, tarian Cokek merupakan tarian agung yang biasa dibawakan saat acara-acara khusus di Klenteng ataupun saat pernikahan.
"Tarian Cokek merupakan bentuk proses regenerasi. Namun, yang diambil masyarakat hanya nilai negatifnya saja. Padahal Cokek yang berasal dari tarian Sipatmo sangat kental dengan nilai tradisi dan budaya," ujarnya di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, Senin (8/12).
Dilanjutkannya, hal itu tidak hanya terjadi di Tarian Cokek. Banyak seni yang bergeser makna dari masa lampau karena termakan zaman.
"Pergeseran tersebut terjadi karena tidak ada yang mengurus. Oleh karena itu, masyarakat dan pemerintah harus bisa mengurus dan menjaga budaya dan tradisi agar peradaban kita lebih dikenal dengan nilai-nilai positifnya," imbuh Julianti.
Menurutnya, bila pergeseran ini dimaklumi saja, maka generasi ke depan akan melihat peradaban saat ini sebagai peradaban yang jauh dari nilai tradisi. Ia mengkritisi saat ini masyarakat malah lebih dekat dengan lagu-lagu dan kebudayaan dari Korea ketimbang dari negaranya sendiri.
"Kita tahu pemerintah saat ini sudah berbuat banyak untuk kebudayaan Betawi. Namun, ada yang terlupakan, seperti Cokek ini. Sebaiknya jangan hanya mengangkat Cokek dari nilai pelesirannya saja," kata Julianti.
Sumber: http://www.beritasatu.com