Oleh
Rahung Nasution*“Bagaimana perasaanmu jika kami ambil ibumu dan kami belah payudaranya,
itulah perasaan orang Amungme sekarang.”— Lidia Baenal
Jika kita berkunjung ke Timika, mendarat di bandara Moses Kilangin, sepintas tidak ada yang aneh di bandara kecil bertarap internasional ini. Tetapi, jika kita sudah berada di luar bandara dikerubungi supir taksi-taksi liar dan tukang ojek yang berasal dari Jawa dan Sulawesi—yang berlomba-lomba untuk menawarkan jasa—dan pemuda-pemuda setempat yang nongkrong di depan bandara sambil mengunyah-ngunyah pinang-sirih yang membuat mulut mereka berwarna merah, barulah kita mengetahui bandara ini berbeda dengan bandara udara yang ada di kota-kota Indonesia lainnya.
Di depan bandara udara Moses Kilangin terdapat ban truk raksasa, carterpillar—yang mengukuhkan bahwa bandara udara dibangun oleh salah satu perusahan tambang terbesar di dunia, Freeport Mc Moran. Di tengah-tengah lingkaran ban raksasa tersebut tercantum nama-nama sejumlah negara yang turut serta dalam ekploitasi tambang emas dan tembaga di wilayah Nemangkawi, Pegunungan Cartensz, Jayawiya.
Namun, Kota Timika yang merupakan ibukota dari Kapubaten Mimika, tidak jauh berbeda dengan kota kabupaten lain yang terdapat di luar Pulau Jawa. Nampak kumuh, lampu merah yang jarang menyala, bangunan-bangunan modern dan tumpukan rumah-rumah penduduk beratap seng yang mayoritas dihuni pendatang dari Bugis, Jawa, Maluku, dan Toraja, serta pasar tradisional sebagai pusat aktivitas ekonomi dan listrik yang di kelola PLN sering kali mati.
Kabupaten Mimika merupakan pemekaran dari Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat. Kabupaten baru ini sedang bergegas dan nampaknya menyadari betul akan keberadaan dirinya sebagai kabupaten yang memiliki sumber daya alam terkaya di Indonesia, dan mungkin juga di dunia. “Jika Freeport tidak ada, Kota Timika tidak akan pernah ada. Dan seandainya kota ini pun ada, maka Timika akan menjadi kota mati,” begitulah pernyataan seorang kawan ketika aku tanyakan bagaimana seandainya Freeport Mc Moran tidak melakukan eksploitasi di wilayah yang kini tertunda sebagai ibukota Provinsi Papua Tengah ini—karena ide pemekaran Papua Barat menjadi dua provinsi mengakibatkan konflik elit politik yang berbuntut pada perang suku antara kubu yang pro dan menentang pada tahun 2005. Setahun kemudian, perang suku pecah lagi. Kali ini untuk memperebutkan 7 kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daereh (DPRD) kabupaten Mimika.
Pada Februari 1623, pelaut Belanda Jan Cartensz yang berlayar di sebelah selatan Pulau Papua melaporkan dalam jurnalnya: suatu pagi yang cerah mereka menyaksikan suatu gunung tinggi yang puncaknya berwarna putih. Ketika itu, banyak orang di Eropa menyangsikan laporannya dan menganggapnya sebagai pembual ketika ia mengatakan bahwa di suatu wilayah khatulistiwa terdapat gunung salju abadi. Beberapa peneliti yang tertarik dengan laporan “bualan”-nya itu kemudian melakukan serangkaian ekspedisi ke Pegunungan Nemangkawi.
Pada 25 April 1960, Nederlands Nieuw Guinea Petrolium Maatschappy (NNGPM) melakukan pendakian dalam skala besar kepegungan bersalju Nemangkawi, dipimpin A.J. Wintrachen dari Belanda dan seorang geolog Amerika, D. Flind. Ekspedisi kali ini juga merupakan kelanjutan dari dari ekspedisi sebelumnya yang telah dilakukan Dr. A.H. Colijn di tahun 1936 sampai 1937 bersama geolog Dr. J.J Dozy yang menemukan kandungan bijih-bijih mineral di salah satu puncak Nemangkawi, Yelsegel Ongopsel, yang kemudian mereka sebut sebagai Gunung Bijih, Eastberg.
Dalam rombongan ekspedisi itu terdapat sembilan belas orang pegawai pemerintah kolonial Belanda, polisi, porter, dan penerjemah. Salah seorang dari mereka adalah Moses Kilangin Tenbak, seorang guru SD Kampung Amkayagama, Lembah Tsinga hilir. Moses Kilangin adalah seorang putra suku bangsa Amungme. Pemilik hak ulayat (ulayat = tanah adat, ed.) atas tanah Amungsa, Pegunungan Nemangkawi, Cantensz.
Amungsa merupakan wilayah yang ditempati suku bangsa Amungme yang meliputi puncak-puncak Pegunungan Nemangkawi yang tinggi (Cartensz), lembah-lembah yang subur, seperti Tsinga, Noemba dan Waa, serta sungai-sungai yang membelah pegunungan dari barat ke timur dan dari utara ke selatan. Salah satu puncak Nemangkawi adalah Yelsegel Ongopsel (Eastberg), yang dalam bahasa Amungme berarti “gunung yang berkilauan laksana bulu burung Cenderawasih hitam”.
Menurut Arnold Mamperior dalam bukunya Amungme Manusia Utama Dari Nemangkawi Pegunungan Cartensz, Gunung Yelsegel Ogopsegel adalah wilayah keramat—tempat asal mula leluhur suku Amungme—dan sebagai tempat beristirahatnya burung Yelki dan Ongopki yang dipuja keret-ndartem (klan) Narkime dan Magal. Gunung yang puncaknya 130 meter dari permukaan tanah dan kedalamannya dua kali lipat ke dalam perut bumi ini, sudah lenyap dikeruk oleh Freeport dan kini yang tersisa adalah ceruk, sumur raksasa, yang airnya berasal dari curah hujan.
Perusahaan tambang Freeport milik Amerika yang berporasi sejak tahun 1973 menandatangi kontrak karya dengan rezim Orde Baru Soeharto untuk menambang bijih-bijih tembaga di wilayah Nemangkawi, gunung Yelsegel Ogopsegel, Eastberg. Tahun 1991 kontrak karya ini diperbaharui, berlaku hingga 30 tahun (sampai 2041), dengan klaim bahwa geolog Freeport baru menemukan emas di Gunung Tenogama/Enagasin, Grassberg tahun 1988 dengan kandungan emas terbesar di dunia dan tembaga menempati urutan nomer ketiga.
Menurut Memperior, Amungme berarti Manusia Pertama, Manusia Sejati, atau Manusia Sesungguhnya. (Amung berarti Pertama, Utama, Sejati, Sesungguhnya; dan Me berarti Manusia, Orang). Suku Manusia Utama ini memberi nama Nemangkawi kepada pegunungan yang bersalju ini sejak jaman leluhur mereka. Sebagai suku pegunungan, suku Amungme memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan alam dalam istilah mereka Te Aro Newek Lak-o, yang berarti: Alam adalah Aku. Sungai, lembah, dan pegunungan adalah tubuh ibu atau mama suku Amungme.
Para peneliti Eropa menamainya Pegunungan Nemangkawi dengan sebutan Cartensz. Soekarno memberi nama Puncak Soekarno ketika terbang di atas Pegunungan Nemangkawi pada 5 Mei 1963 dalam perjalanan menuju Biak ke Merauke dan sebelumnya Soekarno sudah mengganti nama Hollandia (Kota Baru) menjadi Soekarnopura. Pada zaman rezim Orde Baru, Soeharto mengganti namanya menjadi Puncak Jaya dan Soekarnopura menjadi Jayapura.
Selang beberapa bulan setelah Kudeta Militer tahun 1965, Freeport Mc Moran mulai menjajaki kemungkinan investasi untuk mengeksploitasi Pegunungan Nemangkawi, Cartensz. Pada 3 Maret 1973, Soeharto meresmikan beroperasinya penambangan Freeport tanpa meminta persetujuan dari masyakakat adat Amungme, pemilik sah tanah ulat di Pegunungan Nemangkawi. Dengan kepemilikan saham terbesar jatuh kepada: Freeport Mc Moran sebesar 67,3 persen, PT Indocopper Investama 9,3 persen, join venture dengan Rio Tinto Group 13 persen, dan pemerintah Indonesia 9,3 persen. Dalam laporan yang dirilis di mining-technology.com, pada 2006 Freeport memproduksi 610. 800 ton tembaga, 58.474,392 gram emas, dan 174.458.971 gram perak.
Salah seorang komisaris pemegang saham di perusahaan tambang raksasa ini adalah Henry Kissinger, Sekretaris Negara Amerika Serikat ke-56 dari tahun 1973 sampai 1977 dan pernah menjabat sebagai Pembantu Penasehat Keamanan Nasional untuk presiden dari tahun 1969 sampai 1975. Henry Kissinger adalah seorang diplomat ulung yang disebut-sebut beberapa pakar terlibat dalam penggulingan pemerintahan Soekarno dan secara aktif turut serta dalam membasmi gerakan komunis di Asia.
Terisolasi di Tengah Gemerlap Tembagapura
Ketika awal Juli yang lalu kami mengunjungi Desa Banti dan Kimbeli, belum pernah kami bayangkan sebelumnya, satu kelompok suku bangsa yang secara otoritas administrasi termasuk dalam Republik Indonesia, terisolasi sedemikian rupa dan terperosok di pinggiran gemerlapnya kota tambang di kaki Pegunungan Nemangkawi, Cartensz. Desa Banti dan Kimbeli terdapat di distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, di mana perusahaan tambang raksasa Freeport mengeruk kekayaan Amungsa sampai ke perut bumi dan mendapatkan keuntungan jutaan dolar dengan memenuhi hasrat dunia akan kemilau emas. Dan negara melalui pemerintah Indonesia, mengalami tuna-kuasa.
Untuk sampai ke desa yang terletak di Lembah Waa ini, kita harus mengurus izin dari manajemen Freeport yang berkantor di Kuala Kencana (pusat pemukiman lengkap dengan sarana perbelanjaan dan perkantoran modern yang disulap di tengah hutan hujan tropis yang sangat eksotis). Jangan harap izin tersebut didapatkan pada saat hari itu juga, izin dan kartu pas bisa keluar seminggu kemudian, setelah kami bisa menyakinkan pihak manajemen Freeport bahwa kunjungan ke Banti dan Kimbeli bukan dalam rangka untuk “memata-matai” aktivitas penambangan mereka dan bukan untuk memotret aktivitas penambangan tradisional di Sungai Ajkwa yang tercermar oleh limbah tailing Freeport. Sungai yang bersumber dari mata air-mata air yang mengalir dari Pegunungan Nemangkawi ini, mirip adonan semen cair berwarna keabu-abuan dengan bau yang sangat menyengat. Di sungai inilah suku Amungme, Dani, Mee, dan para pendatang dari Jawa dan Sulawesi mengais-ngais sisa-sisa bijih emas yang lolos ke kanal-kanal pembuangan.
Surat izin dan kartu pas yang kami dapatkan atas rekomendasi dari dokter-dokter yang bekerja di Rumah Sakit SOS di Tembagapura, kami pakai untuk melewati empat Pos Keamanan Freeport yang sistemnya terkomputerisasi. Bagi penduduk sekitar, mungkin tidak serumit pengunjung ketika ingin mendapatkan izin keluar-masuk ke wilayah itu. Tetapi jalan satu-satunya untuk sampai Banti dan Kimbeli adalah jalan menuju areal penambangan di kawasan Gunung Tenogama/Enagasin, Grassberg.
Setelah melewati Kuala Kencana, jalan yang dilalui adalah jalan tanpa aspal dari dataran rendah menanjak ke perbukitan di mile 50 dengan kelokan-kelokan yang curam, dan kemudian mendaki ke pegunungan di atas 3.000 m dari permukaan laut.
Sepanjang perjalanan, menara tiang-tiang listrik menjulang tinggi untuk mengalirkan arus listrik dari pembangkit listrik Freeport bertenaga batubara yang terdapat di Portside, pelabuhan tambang Freeport di bibir Laut Arafura. Kabel-kabel listrik berkekuatan tinggi ini melintasi pinggiran Kota Timika, di mana listrik yang dikelola oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) dalam setiap 6 jam padam.
Ada pun transportasi yang boleh melalui jalan areal penambangan hanyalah truk-truk dan bus milik Freeport, serta kendaraan aparat keamanan. Melalui kendaraan aparat keamanan, pembeli emas dan para pendulang tradisional diangkut naik ke desa Banti dan Kimbeli. Dari informasi yang kami dapat dari penduduk setempat, aparat keamanan juga melakukan bisnis ilegal dengan berdagang minuman keras kepada suku Amungme, Dani, dan pendulang pendatang lainnya. Ongkos yang harus dibayar untuk sampai ke kedua desa tersebut kira-kira dua sampai dua setengah juta per orang.
Desa Banti dan Kimbeli hanya berjarak beberapa kilometer dari Tembagapura yang gemerlap di tengah-tengah lembah Pegunungan Nemangkawi. Lengkap dengan pusat perbelanjaan, sarana olah raga, lapangan heli, food court dengan menu yang lengkap mulai dari berbagai jenis makanan Barat sampai tumis kangkung ala Indonesia.
Sementara itu, jika kita turun beberapa kilometer ke bawah ke arah Lembah Waa, melewati gerbang besi dengan kawat berduri yang di jaga Kemanan Freeport dan Polisi, kita akan menyaksikan para pendulang tradisional yang mengais-ngais rezeki di Sungai Ajkwa. Umumnya, para pendulang ini merupakan pendatang dari suku-suku yang bertetangga dengan Amungme seperti Mee, Dani, serta orang-orang Jawa dan Sulawesi. Para pendatang ini tinggal di Desa Kimbeli dan jumlah mereka semakin banyak. Seringkali terjadi konflik dengan suku Amungme yang merasa semakin terdesak. Tak jarang pula konflik itu bisa berbuntut perang suku.
Sebut saja namanya Johan. Dia adalah penerjemah kami, seorang putra Amungme asal Banti yang mengaku kuliah di Universitas Tarumanegara, Jakarta, dan tercatat sebagai mahasiswa semester akhir. “Saya pulang ke Banti karena tahun yang lalu terjadi perang suku,” begitu katanya ketika kami tanyakan kenapa dia tidak menyelesaikan skripsinya. “Perang suku adalah masalah harga diri. Saya pulang untuk menjaga harga diri suku Amungme,” tegasnya sambil matanya menerawang ke arah para penambang tradisional di sepanjang aliran Sungai Ajkwa.
“Iyo nawago, iyo nawago. Inamoramo agam tuwo, (Saya ibumu, saya ibumu, datang kepadamu. Panahlah aku supaya engkau punya susu).” Syair tersebut merupakan pekikan perang suku Amungme yang akan diteriakkan kepala perang sebagai penanda perang dengan suku lain telah dimulai.
Menurut catatan Arnold Memperior, “di balik kengerian tradisi perang berbaur heroisme laki-laki Papua ini tersimpan petuah leluhur yang tak boleh diremehkan. Setiap laki-laki Papua di wilayah pegunungan harus mampu melaksanakan petuah leluhur untuk menjaga harga diri, jati diri, tanah leluhur, harta benda, dan sanak keluarga. Hal itu harus dipertahankan dan dijunjung tinggi.“ Dahulu, perang suku dalam masyarakat Amungme dapat terjadi karena utang mas kawin yang tidak dilunasi, salah satu suku tetangga melanggar batas wilayah, dan bisa juga disebabkan oleh pencurian ternak babi dan perampasan wanita. Perang bisa berakhir jika kedua belah pihak yang bertikai memiliki jumlah korban yang sama. Dalam tradisi suku-suku di pegunungan, jika jumlah korban dianggap sama dan seimbang, selanjutnya adalah menyelasaikan konflik ini dengan cara yang terhormat melalui kesepakatan adat dari kedua belah pihak.
Mungkin semangat leluhur inilah yang membuat Johan untuk kembali ke Banti dan terlibat perang suku dengan suku Dani yang bermukin di Desa Kimbeli. Kedua desa ini hanya berjarak beberapa meter dan dipisahkan oleh jembatan beton dengan sungai yang tercemar mengalir deras di bawahnya. Suku Dani dan suku pendatang lainnya memasuki wilayah Amungme menjelang tahun 1980-an karena tergiur oleh keuntungan dengan mendulang limbah tailing Freeport.
Tetapi jika kita melihat ke berbagai peristiwa yang terjadi hingga hari ini, pemicu perang suku sejak munculnya perusahan tambang Freeport telah berbegeser dari konflik masa lalu berubah menjadi konflik modern dengan tujuan-tujuan politik tertentu. Perang suku telah menjadi konsumsi yang melibatkan berbagai macam kepentingan seperti rentetan kekejaman militer melalui operasi-operasi khusus, pemekaran, pilkada, bahkan bentrok antara penambang-penambang tradisional dengan pihak Freeport.
Minuman Keras, HIV dan AIDS
Badan Pusat Statistik Kabupaten Mimika mencatat jumlah penduduk terus bertambah setiap tahunnya. Pada 2007 tercatat 171.000 orang lebih. Jumlah suku-suku asli adalah 30.000. Dari jumlah tersebut suku Amungme dan Kamoro adalah yang terbesar dari 5 suku lainnya. Dari keseluruhan jumlah suku-suku asli di wilayah Mimika, diperkirakan hanya 10.000 yang lulus dari pandidikan Sekolah Dasar. Artinya, lebih dari separuh lebih suku-suku asli ini adalah buta huruf. Sementara itu, hingga 2008, jumlah pekerja di pertambangan Freeport lebih dari 19.000 ribu jiwa.
Selain persoalan pendatang yang menyebabkan suku-suku asli ini semakin terdesak kepinggiran dan menimbulkan kecemburuan sosial, pesoalan lainnya adalah penularan HIV dan AIDS. Provinsi Papua menempati urutan teratas dalam penularan HIV dan AIDS di Indonesia dan Kabupaten Mimika adalah yang tingkat penularannya paling tinggi di seluruh wilayah Papua.
Berdasarkan survey HIV dan AIDS tahun 2006 yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan dan WHO, prevelensi HIV di Papua sebesar 2,4 persen. Ini berarti penderita HIV di Mimika lebih dari 3.000 orang dan 50 persen menyebar di masyarakat 7 suku (Amungme 23 persen, Mee/Ekari 17 persen, dan Dani 17 pesen).
Kami datang ke Banti untuk mewawancarai seorang pengidap HIV positif (ODHA) untuk kepentingan KPAD (Komisi Penanggulangan Aids Daerah) Mimika yang ingin mendorong agar mereka terlibat aktif dalam berbagai penyuluhan dan kampanye pencegahan HIV, khususnya di Kabupaten Mimika. Pada priode Agustus 2008, KPAD Mimika menemukan kasus HIV dan AIDS di Mimika meningkat tajam, mencapai 1.300 kasus dan telah merenggut nyawa 86 orang. Yang terdiri dari kasus HIV sebanyak 1.283 dan AIDS sebanyak 199 yang menyebar melalui hubungan seksual sebanyak 1.284 kasus, dari ibu ke anak 29 kasus, homoseksual 1 kasus, tranfusi darah 1 kasus, dan tidak diketahu identitasnya 7 kasus.
Sebut saja namanya Martina. Dia mendapat HIV dari suaminya yang telah meninggal dua tahun yang lalu. Sebelum melakukan perawatan dan pendampingan khusus, berat badannya adalah 25 kg dan tubuhnya hanya tinggal tulang. Dia menceritakan kepada kami bagaimana selama dua tahun terakhir ini, secara terus-menerus dengan teratur ia harus mengonsumsi obat-obatan yang menghambat perkembangan virus yang mematikan ini. Kini berat badannya sudah normal kembali, 58 kg.
Di desa pegunungan yang terletak di Lembah Waa ini, Martina tidak sendirian. Kami juga menemukan seorang anak perempuan berusia 16 tahun yang telah menikah dan memiliki seorang anak juga terinfeksi HIV. Ketika kami berbicara dan menanyakan apa yang dia ketahui tentang penyakit ini, dia sama sekali tidak mengerti penyakit apa yang dideritanya. Minimnya informasi ini tidak lepas dari jumlah mayoritas suku pedalaman ini adalah buta huruf.
Ketika kami tanyakan kepada Marten Omaleng, Kepala Desa sementara Banti II, berapa persen dari hasil pendapatan kotor Freeport yang menjadi hak milik suku Amungme dan Kamoro sebagai pemilik ulayat tanah yang dieksplotai Freeport, dia tidak tidak memiliki angka yang pasti, bahkan dia mengatakan 35 persen. Tetapi dengan keyakinan dia mengatakan, kelak anak-anak cucunya yang kini sebagian sekolah di Jawa akan pulang ke kampung mereka. Sebab merekalah pemilik sah gunung emas Nemangkawi.
Pengelolaan dana “bantuan sosial” dan 1 persen pendapatan kotor Freeport yang merupakan konsesi atas tanah ulayat Amungme dan Kamoro juga menimbulkan berbagai masalah di tahun 1990-an. Tidak ada bentuk nyata bahwa suku pedalaman ini telah merasakan hasil dari dana-dana tersebut dengan peningkatan kualitas hidup mereka. Di Banti, misalnya, sebagai salah satu pusat pemukiman suku Amungme, dengan kekayaan alam gunung emas yang terbesar di dunia, banyak anak-anak yang pendidikannya terlantar. Penduduknya tinggal dalam honey-honey (rumah tradisional) yang tidak hiegenis, berbentuk bulat di dalamnya pengap tanpa cahaya matahari yang cukup: tempat bersarangnya berbagai macam jenis penyakit, seperti TBC dan penyakit menular lainnya.
Penyaluran dana ini pun awalnya cukup aneh. Dana itu dibagi-bagikan melalui tetua-tetua adat kepada masyarakat melalui lembaga-lembaga yang mengklaim sebagai lembaga adat. Menurut pengakuan penduduk setempat, per tiga bulan ada yang mendapat sampai 20 juta setiap keluarga. Dalam masyarakat yang pola hidupnya masih meramu dan berburu, sisa-sisa dari kebudayaan zaman batu, mau diapakan dana dalam jumlah yang sangat besar itu? Umumnya, setelah mendapatkan dana tersebut, mereka membeli berbagai kebutuhan pokok, melakukan pesta, dan tak jarang para laki-laki turun ke Timika untuk mengunjungi tempat-tempat prostitusi dan mabuk-mabukan.
Pergeseran-pergeseran nilai-nilai adat yang kini mengalami kemerosotan dalam masyarakat adat Amungme tidak lepas dari masuknya berbagai pengaruh asing. Ketika gereja dan negara datang menggantikan lembaga dan hukum-hukum adat, secara perlahan berbagai kearifan yang diwariskan leluhur Amungme mulai ditinggalkan. Sementara itu, nilai-nilai negatif terus dipertahankan, misalnya dijabarkannya konflik suku menjadi konflik modern yang melibatkan berbagai kepentingan elit-elit pusat dan lokal: orang-orang yang paling diuntungkan dengan hadirnya Freeport di Bumi Amungsa!
Ketiga kita berbicara mengenai kepentingan modal, bagi suku Amungme, negara hadir dalam bentuk yang sangat represif, menindas dan mengintimidasi. Misalnya, ketika masyarakat adat mempertanyakan hak-hak mereka atas tanah, air dan gunung-gunung yang dulu merupakan asal-usul leluhur bangsa Amungme, sebentar-sebentar mereka dicap separatis, pendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Ironisnya, ketika aku bertanya pada mama-mama di Desa Banti, siapakah presiden Indonesia saat ini, sebagian besar menjawab “tidak tahu” dan salah seorang dari mama-mama tersebut menjawab: Soeharto. Soeharto adalah sorang diktator yang telah menggadaikan bumi Amungsa kepada kekuatan modal, yang kekuasaannya membuat negara menjadi tuna-kuasa dan aparat negaranya menjadi centeng-centeng penjaga modal yang setia!
* Penulis adalah tukang film dokumenter dan seorang pecinta tato.
Sumber Tulisan:http://www.wacananusantara.org/99/572/kisah-kelam-di-balik-gunung-emas-nemangkawi