oleh Drs. Budi Santoso Wibowo (Alm.)
disusun kembali Ni Ketut Wardani P.D.
BAGIAN I
Kawasan situs Trowulan yang merupakan bekas ibukota Majapahit, memiliki tinggalan-tinggalan budaya fisik manusia dari masa kerajaan Majapahit. Salah satu peninggalan budaya fisik manusia dari masa itu berupa cekungan-cekungan pada permukaan tanah. Cekungan-cekungan ini terdiri dari cekungan-cekungan alami dan cekungan-cekungan buatan manusia. Namun demikian, terdapat perbedaan pendapat tentang cekungan-cekungan yang ada di kawasan ini. Cekungan-cekungan di kawasan situs ini diduga digunakan sebagai sumur, waduk, dan kanal oleh orang-orang yang hidup di masa kerajaan tersebut. Hal ini menurut kami menarik untuk diamati, karena keberadannya pasti memiliki alasan tertentu.
Data mengenai keberadaan waduk maupun kanal, terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian pertama berupa studi literatur dan bagian kedua hasil pengamatan. Bagian pertama, terdiri dari beberapa tulisan yang menyebut adanya waduk maupun kanal, seperti laporan Penelitian Macline Pont tahun 1926 dan 1936 penelitian oleh Bondan H. 1999, penelitian Karina Suwandi tahun 1983, dan Hasil Analisa Foto Udara oleh Bakosurtanal tahun 1981/1982. Bagian kedua terdiri dari bekas waduk dan kanal dari adanya cekungan-cekungan yang alami maupun buatan yang masih dapat kita temukan di kawasan situs Trowulan. Cekungan-cekungan ini biasanya sudah dangkal, menjadi nama dusun atau desa, atau hanya tinggal toponim saja. Contoh dari waduk yang menjadi nama dusun atau desa adalah waduk Kedung Wulan yang kemudian menjadi nama Dusun Kedung Wulan, dan waduk Kedung Maling yang kemudian menjadi nama Desa Kedung Maling di kecamatan Sooko Mojokerto.
A. Waduk
Waduk yang dalam istilah lokal dikenal dengan sebutan Balong atau Kedung, merupakan sebuah cekungana alami yang tak terbentuk. Cekungan ini ada kemungkinan diperluas oleh tangan manusia. Biasanya cekungan ini pada bagian ujung maupun pangkalnya menyempit dan dalam yang diduga digunakan sebagai terusan antara waduk satu dengan waduk lainnya. Menurut Macline Pont, di kawasan situs Trowulan terdapat 18 waduk Kuno. Salah satunya adalah Waduk Baureno yang terdapat di kecamatan Jatirejo Mojokerto. Waduk ini sangat besar dan menampung air dari 8 aliran sungai (Macline Pont, 1936). Berbeda dengan Macline Pont, menurut pengamatan yang telah dilakukan, waduk kuno yang berada di kawasan ini berjumlah 24 waduk. Sebagian dari waduk-waduk ini telah mengalami pendangkalan yang serius, bahkan beberapa diantaranya sudah tidak terlihat lagi. Kemudian, berdasarkan arah alirannya dari Waduk Baureno, waduk-waduk yang berada di kawasan ini dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok waduk yang berada di Barat Laut Waduk Baureno dan kelompok waduk yang berada di Timur
Waduk Baureno
1. Kelompok Waduk Barat Laut
Kelompok waduk ini dimulai dengan Waduk Baureno yang mengalir ke arah Barat laut dan mengikuti alur Sungai Boro dan Sungai Pikatan dan berakhir menjadi Sungai Brangkal. Pada sisi Barat Sungai Brangkal ini terdapat beberapa waduk kuno seperti Waduk Dinaya, Waduk Kumitir, Waduk Domas, dan Waduk Kepiting (Waduk Temon) Masing-masing waduk ini dihubungkan dengan terusan (semacam sungai kecil yang sangat dalam ) dan terusan-terusan ini berhubungan dengan Sungai Brangkal.
Waduk Temon berada di sebelah Tenggara Trowulan. Bentuk waduk ini tidak beraturan. Pada bagian ujung sisi Tenggara terdapat Sungai Kepiting, yang aliran ainya ke Barat dan bersatu dengan Saungai Majaranu yang mengalir dari arah Selatan. Gabungan kedua sungai ini menjadi Sungai Gunting. Sementara itu, ujung sisi Utara Waduk Temon ini terdapat terusan yang masuk ke dalam aliran Sungai Temon dan bermuara di Waduk Kraton. Berdasarkan pengamatan penulis, Waduk Temon ini (diduga) pada awalnya merupakan terminal air masuk Ibukota Majapahit. Hal ini tersirat dalam isi Prasasti Canggu (Prasasti Trowulan I) dari masa Raja Hayam Wuruk. Isi prasasti ini menyebut tempat penyeberangan yang pertama kali adalah Temon (Soekarto K. Atmodjo, 1993). Dengan demikian, Temon dapat diinterpretasikan sebagai nama sebuah tempat atau desa. Selain itu, dengan pengamatan Hasil Analisa Foto Udara Trowulan, terlihat bahwa pada sisi Barat waduk Temon yang panjang ini, bermuara 2 kanal kuno yang berasal dari Barat. Berdasarkan sumber primer yang sesuai dengan kenyataan di lapangan, dapat diduga bahwa Waduk Temon merupakan terminal waduk dari waduk-waduk yang ada dalam ibukota Majapahit. Selain itu, Waduk Temon merupakan salah satu pintu masuk kota dengan melalui kanal.
Waduk selanjutnya adalah Waduk Kraton. Waduk ini berada di dekat Waduk Temon. Antara Waduk Temon dan Waduk Kraton dihubungkan dengan terusan Sungai Kraton. Berdasarkan pengamatan awal penulis, Waduk Kraton ini juga mengalir ke Balong Bunder. Konon Balong Bunder ini merupakan sumber air Kolam segaran dan Balong Dowo. Pada ujung Barat Laut Waduk Kraton terdapat terusan (mungkin dulu Sungai Kraton) yang berhubuingan dengan beberapa kanal. Kanal paling Barat waduk ini berorientasi Barat-Timur dan bermuara ke Waduk Kedung Wulan.
Waduk lainnya yang masih termasuk kelompok ini adalah Balong Wono, Kedung Wulan dan Kedung Maling. Balong Wono ini terletak di sebelah utara Ibukota Majapahit. Antara Balong Wono dan Kedung Wulan terdapat terusan sungai yang saat ini disebut dengan Sungai Balong Wono. Sementara itu, pada bagian Timur Laut Balong Wono, terdapat waduk kuno yang oleh penduduk disebut dengan Kedung Maling. Waduk ini bermuara di Sungai Brangkal. Waduk Kedung Maling pada saat ini juga telah hilang dan menjadi nama desa. Waduk-waduk yang berada dalam kelompok ini diduga berhubungan dengan keberadaan Ibukota Majapahit di Trowulan.
2. Kelompok Waduk Timur
elompok waduk ini dimulai dari Waduk Baureno, yang mengalir ke arah Timur menuju Waduk Kumitir serta Waduk Domas melalui terusan sungai (Macline Pont, 1936). Waduk-waduk ini berfungsi sebagai penyeimbang dan waduk penampung apabila waduk-waduk di kelompok Barat Laut sudah tidak mampu menampung derasnya air yang datang. Waduk-waduk lain yang termasuk kelompok ini adalah Waduk Selomalang, Waduk Ketanen, Waduk Karangemplak, Waduk Kemiri, Waduk Candirejo, Waduk Pandan, Waduk Randengan, Waduk Mojoroto, waduk Awang-Awang, Waduk Segaren, Waduk Sumberejo Kulon, Waduk Randu Embung, Waduk Sumber Tugu, Waduk Tambak Suruh.
Waduk Domas mengalir dengan sebuah terusan menuju Waduk Selomalang. Pada bagian Timur Waduk Selomalang ini terdapat Waduk Ketanen. Antara Waduk Selomalang dengan Waduk Ketanen dihubungkan dengan sebuah terusan. Akan tetapi, aliran Waduk Ketanen ini berakhir di Waduk Karangemplak. Waduk ini kemudian dihubungkan dengan terusan dengan Waduk Kemiri, Waduk Candirejo, Waduk Pandan, Waduk Randengan, Waduk Mojoroto, Waduk Awang-Awang, Waduk Segaren, Waduk Sumberejo Kulon, Waduk Randu Embung, Waduk Sumber Tugu, Waduk Tambak Suruh (Macline Pont, 1926; Bondan Harmanislamet, 1999: 193).
Berdasarkan pengamatan ini, waduk-waduk yang termasuk dalam kelompok Timur ini berperan sebagai waduk penyeimbang debit air. Hal ini disebabkan karena adanya dugaan bahwa air yang datang dan masuk ke Waduk Baureno sangat tinggi dan deras pada waktu itu. Menurut gambar hasil analisi foto udara, dapat diketahui peran Waduk Temon dan Kanal terpanjang sangat erat. Dengan demikian, waduk-waduk kuno ini dapat diungkapkan keberadaannya dan berhubungan satu sama lain melalui terusan-terusan.
B. Kanal
Pada bentang lahan yang dianggap sebagai bekas Ibukota Majapahit, terdapat bentukan cekungan yang lurus, panjang, dan dalam. Bentukan ini membentuk saling silang yang secar jelas merupakan buatan manusia. Bentukan seperti ini oleh ahli Purbakala disebut dengan kanal. Ukuran fisik kanal menurut pengamatan penulis adalah sebagai berikut: Lebar badan kanal paling pendek 40 m dan paling Panjang 80 m, dan kedalaman antara 6-9 m (menurut Tim Hidrologi UGM). Kanal berfungsi sebagai berikut:
1. transportasi lokal Ibukota Majapahit
2. irigasi
3. pertahanan (Mundardjito, et. Al., 1986).
BAGIAN II
POLA KOTA MAJAPAHIT
A. Lima Hal Penting
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh ahli-ahli berbagai bidang, terutama penelitian tentang keberadaan kanal dan sistem jaringannya di Ibukota Majapahit, ada lima hal penting yang harus diperhatikan. Hal pertama: kanal-kanal yang berpotongan saling tegak lurus, memberikan petunjuk dan gambaran bahwa kota Majapahit dikembangkan dan berkembang atas dasar pola papan catur (grid pattern), yang terbentuk oleh kanal-kanal yang relatif lurus dan berpotongan tegak lurus serta membujur Utara-Selatan dan Barat-Timur. Hal kedua: hubungan antara bujur kanal-kanal terhadap sumbu Utara-Selatan magnet bumi, bila diamati dengan seksama maka dapat diketahui arah kanal-kanal itu tidak tepat sejajar dengan Utara magnit bumi. Kanal-kanal tersebut bergeser minus 10 derajad ke arah kanan perputaran jarum jam dalam kuadran Cartesian. Hal ini berarti ada kemungkinan penataan kanal-kanal lebih diorientasikan pada kondisi fisik geologis dan geografis setempat daripada makna simbolis magnit bumi. Selain itu ada indikasi bahwa kanal-kanal itu lebih digunakan untuk mengatasi kondisi fisik alam setempat.
Hal ketiga yaitu kerapatan grid kanal-kanal. Pada peta terlihat bahwa di bagian Barat, mulai dari Kanal Utara-Selatan yang pertama terdapat pola Grid kanal yang relatif rapat dan berkembang ke arah Barat dibandingkan pada bagian Timur. Tanda-tanda ini menunjukkan bahwa kemungkinan besar pada daerah yang grid kanalnya relatif rapat merupakan kawasan yang padat, seperti pemukiman, pusat kota dan istana Raja Majapahit. Petunjuk keempat yaitu: kanal-kanal yang panjang. Pada peta tersebut juga ditemukan tanda yang menarik yang berupa kanal terpanjang Timur-Barat yang lurus dan “menusuk bagian tengah” pusat sistem kanal, yang kemudian dipotong Kanal terpanjang Utara-Selatan (di Timur Pendopo Agung). Tanda persilangan kanan terpanjang ini menarik untuk diamati dan dapat digunakan untuk menjelaskan adanya hubungan aktivitas sosio-budaya yang erat anatar kawasan Barat, kawasan Timur, kawasan Selatan, dan kawasan Utara dengan kawasan pusat kota Majapahit.
Hal kelima, yaitu hubungan jaringan jalan darat dengan kanal. Jaringan jalan darat yang dikembangkan pada masa Majapahit kemungkinan besar disesuaikan dengan pola grid kanal-kanal. Hal ini berarti ada jalan darat yang terletak di sisi atau tepi kanal yang sengaja dibangun sejajar dengan kanal-kanal.
Sementara itu penulis yang melakukan penelitian tentang jaringan jalan darat di kawasan situs ini menggunakan dua cara, yaitu dengan melakukan over lay gambar, dan melakukan wawancara dengan penduduk asli kawasan situs Trowulan. Cara pertama dilakukan penulis dengan melakukan over lay gambar rekonstruksi Macline Pont tentang kota Majapahit dengan gambar hasil analisa foto udara Trowulan tentang jaringan kanal dan sebagian waduk kuna yang ada di Trowulan. Hasil gambar ada di lembar berikut. Cara kedua, penulis melakukan wawancara untuk mendapatkan cerita atau data jaringan jalan darat dari penduduk asli Trowulan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa jalan darat kerajaan ditandai dengan tugu-tugu batu (“cancangan gajah”). Setelah ditelusuri, penulis mendapatkan petunjuk bahwa antar jaringan jalan air sejajar dan berhimpit dengan jaringan jalan darat, bahkan ada jaringan jalan darat yang dilanjutkan dengan jalan air atau kanal.
Selain itu dalam Kitab Negarakertagama Pupuh VIII. (1-2) menyebutkan adanya parit di ibukota Majapahit yang terletak di pintu Barat. Parit ini disebut juga dengan Pura Waktra, yang menghadap ke lapangan luas dan bersabuk pari [8] (Slamet Mulyana, 1979: 276). Istilah parit ini dapat diartikan dengan kanal. Meskipun uraian tentang parit cukup singkat dalam Kitab Negarakertagama, keberadaannya harus diperhatikan. Hal ini sama dengan uraian tentang tembok bata yang cukup singkat di dalam Kitab Negarakertagama, tetapi kenyataan di lapangan sisa-sisa tembok bata ini sangat luas ditemukan.
Adapun Gambar hasil Over Lay (paduan) dapat dilihat sebagai berikut:
B. Deskripsi Gambar Hasil Over Lay
Berdasarkan paduan gambar (Over Lay) yang telah dilakukan. Dapat diketahui beberapa hal, yaitu:
1. kedudukan pola papan catur Kanal (Bakosurtanal, 1981), berada di sebelah Selatan kedudukan pola papan catur jalan hasil rekonstruksi mikro Macline Pont (1924)
2. ada beberapa jaringan kanal yang sejajar dan berhimpit dengan jaringan jalan yang telah digambar oleh Macline Pont, bahkan ada kanal yang dilanjutkan dengan jalan atau sebaliknya.
3. kolam segaran dikelilingi oleh kanal maupun jalan darat berbentuk empat persegi panjang, sedangkan pada situs Candi Kedaton (Sumur Upas) dan situs Pendopo Agung dikelilingi Kanal sehingga membentuk bidang bujursangkar.
4. terdapat Waduk Kraton di sebelah Utara Situs Gapura Bajang Ratu.
Lebih lanjut dalam Kitab Negarakertagama, juga disebutkan dua buah nama sebagai jalan masuk kota Majapahit. Jalan masuk pertama bernama banasara. Pada masa sekarang nama itu tidak dapat ditemukan lagi. Akan tetapi, di wilayah Kecamatan Majaagung terdapat nama tempat yang dikenal dengan Sabantara. Letaknya di tepi Sungai Gunting. Nampaknya nama Sabantara (Jawa Baru) dan Banasara (Jawa Kuna) merupakan nama satu tempat yang sama (meskipun secara etimologi kedua nama itu tidak sama), yaitu pintu masuk kota Majapahit dari sisi Barat Laut atau jalur sungai Gunting karena terletak di tepi Sungai Gunting.
BAGIAN III
Kerajaan-kerajaan kuna di Asia Tenggara menurut Von Heine Geldern menggunakan konsep kosmologi dalam menjalankan pemerintahannya terutama dalam sistem kewilayahan (tata kota) dan tata pemerintahan. Konsep kosmologis merupakan kepercayaan mengenai adanya hubungan yang erat antara dunia manusia (mikrokosmos) dengan alam semesta (makrokosmos). Asumsi dasar konsep kosmologis adalah adanya pemikiran yang menyatakan bahwa manusia selalu berada di bawah pengaruh kekuasaan alami bintang-bintang dan planet-planet yang dapat menyebabkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian, maupun bencana, sehingga suatu kerajaan harus disusun sesuai dengan gambaran makrokosmos dalam bentuk kecil. Konsep kosmologis dalam agama Hindu menyatakan bahwa alam ini terdiri dari benua pusat yang berbentuk lingkaran yang dikelilingi oleh tujuh lautan dan tujuh daratan dengan dibatasi oleh pegunungan tinggi. Pada bagian benua pusat yang disebut jambudwipa berdiri Gunung Meru sebagai representasi pusat alam semesta. Matahari, bulan dan bintang-bintang bergerak mengelilingi Meru. Puncak gunung terdapat kota para dewa yang dikelilingi oleh tempat tinggal kedelapan dewa penjaga mata angin atau lokapala. Konsep kosmologis agama Budha memiliki kesamaan dengan Hindu. Menurut kosmologi Budha, Gunung Meru dianggap pusat alam semesta yang dilingkari oleh tujuh lautan dan tujuh pegunungan. Puncak Meru merupakan kota tempat tinggal 33 dewa, dengan Dewa Indra sebagai raja para dewa. Lereng Gunung Meru terdapat surga terendah, tempat tinggal empat penjaga arah mata angin. Benua yang dihuni oleh manusia di sebelah Selatan disebut Jambudwipa. Keseluruhan itu dilingkari oleh cakrawala, yaitu deretan pegunungan yang tinggi (Deliar Noor, 1962:2).
Dengan demikian kota kuna menurut konsep kosmologis Hindu dan Budha memiliki tiga unsur, yaitu daratan, gunung, dan laut. Namun, ketiga unsur tersebut belum tentu ada pada daerah yang digunakan sebagai tempat berdirinya kota. Agar ketiga unsur tersebut terpenuhi dalam membangun suatu kota, maka ketiga unsur itu diwujudkan dengan replikanya, yaitu replika benua diwujudkan dalam bentuk ibukota, replika laut diwujudkan dengan waduk atau balong atau kedung, dan replika gunung diwujudkan dengan candi.
BAGIAN IV
KESIMPULAN & PENUTUP
Setelah melakukan pengamatan, studi pustaka, dan melakukan over lay (memadu gambar) dapat diketahui beberapa hal penting, yaitu:
1. Waduk-waduk Kuna ternyata saling berhubungan satu sama lain, dan dihubungkan dengan terusan atau sungai kecil.
2. Waduk Baureno yang berada di lereng gunung dan menampung delapan aliran sungai, mempunyai fungsi sebagai penampung dan pengendali air, selain irigasi
3. Waduk Temon merupakan waduk penyeberangan dan terminal masuk ibukota Majapahit
4. Terdapat jaringan jalan darat yang sejajar dengan jaringan air yang berupa kanal-kanal. Jaringan jalan darat ini juga dapat digunakan sebagai petunjuk adanya sisa kota kuna atau bekas Ibukota Majapahit di Trowulan.
Dengan demikian, keberadaan waduk-waduk maupun kanal-kanal kuna merupakan representasi atau simbol dari tujuh benua dan lautan dalam konsep agama Hindu dan Budha terlihat diterapkan di ibukota Majapahit. Konsep tujuh benua dan tujuh lautan itu diwujudkan dalam bentuk kanal dan waduk pada situs Trowulan. Selain itu tiga unsur yang terdiri dari benua, gunung, dan laut pada situs Trowulan ini diwujudkan replikanya, yaitu replika benua diwujudkan dalam bentuk ibukota, replika laut diwujudkan dengan waduk atau balong atau kedung, dan replika gunung diwujudkan dengan candi.
Pada akhirnya, pemikiran yang ada pada tulisan ini haruslah dibuktikan lebih lanjut karena baru bersifat mencoba merangkai data yang ada. Masih diperlukan penelitian-penelitian yang lain untuk memperoleh jawaban mengenai keberadaan kanal-kanal dan waduk-waduk di kawasan Trowulan. Namun demikian, dengan diketahuinya data mengenai keberadaan kanal dan waduk yang ada dapat berguna bagi setiap orang yang membutuhkannya. Salah satunya adalah dapat digunakan sebagai salah satu bahan pemikiran penanggulangan banjir di Mojokerto dan sarana pengairan di kecamatan Trowulan-Mojokerto.
Tulisan ini didedikasikan untuk (Alm.) Drs. Budi Santosa dan mengenang satu tahun kepergiannya, Rekan senior yang penuh cinta, semangat, dan dedikasi tinggi untuk kemajuan arkeologi Indonesia dengan caranya yang unik. Semoga cinta, semangat, dan dedikasimu menginspirasi setiap insan yang peduli peninggalan purbakala.
Selamat jalan rekanku...
Istirahatlah dengan tenang...
Beauty is in the eye of the beholder
DAFTAR PUSTAKA
Bokusurtanal, 1981, _____________________
Bondan H., 1999, “Tata Ruang Kota Majapahit”, Desertasi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Macline Pont, 1924, Majapahit, Poging Tots Reconstructie Van Het Stadplan, Nagezocht Op Het Terrain an De Band Van Den Middeleeuwschen Dichter: Prapanca, Oudheidkundig Verslag: Bijlage
___________, 1926, De Historische Rol Van Majapahit, Een Hypothese, Djawa, P294-317
___________, 1936, “Woeste Gronden Van De Lieden Van Trik, Voor Zoover Zij Wellicht
Van Belang zullen Kunnen Zijn Voor Eene Herziening Van Den Togenwoordigen Toestand, Oudheidkundig Verslag: Bijlage
Karina Arifin, 1993, “Waduk dan kanal Kuno di Pusat Ibukota Majapahit di Trowulan”, Skripsi sarjana Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Indonesia, Jakarta
Soekarto K. Atmodjo, 1993, “Hari Jadi Kabupaten Ngawi”, Balai Arkeologi Jogjakarta bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Tingkat II Ngawi
Tim Siswa (S2) Arsitektur, 1996,”......................................”, Program Studi Arsitektur Pasca sarjana Universitas Gadjah Mada
Sumber tulisan:
http://www.wacananusantara.org/99/520/keberadaan-waduk-dan-kanal-kuna-di-pusat-dan-sekitar-ibukota-majapahit-%28trowulan%29
disusun kembali Ni Ketut Wardani P.D.
BAGIAN I
Kawasan situs Trowulan yang merupakan bekas ibukota Majapahit, memiliki tinggalan-tinggalan budaya fisik manusia dari masa kerajaan Majapahit. Salah satu peninggalan budaya fisik manusia dari masa itu berupa cekungan-cekungan pada permukaan tanah. Cekungan-cekungan ini terdiri dari cekungan-cekungan alami dan cekungan-cekungan buatan manusia. Namun demikian, terdapat perbedaan pendapat tentang cekungan-cekungan yang ada di kawasan ini. Cekungan-cekungan di kawasan situs ini diduga digunakan sebagai sumur, waduk, dan kanal oleh orang-orang yang hidup di masa kerajaan tersebut. Hal ini menurut kami menarik untuk diamati, karena keberadannya pasti memiliki alasan tertentu.
Data mengenai keberadaan waduk maupun kanal, terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian pertama berupa studi literatur dan bagian kedua hasil pengamatan. Bagian pertama, terdiri dari beberapa tulisan yang menyebut adanya waduk maupun kanal, seperti laporan Penelitian Macline Pont tahun 1926 dan 1936 penelitian oleh Bondan H. 1999, penelitian Karina Suwandi tahun 1983, dan Hasil Analisa Foto Udara oleh Bakosurtanal tahun 1981/1982. Bagian kedua terdiri dari bekas waduk dan kanal dari adanya cekungan-cekungan yang alami maupun buatan yang masih dapat kita temukan di kawasan situs Trowulan. Cekungan-cekungan ini biasanya sudah dangkal, menjadi nama dusun atau desa, atau hanya tinggal toponim saja. Contoh dari waduk yang menjadi nama dusun atau desa adalah waduk Kedung Wulan yang kemudian menjadi nama Dusun Kedung Wulan, dan waduk Kedung Maling yang kemudian menjadi nama Desa Kedung Maling di kecamatan Sooko Mojokerto.
A. Waduk
Waduk yang dalam istilah lokal dikenal dengan sebutan Balong atau Kedung, merupakan sebuah cekungana alami yang tak terbentuk. Cekungan ini ada kemungkinan diperluas oleh tangan manusia. Biasanya cekungan ini pada bagian ujung maupun pangkalnya menyempit dan dalam yang diduga digunakan sebagai terusan antara waduk satu dengan waduk lainnya. Menurut Macline Pont, di kawasan situs Trowulan terdapat 18 waduk Kuno. Salah satunya adalah Waduk Baureno yang terdapat di kecamatan Jatirejo Mojokerto. Waduk ini sangat besar dan menampung air dari 8 aliran sungai (Macline Pont, 1936). Berbeda dengan Macline Pont, menurut pengamatan yang telah dilakukan, waduk kuno yang berada di kawasan ini berjumlah 24 waduk. Sebagian dari waduk-waduk ini telah mengalami pendangkalan yang serius, bahkan beberapa diantaranya sudah tidak terlihat lagi. Kemudian, berdasarkan arah alirannya dari Waduk Baureno, waduk-waduk yang berada di kawasan ini dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok waduk yang berada di Barat Laut Waduk Baureno dan kelompok waduk yang berada di Timur
Waduk Baureno
1. Kelompok Waduk Barat Laut
Kelompok waduk ini dimulai dengan Waduk Baureno yang mengalir ke arah Barat laut dan mengikuti alur Sungai Boro dan Sungai Pikatan dan berakhir menjadi Sungai Brangkal. Pada sisi Barat Sungai Brangkal ini terdapat beberapa waduk kuno seperti Waduk Dinaya, Waduk Kumitir, Waduk Domas, dan Waduk Kepiting (Waduk Temon) Masing-masing waduk ini dihubungkan dengan terusan (semacam sungai kecil yang sangat dalam ) dan terusan-terusan ini berhubungan dengan Sungai Brangkal.
Waduk Temon berada di sebelah Tenggara Trowulan. Bentuk waduk ini tidak beraturan. Pada bagian ujung sisi Tenggara terdapat Sungai Kepiting, yang aliran ainya ke Barat dan bersatu dengan Saungai Majaranu yang mengalir dari arah Selatan. Gabungan kedua sungai ini menjadi Sungai Gunting. Sementara itu, ujung sisi Utara Waduk Temon ini terdapat terusan yang masuk ke dalam aliran Sungai Temon dan bermuara di Waduk Kraton. Berdasarkan pengamatan penulis, Waduk Temon ini (diduga) pada awalnya merupakan terminal air masuk Ibukota Majapahit. Hal ini tersirat dalam isi Prasasti Canggu (Prasasti Trowulan I) dari masa Raja Hayam Wuruk. Isi prasasti ini menyebut tempat penyeberangan yang pertama kali adalah Temon (Soekarto K. Atmodjo, 1993). Dengan demikian, Temon dapat diinterpretasikan sebagai nama sebuah tempat atau desa. Selain itu, dengan pengamatan Hasil Analisa Foto Udara Trowulan, terlihat bahwa pada sisi Barat waduk Temon yang panjang ini, bermuara 2 kanal kuno yang berasal dari Barat. Berdasarkan sumber primer yang sesuai dengan kenyataan di lapangan, dapat diduga bahwa Waduk Temon merupakan terminal waduk dari waduk-waduk yang ada dalam ibukota Majapahit. Selain itu, Waduk Temon merupakan salah satu pintu masuk kota dengan melalui kanal.
Waduk selanjutnya adalah Waduk Kraton. Waduk ini berada di dekat Waduk Temon. Antara Waduk Temon dan Waduk Kraton dihubungkan dengan terusan Sungai Kraton. Berdasarkan pengamatan awal penulis, Waduk Kraton ini juga mengalir ke Balong Bunder. Konon Balong Bunder ini merupakan sumber air Kolam segaran dan Balong Dowo. Pada ujung Barat Laut Waduk Kraton terdapat terusan (mungkin dulu Sungai Kraton) yang berhubuingan dengan beberapa kanal. Kanal paling Barat waduk ini berorientasi Barat-Timur dan bermuara ke Waduk Kedung Wulan.
Waduk lainnya yang masih termasuk kelompok ini adalah Balong Wono, Kedung Wulan dan Kedung Maling. Balong Wono ini terletak di sebelah utara Ibukota Majapahit. Antara Balong Wono dan Kedung Wulan terdapat terusan sungai yang saat ini disebut dengan Sungai Balong Wono. Sementara itu, pada bagian Timur Laut Balong Wono, terdapat waduk kuno yang oleh penduduk disebut dengan Kedung Maling. Waduk ini bermuara di Sungai Brangkal. Waduk Kedung Maling pada saat ini juga telah hilang dan menjadi nama desa. Waduk-waduk yang berada dalam kelompok ini diduga berhubungan dengan keberadaan Ibukota Majapahit di Trowulan.
2. Kelompok Waduk Timur
elompok waduk ini dimulai dari Waduk Baureno, yang mengalir ke arah Timur menuju Waduk Kumitir serta Waduk Domas melalui terusan sungai (Macline Pont, 1936). Waduk-waduk ini berfungsi sebagai penyeimbang dan waduk penampung apabila waduk-waduk di kelompok Barat Laut sudah tidak mampu menampung derasnya air yang datang. Waduk-waduk lain yang termasuk kelompok ini adalah Waduk Selomalang, Waduk Ketanen, Waduk Karangemplak, Waduk Kemiri, Waduk Candirejo, Waduk Pandan, Waduk Randengan, Waduk Mojoroto, waduk Awang-Awang, Waduk Segaren, Waduk Sumberejo Kulon, Waduk Randu Embung, Waduk Sumber Tugu, Waduk Tambak Suruh.
Waduk Domas mengalir dengan sebuah terusan menuju Waduk Selomalang. Pada bagian Timur Waduk Selomalang ini terdapat Waduk Ketanen. Antara Waduk Selomalang dengan Waduk Ketanen dihubungkan dengan sebuah terusan. Akan tetapi, aliran Waduk Ketanen ini berakhir di Waduk Karangemplak. Waduk ini kemudian dihubungkan dengan terusan dengan Waduk Kemiri, Waduk Candirejo, Waduk Pandan, Waduk Randengan, Waduk Mojoroto, Waduk Awang-Awang, Waduk Segaren, Waduk Sumberejo Kulon, Waduk Randu Embung, Waduk Sumber Tugu, Waduk Tambak Suruh (Macline Pont, 1926; Bondan Harmanislamet, 1999: 193).
Berdasarkan pengamatan ini, waduk-waduk yang termasuk dalam kelompok Timur ini berperan sebagai waduk penyeimbang debit air. Hal ini disebabkan karena adanya dugaan bahwa air yang datang dan masuk ke Waduk Baureno sangat tinggi dan deras pada waktu itu. Menurut gambar hasil analisi foto udara, dapat diketahui peran Waduk Temon dan Kanal terpanjang sangat erat. Dengan demikian, waduk-waduk kuno ini dapat diungkapkan keberadaannya dan berhubungan satu sama lain melalui terusan-terusan.
B. Kanal
Pada bentang lahan yang dianggap sebagai bekas Ibukota Majapahit, terdapat bentukan cekungan yang lurus, panjang, dan dalam. Bentukan ini membentuk saling silang yang secar jelas merupakan buatan manusia. Bentukan seperti ini oleh ahli Purbakala disebut dengan kanal. Ukuran fisik kanal menurut pengamatan penulis adalah sebagai berikut: Lebar badan kanal paling pendek 40 m dan paling Panjang 80 m, dan kedalaman antara 6-9 m (menurut Tim Hidrologi UGM). Kanal berfungsi sebagai berikut:
1. transportasi lokal Ibukota Majapahit
2. irigasi
3. pertahanan (Mundardjito, et. Al., 1986).
BAGIAN II
POLA KOTA MAJAPAHIT
A. Lima Hal Penting
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh ahli-ahli berbagai bidang, terutama penelitian tentang keberadaan kanal dan sistem jaringannya di Ibukota Majapahit, ada lima hal penting yang harus diperhatikan. Hal pertama: kanal-kanal yang berpotongan saling tegak lurus, memberikan petunjuk dan gambaran bahwa kota Majapahit dikembangkan dan berkembang atas dasar pola papan catur (grid pattern), yang terbentuk oleh kanal-kanal yang relatif lurus dan berpotongan tegak lurus serta membujur Utara-Selatan dan Barat-Timur. Hal kedua: hubungan antara bujur kanal-kanal terhadap sumbu Utara-Selatan magnet bumi, bila diamati dengan seksama maka dapat diketahui arah kanal-kanal itu tidak tepat sejajar dengan Utara magnit bumi. Kanal-kanal tersebut bergeser minus 10 derajad ke arah kanan perputaran jarum jam dalam kuadran Cartesian. Hal ini berarti ada kemungkinan penataan kanal-kanal lebih diorientasikan pada kondisi fisik geologis dan geografis setempat daripada makna simbolis magnit bumi. Selain itu ada indikasi bahwa kanal-kanal itu lebih digunakan untuk mengatasi kondisi fisik alam setempat.
Hal ketiga yaitu kerapatan grid kanal-kanal. Pada peta terlihat bahwa di bagian Barat, mulai dari Kanal Utara-Selatan yang pertama terdapat pola Grid kanal yang relatif rapat dan berkembang ke arah Barat dibandingkan pada bagian Timur. Tanda-tanda ini menunjukkan bahwa kemungkinan besar pada daerah yang grid kanalnya relatif rapat merupakan kawasan yang padat, seperti pemukiman, pusat kota dan istana Raja Majapahit. Petunjuk keempat yaitu: kanal-kanal yang panjang. Pada peta tersebut juga ditemukan tanda yang menarik yang berupa kanal terpanjang Timur-Barat yang lurus dan “menusuk bagian tengah” pusat sistem kanal, yang kemudian dipotong Kanal terpanjang Utara-Selatan (di Timur Pendopo Agung). Tanda persilangan kanan terpanjang ini menarik untuk diamati dan dapat digunakan untuk menjelaskan adanya hubungan aktivitas sosio-budaya yang erat anatar kawasan Barat, kawasan Timur, kawasan Selatan, dan kawasan Utara dengan kawasan pusat kota Majapahit.
Hal kelima, yaitu hubungan jaringan jalan darat dengan kanal. Jaringan jalan darat yang dikembangkan pada masa Majapahit kemungkinan besar disesuaikan dengan pola grid kanal-kanal. Hal ini berarti ada jalan darat yang terletak di sisi atau tepi kanal yang sengaja dibangun sejajar dengan kanal-kanal.
Sementara itu penulis yang melakukan penelitian tentang jaringan jalan darat di kawasan situs ini menggunakan dua cara, yaitu dengan melakukan over lay gambar, dan melakukan wawancara dengan penduduk asli kawasan situs Trowulan. Cara pertama dilakukan penulis dengan melakukan over lay gambar rekonstruksi Macline Pont tentang kota Majapahit dengan gambar hasil analisa foto udara Trowulan tentang jaringan kanal dan sebagian waduk kuna yang ada di Trowulan. Hasil gambar ada di lembar berikut. Cara kedua, penulis melakukan wawancara untuk mendapatkan cerita atau data jaringan jalan darat dari penduduk asli Trowulan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa jalan darat kerajaan ditandai dengan tugu-tugu batu (“cancangan gajah”). Setelah ditelusuri, penulis mendapatkan petunjuk bahwa antar jaringan jalan air sejajar dan berhimpit dengan jaringan jalan darat, bahkan ada jaringan jalan darat yang dilanjutkan dengan jalan air atau kanal.
Selain itu dalam Kitab Negarakertagama Pupuh VIII. (1-2) menyebutkan adanya parit di ibukota Majapahit yang terletak di pintu Barat. Parit ini disebut juga dengan Pura Waktra, yang menghadap ke lapangan luas dan bersabuk pari [8] (Slamet Mulyana, 1979: 276). Istilah parit ini dapat diartikan dengan kanal. Meskipun uraian tentang parit cukup singkat dalam Kitab Negarakertagama, keberadaannya harus diperhatikan. Hal ini sama dengan uraian tentang tembok bata yang cukup singkat di dalam Kitab Negarakertagama, tetapi kenyataan di lapangan sisa-sisa tembok bata ini sangat luas ditemukan.
Adapun Gambar hasil Over Lay (paduan) dapat dilihat sebagai berikut:
B. Deskripsi Gambar Hasil Over Lay
Berdasarkan paduan gambar (Over Lay) yang telah dilakukan. Dapat diketahui beberapa hal, yaitu:
1. kedudukan pola papan catur Kanal (Bakosurtanal, 1981), berada di sebelah Selatan kedudukan pola papan catur jalan hasil rekonstruksi mikro Macline Pont (1924)
2. ada beberapa jaringan kanal yang sejajar dan berhimpit dengan jaringan jalan yang telah digambar oleh Macline Pont, bahkan ada kanal yang dilanjutkan dengan jalan atau sebaliknya.
3. kolam segaran dikelilingi oleh kanal maupun jalan darat berbentuk empat persegi panjang, sedangkan pada situs Candi Kedaton (Sumur Upas) dan situs Pendopo Agung dikelilingi Kanal sehingga membentuk bidang bujursangkar.
4. terdapat Waduk Kraton di sebelah Utara Situs Gapura Bajang Ratu.
Lebih lanjut dalam Kitab Negarakertagama, juga disebutkan dua buah nama sebagai jalan masuk kota Majapahit. Jalan masuk pertama bernama banasara. Pada masa sekarang nama itu tidak dapat ditemukan lagi. Akan tetapi, di wilayah Kecamatan Majaagung terdapat nama tempat yang dikenal dengan Sabantara. Letaknya di tepi Sungai Gunting. Nampaknya nama Sabantara (Jawa Baru) dan Banasara (Jawa Kuna) merupakan nama satu tempat yang sama (meskipun secara etimologi kedua nama itu tidak sama), yaitu pintu masuk kota Majapahit dari sisi Barat Laut atau jalur sungai Gunting karena terletak di tepi Sungai Gunting.
BAGIAN III
Kerajaan-kerajaan kuna di Asia Tenggara menurut Von Heine Geldern menggunakan konsep kosmologi dalam menjalankan pemerintahannya terutama dalam sistem kewilayahan (tata kota) dan tata pemerintahan. Konsep kosmologis merupakan kepercayaan mengenai adanya hubungan yang erat antara dunia manusia (mikrokosmos) dengan alam semesta (makrokosmos). Asumsi dasar konsep kosmologis adalah adanya pemikiran yang menyatakan bahwa manusia selalu berada di bawah pengaruh kekuasaan alami bintang-bintang dan planet-planet yang dapat menyebabkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian, maupun bencana, sehingga suatu kerajaan harus disusun sesuai dengan gambaran makrokosmos dalam bentuk kecil. Konsep kosmologis dalam agama Hindu menyatakan bahwa alam ini terdiri dari benua pusat yang berbentuk lingkaran yang dikelilingi oleh tujuh lautan dan tujuh daratan dengan dibatasi oleh pegunungan tinggi. Pada bagian benua pusat yang disebut jambudwipa berdiri Gunung Meru sebagai representasi pusat alam semesta. Matahari, bulan dan bintang-bintang bergerak mengelilingi Meru. Puncak gunung terdapat kota para dewa yang dikelilingi oleh tempat tinggal kedelapan dewa penjaga mata angin atau lokapala. Konsep kosmologis agama Budha memiliki kesamaan dengan Hindu. Menurut kosmologi Budha, Gunung Meru dianggap pusat alam semesta yang dilingkari oleh tujuh lautan dan tujuh pegunungan. Puncak Meru merupakan kota tempat tinggal 33 dewa, dengan Dewa Indra sebagai raja para dewa. Lereng Gunung Meru terdapat surga terendah, tempat tinggal empat penjaga arah mata angin. Benua yang dihuni oleh manusia di sebelah Selatan disebut Jambudwipa. Keseluruhan itu dilingkari oleh cakrawala, yaitu deretan pegunungan yang tinggi (Deliar Noor, 1962:2).
Dengan demikian kota kuna menurut konsep kosmologis Hindu dan Budha memiliki tiga unsur, yaitu daratan, gunung, dan laut. Namun, ketiga unsur tersebut belum tentu ada pada daerah yang digunakan sebagai tempat berdirinya kota. Agar ketiga unsur tersebut terpenuhi dalam membangun suatu kota, maka ketiga unsur itu diwujudkan dengan replikanya, yaitu replika benua diwujudkan dalam bentuk ibukota, replika laut diwujudkan dengan waduk atau balong atau kedung, dan replika gunung diwujudkan dengan candi.
BAGIAN IV
KESIMPULAN & PENUTUP
Setelah melakukan pengamatan, studi pustaka, dan melakukan over lay (memadu gambar) dapat diketahui beberapa hal penting, yaitu:
1. Waduk-waduk Kuna ternyata saling berhubungan satu sama lain, dan dihubungkan dengan terusan atau sungai kecil.
2. Waduk Baureno yang berada di lereng gunung dan menampung delapan aliran sungai, mempunyai fungsi sebagai penampung dan pengendali air, selain irigasi
3. Waduk Temon merupakan waduk penyeberangan dan terminal masuk ibukota Majapahit
4. Terdapat jaringan jalan darat yang sejajar dengan jaringan air yang berupa kanal-kanal. Jaringan jalan darat ini juga dapat digunakan sebagai petunjuk adanya sisa kota kuna atau bekas Ibukota Majapahit di Trowulan.
Dengan demikian, keberadaan waduk-waduk maupun kanal-kanal kuna merupakan representasi atau simbol dari tujuh benua dan lautan dalam konsep agama Hindu dan Budha terlihat diterapkan di ibukota Majapahit. Konsep tujuh benua dan tujuh lautan itu diwujudkan dalam bentuk kanal dan waduk pada situs Trowulan. Selain itu tiga unsur yang terdiri dari benua, gunung, dan laut pada situs Trowulan ini diwujudkan replikanya, yaitu replika benua diwujudkan dalam bentuk ibukota, replika laut diwujudkan dengan waduk atau balong atau kedung, dan replika gunung diwujudkan dengan candi.
Pada akhirnya, pemikiran yang ada pada tulisan ini haruslah dibuktikan lebih lanjut karena baru bersifat mencoba merangkai data yang ada. Masih diperlukan penelitian-penelitian yang lain untuk memperoleh jawaban mengenai keberadaan kanal-kanal dan waduk-waduk di kawasan Trowulan. Namun demikian, dengan diketahuinya data mengenai keberadaan kanal dan waduk yang ada dapat berguna bagi setiap orang yang membutuhkannya. Salah satunya adalah dapat digunakan sebagai salah satu bahan pemikiran penanggulangan banjir di Mojokerto dan sarana pengairan di kecamatan Trowulan-Mojokerto.
Tulisan ini didedikasikan untuk (Alm.) Drs. Budi Santosa dan mengenang satu tahun kepergiannya, Rekan senior yang penuh cinta, semangat, dan dedikasi tinggi untuk kemajuan arkeologi Indonesia dengan caranya yang unik. Semoga cinta, semangat, dan dedikasimu menginspirasi setiap insan yang peduli peninggalan purbakala.
Selamat jalan rekanku...
Istirahatlah dengan tenang...
Beauty is in the eye of the beholder
DAFTAR PUSTAKA
Bokusurtanal, 1981, _____________________
Bondan H., 1999, “Tata Ruang Kota Majapahit”, Desertasi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Macline Pont, 1924, Majapahit, Poging Tots Reconstructie Van Het Stadplan, Nagezocht Op Het Terrain an De Band Van Den Middeleeuwschen Dichter: Prapanca, Oudheidkundig Verslag: Bijlage
___________, 1926, De Historische Rol Van Majapahit, Een Hypothese, Djawa, P294-317
___________, 1936, “Woeste Gronden Van De Lieden Van Trik, Voor Zoover Zij Wellicht
Van Belang zullen Kunnen Zijn Voor Eene Herziening Van Den Togenwoordigen Toestand, Oudheidkundig Verslag: Bijlage
Karina Arifin, 1993, “Waduk dan kanal Kuno di Pusat Ibukota Majapahit di Trowulan”, Skripsi sarjana Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Indonesia, Jakarta
Soekarto K. Atmodjo, 1993, “Hari Jadi Kabupaten Ngawi”, Balai Arkeologi Jogjakarta bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Tingkat II Ngawi
Tim Siswa (S2) Arsitektur, 1996,”......................................”, Program Studi Arsitektur Pasca sarjana Universitas Gadjah Mada
Sumber tulisan:
http://www.wacananusantara.org/99/520/keberadaan-waduk-dan-kanal-kuna-di-pusat-dan-sekitar-ibukota-majapahit-%28trowulan%29