a. Votive Tablet
Votive tablet yang ditemukan ini seluruhnya dalam kondisis fragmentaris. Berbentuk empat persegi panjang dengan bagian atas yang membulat terbuat dari tanah liat yang dibakar. Sisi-sisi materai memiliki bingkai dan di bagian tengahnya terdapat relief Budha Amitabha. Dilihat dari pemakaian ruang untuk relief materai-materai ini mempunyai dua tipe. Tipe pertama relief yang menggambarkan Budha Amitabha dengan tulisan pada bagian bawahnya sedangkan tipe kedua tanpa tulisan. Dari sejumlah materai yang ditemukan, ukuran rata-rata materai tersebut adalah: panjang 6 cm, lebar 4 cm dan tebal 8 mm.
Relief Budha ini terdiri dari tiga tokoh Budha di bagian atasnya dengan posisi duduk bersila dan sikap tangan Abhayamudra. Tiga tokoh lainnya di bagian bawah, satu dalam posisis duduk dengan kedua kaki terjuntai dan sikap tangan Dhyanimudra serta diapit dua tokoh lainnya yang berdiri dalam sikap Tribhanga. Materai ini berisi cerita Sravasti yakni ketika sang Budha mendapat ilham mengenai masalah keduniaan. Cerita mitologi ini merupakan cerita tertua mengenai sang Budha. Menurut Coedes, materai-materai yang tersebar di Asia Tenggara dapat dibedakan menjadi dua tipe. Tipe pertama relief-relief yang berhubungan dengan cerita kehidupan sang Budha dengan bahasa Pali dan Khmer Kuna. Tipe pertama diduga populer pada Periode Dwarawati di Thailand Selatan pada abad ke-6/7 M. Tipe kedua menceritakan sang Budha dengan tokoh-tokoh lainnya dan lebih muda dibandingkan dengan tipe pertama.
Dari hasil perbandingan votive tablet di Candi Batujaya dengan tipe-tipe votive tablet yang ditemukan di Asia Tenggara, maka kuat dugaan bahwa votive tablet Batujaya berasal dari Periode Dwarawati yakni sekitar abad ke-6/7 M.
b.Fragmen Prasasti
Fragmen prasasti berbahan tanah liat ini ditemukan d kanan atas panjang 65 mm, lebar 50 mm dan tebal 10 mm. Masing-masing sisi bertuliskan aksara Pallawa sebanyak 3 baris. Patahan lempeng prasasti ini tidak tegak lurus, melainkan miring sehingga ukuran sisi depan dan sisi belakang berbeda. Menurut Machi Suhadi, tulisan pada sisi depan baris pertama tampak aksara penuh ditambah tanda i di ujung kiri dan tanda penutup pada ujung kanan. Aksara itu dapat dibaca sebagai: i yate karmma. Tulisan pada baris kedua tampak 3 aksara penuh ditambah tanda wisarga atau istilah Jawa: wignyan serta tanda tutup di ujung kanan. Aksara baris kedua itu dapat dibaca sebagai : karanah. Pada baris ketiga tampak dua aksara dan tanda tutup di ujung kanan. Aksara yang kedua ada pasangan yang hilang karena patah.
Baris ketiga ini dapat dibaca : karma. Pada sisi belakang juga tampak 3 baris aksara. Aksara baris pertama terdiri atau 5 buah, tetapi seluruhnya terpotong setengah bagian atasnya sehingga tidak terbaca, hanya aksara terakhir mungkin berbunyi ma. Pada baris kedua tampak sepenggal aksara di sisi kiri lalu dua aksara penuh dan tanda tutup di sebelah kanan. Baris kedua ini dapat dibaca sebagai thaya//. Pada baris ketiga tampak dua aksara penuh serta satu tanda awagraha dan tanda tutup di ujung kanan. Baris ketiga ini dapat dibaca : bhadrah
C.Manik-manik
Manik-manik Batujaya yang ditemukan pada umumnya terbuat dari batu dan kaca dan berbentuk bulat dan pipa. Di antara temuan manik-manik tersebut dilaporkan ada satu yang terbuat dari emas. Manik - manik emas tersebut berbentuk bulat dengan hiasan bulatan yang lebih kecil lagi mengelilinginya. Diperkirakan fungsi manik-manik tersebut pada masa lalu adalah sebagai benda
hiasan seperti kalung atau gelang dan bekal kubur.
D.Rangka Manusia
Pada penelitian tahun 2005 lalu yang difokuskan pada segaran II atau yang dikenal penduduk dengan unur lempeng ditemukan sembilan kerangka manusia meskipun tidak seluruhnya ditemukan dalam kondisi utuh. Pada sector Iia misalnya fragmen kerangka yang ditemukan hanyalah dua tengkorak manusia sedangkan pada sektor IIa temuan kerangka disertai oleh bekal kubur berupa wadah tembikar yang diantaranya berisi bekal kubur berupa kmanik-manik. Seluruh kerangka ini berasal dari periode prasejarh yang dikenal dengal istilah Buni Pottery Complek (Komplek Tembikar Buni).
Istilah ini mulai dipopulerkan pada sekitar tahun 1960-an oleh Sutayasa yang pada saat itu juga tengah maraknya penggalian-penggalian liar untuk mencari barang berharga (emas) dengan mengabaikan sejumlah besar artefak lainnya. Memang pada awalnya sejumlah besar konsentrasi tembikar ini tipe ini ditemukan di daerah Buni, Bekasi meskipun hal tersebut tidak berarti situs Buni sebagai pusat penyebaran tembikar ini ke daerah pesisir utara Jawa Barat. Saat ini diketahui bahwa sebaran jenis tembikar Buni ini ditemukan mulai dari daerah Anyer terus di sepanjang pantai utara Jawa Barat sampai di daerah Cirebon.
E.Fragmen Tembikar
Temuan tembikar merupakan temuan terbanyak di percandian Batujaya. Dari hasil penelitian tahun 2003 hingga 2005 terdapat sekitar lebih dari 15 000 pecahan baik yang dapat direkonstruksi/analisis maupun tidak, terdiri dari 5773 buah pecahan pada tahun 2003, 6700 buah pada tahun 2004 dan jumlah terbanyak ditemukan pada tahun 2005 yang hampir mencapai lebih dari 10.000 pecahan. Dari sekian pecahan tersebut diketahui bentuk-bentuk wadah dan non wadah. Bentuk wadah terdiri dari : periuk, kuali, kendil, kendi, pasu, layah, wajan, piring, mangkuk, buyung, tempayan, guci, tutup, cepuk dan vas/jambangan. Bentuk-bentuk non wadah dari bahan tembikar terdiri dari tungku, anglo, pedupaan, bandul jala, celupak, kelereng dan gacuk.Jumlah wadah yang paling banyak ditemukan di situs ini adalah bentuk periuk 70%, kendil/periuk kecil 20 %, dan bentuk lain 10 %. Dari jenisnya temuan tembikar terdapat dua jenis yaitu jenis lokal dan non lokal. Jenis lokal dapat dibagi menjadi tembikar buni dan non buni, sedangkan non lokal merupakan tembikar India seperti yang ditemukan di pelabuhan kuno Arikamedu India Selatan awal abad masehi .
Diduga tembikar jenis ini berfungsi sebagai alat upacara atau bekal kubur. Di situs Batujaya, tembikar-tembikar Buni ditemukan pada lapisan tersendiri dan berfungsi sebagai bekal kubur .
F.Tembikar roulleted ware halus Arikamedu
Disebut tembikar Arikamedu, sebuah situs pelabuhan kuno dari abad ke 2M di wilayah pantai bagian tenggara India. Tembikar ini memiliki bahan dengan tekstur halus, padat dan ringan dengan suhu pembakaran tinggi. Ciri yang dominan adalah adanya hiasan roulleted yaitu hiasan lubang-lubang kecil yang melingkar seperti rolet, yang umumnya terdapat di tengah–tengah dasar piring bagian dalam atau pada bagian atas tutup wadah. Bentuk- bentuk yang sering di temukan dari tembikar jenis ini adalah bentuk piring yang datar tak berkaki dengan tepian yang melengkung ke dalam. Pada bagian luar terkadang dihias hiasan garis di sekeliling bawah tepian baik berupa slip merah kekuningan atau hiasan dengan teknik gores.
G.Variasi pola hias tembikar Situs Batujaya
Sejauh ini terdapat kulang lebih 30 buah jenis pola hias yang terdapat pada tembikar di situs Batujaya, yang umumnya menggunakan tenik tera/tekan, gores dan cukil :
H.Fragmen Terakota
Fragmen terakota yang terbuat dari stuko berwarna putih ini berbentuk kepala manusia, kepala binatang seperti kepala kambing, Singa, burung, dan fragmen kaki gajah. Diduga arca terakota ini dahulu merupakan bagian dari hiasan yang ditempelkan pada candi tersebut. Selain arca arca ini dragmen berupa dekorasi bangunan dengan motif goemetris maupun bunga-bungaan juga ditemukan dengan variasi yang cukup banyak.
V. Penutup
Penelitian arkeologi di Komplek Percandian Batujaya dapat dikatakan belum tuntas, di samping puluhan bangunan candi sebagai objek utama dalam komplek pemujaan, juga terdapat bangunan hunian dan sumur sebagai unsure pendukungnya. Dari pertanggalan absolut dengan menggunakan carbon dating (C-14) pada sisa arang di Candi Blandongan dan sejumlah temuan berupa votive tablet yang berelief Buddha Amithaba diketahui bahwa komplek pemujaan telah ada sejak abad ke-3/4 masehi dan bersifat budhistik. Jika komplek candi ini disejajarkan dengan sejumlah temuan bangunan candi masa klasik (Hindu- Buddha) di Indonesia, maka keberadaan komplek Percandian Batujaya adalah komplek candi budhistik yang terbesar (5 km) bahkan mungkin tertua (abad ke- 3/4 M) di Indonesia.
Jika bukti-bukti arkeologi ini dapat diterima maka dapat disimpulkan bahwa munculnya sebuah peradaban di Komplek Batujaya berasal dari terjadinya kontak antara masyarakat prasejarah (buni pottery complex) di pesisir utara Jawa Barat dengan masyarakat Internasional (India) kemudian dalam intensitas yang cukup lama, masyarakat prasejarah tersebut dapat menerima dan mengadopsi kebudayaan Hindu-Budha yang dibawa pendatang. Seiring dengan diterimanya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha maka munculah kerajaan yang bercorak Hindu-Budha seperti kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat sampai abad ke-VII Masehi. Ketika Kerajaan Tarumanagara runtuh dan kedudukannya digantikan oleh Kerajaan Sunda, komplek Batujaya tetap digunakan sebagai tempat pemujaan. Tampaknya kehancuran komplek ini seiring dengan melemahnya pengaruh Hindu-Budha di Jawa Barat yang pada akhirnya membuat Kerajaan Sunda harus jatuh pada tahun 1521 M seperti yang tertulis dalam sejarah kebudayaan Indonesia.
Satu hal yang menarik pula adalah selama ini di Jawa Barat tidak pernah ditemukan candi yang bersifat budhistik. Jika demikian maka keberadaan Komplek Percandian Batujaya adalah satu-satunya candi budhistik yang ditemukan di Jawa Barat selama ini. Oleh karena itu upaya pemugaran pelestarian terhadap candi ini adalah satu hal yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak demi rekonstruksi sejarah kebudayaan Indonesia yang lebih baik lagi.
Sumber tulisan:
Budpar. [online] http://www.budpar.go.id/filedata/859_1256-Situsbatujaya21.pdf. 13 juni 2009
Votive tablet yang ditemukan ini seluruhnya dalam kondisis fragmentaris. Berbentuk empat persegi panjang dengan bagian atas yang membulat terbuat dari tanah liat yang dibakar. Sisi-sisi materai memiliki bingkai dan di bagian tengahnya terdapat relief Budha Amitabha. Dilihat dari pemakaian ruang untuk relief materai-materai ini mempunyai dua tipe. Tipe pertama relief yang menggambarkan Budha Amitabha dengan tulisan pada bagian bawahnya sedangkan tipe kedua tanpa tulisan. Dari sejumlah materai yang ditemukan, ukuran rata-rata materai tersebut adalah: panjang 6 cm, lebar 4 cm dan tebal 8 mm.
Relief Budha ini terdiri dari tiga tokoh Budha di bagian atasnya dengan posisi duduk bersila dan sikap tangan Abhayamudra. Tiga tokoh lainnya di bagian bawah, satu dalam posisis duduk dengan kedua kaki terjuntai dan sikap tangan Dhyanimudra serta diapit dua tokoh lainnya yang berdiri dalam sikap Tribhanga. Materai ini berisi cerita Sravasti yakni ketika sang Budha mendapat ilham mengenai masalah keduniaan. Cerita mitologi ini merupakan cerita tertua mengenai sang Budha. Menurut Coedes, materai-materai yang tersebar di Asia Tenggara dapat dibedakan menjadi dua tipe. Tipe pertama relief-relief yang berhubungan dengan cerita kehidupan sang Budha dengan bahasa Pali dan Khmer Kuna. Tipe pertama diduga populer pada Periode Dwarawati di Thailand Selatan pada abad ke-6/7 M. Tipe kedua menceritakan sang Budha dengan tokoh-tokoh lainnya dan lebih muda dibandingkan dengan tipe pertama.
Dari hasil perbandingan votive tablet di Candi Batujaya dengan tipe-tipe votive tablet yang ditemukan di Asia Tenggara, maka kuat dugaan bahwa votive tablet Batujaya berasal dari Periode Dwarawati yakni sekitar abad ke-6/7 M.
b.Fragmen Prasasti
Fragmen prasasti berbahan tanah liat ini ditemukan d kanan atas panjang 65 mm, lebar 50 mm dan tebal 10 mm. Masing-masing sisi bertuliskan aksara Pallawa sebanyak 3 baris. Patahan lempeng prasasti ini tidak tegak lurus, melainkan miring sehingga ukuran sisi depan dan sisi belakang berbeda. Menurut Machi Suhadi, tulisan pada sisi depan baris pertama tampak aksara penuh ditambah tanda i di ujung kiri dan tanda penutup pada ujung kanan. Aksara itu dapat dibaca sebagai: i yate karmma. Tulisan pada baris kedua tampak 3 aksara penuh ditambah tanda wisarga atau istilah Jawa: wignyan serta tanda tutup di ujung kanan. Aksara baris kedua itu dapat dibaca sebagai : karanah. Pada baris ketiga tampak dua aksara dan tanda tutup di ujung kanan. Aksara yang kedua ada pasangan yang hilang karena patah.
Baris ketiga ini dapat dibaca : karma. Pada sisi belakang juga tampak 3 baris aksara. Aksara baris pertama terdiri atau 5 buah, tetapi seluruhnya terpotong setengah bagian atasnya sehingga tidak terbaca, hanya aksara terakhir mungkin berbunyi ma. Pada baris kedua tampak sepenggal aksara di sisi kiri lalu dua aksara penuh dan tanda tutup di sebelah kanan. Baris kedua ini dapat dibaca sebagai thaya//. Pada baris ketiga tampak dua aksara penuh serta satu tanda awagraha dan tanda tutup di ujung kanan. Baris ketiga ini dapat dibaca : bhadrah
C.Manik-manik
Manik-manik Batujaya yang ditemukan pada umumnya terbuat dari batu dan kaca dan berbentuk bulat dan pipa. Di antara temuan manik-manik tersebut dilaporkan ada satu yang terbuat dari emas. Manik - manik emas tersebut berbentuk bulat dengan hiasan bulatan yang lebih kecil lagi mengelilinginya. Diperkirakan fungsi manik-manik tersebut pada masa lalu adalah sebagai benda
hiasan seperti kalung atau gelang dan bekal kubur.
D.Rangka Manusia
Pada penelitian tahun 2005 lalu yang difokuskan pada segaran II atau yang dikenal penduduk dengan unur lempeng ditemukan sembilan kerangka manusia meskipun tidak seluruhnya ditemukan dalam kondisi utuh. Pada sector Iia misalnya fragmen kerangka yang ditemukan hanyalah dua tengkorak manusia sedangkan pada sektor IIa temuan kerangka disertai oleh bekal kubur berupa wadah tembikar yang diantaranya berisi bekal kubur berupa kmanik-manik. Seluruh kerangka ini berasal dari periode prasejarh yang dikenal dengal istilah Buni Pottery Complek (Komplek Tembikar Buni).
Istilah ini mulai dipopulerkan pada sekitar tahun 1960-an oleh Sutayasa yang pada saat itu juga tengah maraknya penggalian-penggalian liar untuk mencari barang berharga (emas) dengan mengabaikan sejumlah besar artefak lainnya. Memang pada awalnya sejumlah besar konsentrasi tembikar ini tipe ini ditemukan di daerah Buni, Bekasi meskipun hal tersebut tidak berarti situs Buni sebagai pusat penyebaran tembikar ini ke daerah pesisir utara Jawa Barat. Saat ini diketahui bahwa sebaran jenis tembikar Buni ini ditemukan mulai dari daerah Anyer terus di sepanjang pantai utara Jawa Barat sampai di daerah Cirebon.
E.Fragmen Tembikar
Temuan tembikar merupakan temuan terbanyak di percandian Batujaya. Dari hasil penelitian tahun 2003 hingga 2005 terdapat sekitar lebih dari 15 000 pecahan baik yang dapat direkonstruksi/analisis maupun tidak, terdiri dari 5773 buah pecahan pada tahun 2003, 6700 buah pada tahun 2004 dan jumlah terbanyak ditemukan pada tahun 2005 yang hampir mencapai lebih dari 10.000 pecahan. Dari sekian pecahan tersebut diketahui bentuk-bentuk wadah dan non wadah. Bentuk wadah terdiri dari : periuk, kuali, kendil, kendi, pasu, layah, wajan, piring, mangkuk, buyung, tempayan, guci, tutup, cepuk dan vas/jambangan. Bentuk-bentuk non wadah dari bahan tembikar terdiri dari tungku, anglo, pedupaan, bandul jala, celupak, kelereng dan gacuk.Jumlah wadah yang paling banyak ditemukan di situs ini adalah bentuk periuk 70%, kendil/periuk kecil 20 %, dan bentuk lain 10 %. Dari jenisnya temuan tembikar terdapat dua jenis yaitu jenis lokal dan non lokal. Jenis lokal dapat dibagi menjadi tembikar buni dan non buni, sedangkan non lokal merupakan tembikar India seperti yang ditemukan di pelabuhan kuno Arikamedu India Selatan awal abad masehi .
Diduga tembikar jenis ini berfungsi sebagai alat upacara atau bekal kubur. Di situs Batujaya, tembikar-tembikar Buni ditemukan pada lapisan tersendiri dan berfungsi sebagai bekal kubur .
F.Tembikar roulleted ware halus Arikamedu
Disebut tembikar Arikamedu, sebuah situs pelabuhan kuno dari abad ke 2M di wilayah pantai bagian tenggara India. Tembikar ini memiliki bahan dengan tekstur halus, padat dan ringan dengan suhu pembakaran tinggi. Ciri yang dominan adalah adanya hiasan roulleted yaitu hiasan lubang-lubang kecil yang melingkar seperti rolet, yang umumnya terdapat di tengah–tengah dasar piring bagian dalam atau pada bagian atas tutup wadah. Bentuk- bentuk yang sering di temukan dari tembikar jenis ini adalah bentuk piring yang datar tak berkaki dengan tepian yang melengkung ke dalam. Pada bagian luar terkadang dihias hiasan garis di sekeliling bawah tepian baik berupa slip merah kekuningan atau hiasan dengan teknik gores.
G.Variasi pola hias tembikar Situs Batujaya
Sejauh ini terdapat kulang lebih 30 buah jenis pola hias yang terdapat pada tembikar di situs Batujaya, yang umumnya menggunakan tenik tera/tekan, gores dan cukil :
H.Fragmen Terakota
Fragmen terakota yang terbuat dari stuko berwarna putih ini berbentuk kepala manusia, kepala binatang seperti kepala kambing, Singa, burung, dan fragmen kaki gajah. Diduga arca terakota ini dahulu merupakan bagian dari hiasan yang ditempelkan pada candi tersebut. Selain arca arca ini dragmen berupa dekorasi bangunan dengan motif goemetris maupun bunga-bungaan juga ditemukan dengan variasi yang cukup banyak.
V. Penutup
Penelitian arkeologi di Komplek Percandian Batujaya dapat dikatakan belum tuntas, di samping puluhan bangunan candi sebagai objek utama dalam komplek pemujaan, juga terdapat bangunan hunian dan sumur sebagai unsure pendukungnya. Dari pertanggalan absolut dengan menggunakan carbon dating (C-14) pada sisa arang di Candi Blandongan dan sejumlah temuan berupa votive tablet yang berelief Buddha Amithaba diketahui bahwa komplek pemujaan telah ada sejak abad ke-3/4 masehi dan bersifat budhistik. Jika komplek candi ini disejajarkan dengan sejumlah temuan bangunan candi masa klasik (Hindu- Buddha) di Indonesia, maka keberadaan komplek Percandian Batujaya adalah komplek candi budhistik yang terbesar (5 km) bahkan mungkin tertua (abad ke- 3/4 M) di Indonesia.
Jika bukti-bukti arkeologi ini dapat diterima maka dapat disimpulkan bahwa munculnya sebuah peradaban di Komplek Batujaya berasal dari terjadinya kontak antara masyarakat prasejarah (buni pottery complex) di pesisir utara Jawa Barat dengan masyarakat Internasional (India) kemudian dalam intensitas yang cukup lama, masyarakat prasejarah tersebut dapat menerima dan mengadopsi kebudayaan Hindu-Budha yang dibawa pendatang. Seiring dengan diterimanya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha maka munculah kerajaan yang bercorak Hindu-Budha seperti kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat sampai abad ke-VII Masehi. Ketika Kerajaan Tarumanagara runtuh dan kedudukannya digantikan oleh Kerajaan Sunda, komplek Batujaya tetap digunakan sebagai tempat pemujaan. Tampaknya kehancuran komplek ini seiring dengan melemahnya pengaruh Hindu-Budha di Jawa Barat yang pada akhirnya membuat Kerajaan Sunda harus jatuh pada tahun 1521 M seperti yang tertulis dalam sejarah kebudayaan Indonesia.
Satu hal yang menarik pula adalah selama ini di Jawa Barat tidak pernah ditemukan candi yang bersifat budhistik. Jika demikian maka keberadaan Komplek Percandian Batujaya adalah satu-satunya candi budhistik yang ditemukan di Jawa Barat selama ini. Oleh karena itu upaya pemugaran pelestarian terhadap candi ini adalah satu hal yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak demi rekonstruksi sejarah kebudayaan Indonesia yang lebih baik lagi.
Sumber tulisan:
Budpar. [online] http://www.budpar.go.id/filedata/859_1256-Situsbatujaya21.pdf. 13 juni 2009