Oleh:
H. Gunadi Kasnowihardjo
Balai Arkeologi Yogyakarta
Abstract
In the management of archaeological resources, the archaeological research and public interest is a demand. The same thing as revealed by Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra in a speech titled "Ilmuwan Budaya dan Revitalisasi Kearifan Lokal, Tantangan Teoritis dan Metodologis" that was read at the Open Meeting of the Senate in order Dies Natalis Faculty of Humanities to 62 on March 3, 2008. The results of archaeological research had been limited to the interests of researchers and institutions concerned and less can be perceived by the public. Responding to both of the above, it is expected that the results of archaeological research should be able to contribute to the public interest. Therefore, in planning a research activity should have thought things are developing. Because this is in accordance with the nomenclature of Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.
.
Keywords: archaeological resource management, public archaeology, public interests, archaeological research and development.
Pendahuluan
Dalam manajemen sumberdaya arkeologi, sektor penelitian harus dapat berperan sebagai leading sector. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang No.5 Tahun 1992, tentang Benda Cagar Budaya bahwa kegiatan penelitian, pelestarian, dan pemanfaatan benda cagar budaya merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisah-pisahkan; oleh karena itu harus dikerjakan secara simultan tetapi berurutan. Seperti penulis usulkan dan tertuang di buku Manajemen Sumberdaya Arkeologi-2 tentang konsep three in one dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi di Indonesia (Kasnowihardjo, 2004). Sebagai lembaga yang harus mengawali kegiatan dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi, sektor penelitian dituntut tidak hanya bekerja secara akademik, akan tetapi harus memiliki visi dan wacana yang bersifat praktis dalam kaitannya dengan dua sektor lainnya yaitu sektor pelestarian dan sektor pemanfaatan.
Archaeology without its public is nothing, menurut hemat saya ungkapan ini merupakan satu tantangan bagi para pengelola sumberdaya arkeologi, terutama para ahli arkeologi yang bekerja di sektor penelitian arkeologi. Sejauh mana hasil penelitian arkeologi dapat disajikan kepada kepentingan-kepentingan lain. Seperti diingatkan oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra dalam pidatonya yang berjudul “Ilmuwan Budaya dan Revitalisasi Kearifan Lokal, Tantangan Teoritis dan Metodologis” (disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Dies Natalis ke 62 Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 3 Maret 2008), yang intinya mengajak kepada para peneliti ilmu budaya untuk menggali kearifan lokal masyarakat Indonesia dan melestarikannya demi kehidupan kita di masa mendatang. Bentuk-bentuk kearifan lokal sering ditemukan dalam penelitian arkeologi atau pun etnoarkeologi. Pertanyaannya adalah mampukah kita mengemas bentuk-bentuk kegiatan penelitian dan hasil penelitian arkeologi tersebut untuk disajikan kepada kepentingan publik? Seperti dipertanyakan oleh Daud A. Tanudirjo: apakah penelitian arkeologi di Indonesia telah mempertimbangkan kepentingan-kepentingan lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas? (Tanudirjo, 2003). Lebih jauh, menyitir pendapat Schiffer tentang transformasi budaya,Tanudirjo berharap bahwa tugas arkeologi mampu melakukan proses pakai ulang, daur ulang, mau pun reklamasi sumberdaya arkeologi (Tanudirjo, 2005). Untuk itu, lembaga-lembaga pengelola sumberdaya arkeologi terutama lembaga penelitiannya harus dapat bermitra dengan berbagai lembaga lain dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi lembaga.
Penelitian Arkeologi di Indonesia
Pada tahun 2005 saat masih bertugas sebagai Kepala Balai Arkeologi di Kalimantan, penulis mencoba mengevaluasi hasil-hasil penelitian arkeologi pada sepuluh tahun terakhir (1994 – 2004) dari tiga Balai Penelitian Arkeologi, yaitu Balai Arkeologi Yogyakarta, Balai Arkeologi Makassar, dan Balai Arkeologi Banjarmasin. Dari hasil evaluasi tersebut dapat disimpulkan bahwa kinerja sektor penelitian arkeologi masih terpaku pada kepentingan sektoral dan belum dapat dirasakan manfaatnya secara riil oleh sektor lain atau pun masyarakat luas (publik) (Gunadi, 2005). Gambaran lain yang dapat dilihat dan dibaca dari hasil evaluasi penelitian arkeologi di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir tersebut adalah bentuk kegiatan penelitian yang bersifat parsial yang disebabkan oleh keterbatasan biaya dan waktu. Apa yang akan dapat dihasilkan dengan alokasi waktu antara 10-12 hari kerja dalam satu kegiatan penelitian arkeologi?
Sebetulnya, sudah banyak contoh model penelitian arkeologi di Indonesia yang diberikan oleh rekan-rekan peneliti baik yang datang dari negara lain maupun teman-teman peneliti dari Indonesia. Francois Semah dan kawan-kawannya yang melakukan penelitian di Sangiran dan sekitarnya dapat menyelenggarakan satu pameran dan menerbitkan buku berjudul Mereka Menemukan Pulau Jawa (1990) yang menggambarkan kehidupan manusia purba beserta lingkungan, flora, dan faunanya. Penelitian yang dilakukan oleh Peter Bellwood dan kawan-kawan di Maluku Utara dan bagian timur Indonesia lainnya, dapat memberikan gambaran kehidupan rumpun Austronesia yang tinggal di antara Asia Tenggara dan Pasifik. Michel Sazine dan National Geographic dengan penelitiannya tentang gambar cadas di sepanjang pegunungan Gergaji-Marang di Kutai Timur, Kalimantan Timur; film dokumenternya berhasil memenangkan Rolex Award. Oxis Project, sebuah penelitian protosejarah di wilayah Luwu, Sulawesi Selatan yang dibiayai oleh donator asing berhasil menerbitkan buku Land of Iron (2000) dan berbagai artikel baik ilmiah maupun semi populer; satu di antaranya adalah artikel yang berjudul “Pesona Tanah Luwu Abad XIV M, Kerajaan Majapahit Import Besi” (Gunadi, 2000).
Harry Truman Simanjuntak dan kawan-kawan yang meneliti gua-gua prasejarah di Pegunungan Sewu, Gunung Kidul satu contoh model penelitian arkeologi yang tidak “berlarut-larut” yang dikerjakan oleh peneliti Indonesia dengan hasil seperti tertuang dalam buku yang berjudul “Prasejarah Gunung Sewu” (2002).
Memperhatikan akan “kekurangan” dari sektor penelitian arkeologi tersebut, perlu dicari terobosan-terobosan baru dalam kegiatan penelitian arkeologi seperti yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin di Tarakan (2003), Kutai Kartanegara (2004, 2005, 2006), Tapin (2006), serta kegiatan ilmiah yang mengangkat tentang kearifan lokal (Diskusi Ilmiah Arkeologi, IAAI Komda. Kalimantan, 2005), dan kegiatan revitalisasi kawasan Candi Agung di Kalimantan Selatan (2006). Di wilayah kerja Balai Arkeologi Yogyakarta, mulai tahun 2008 penelitian arkeologi di kawasan danau di Jawa Timur mulai dicoba dikaitkan antara penelitian arkeologi dengan kearifan lokal masyarakat yang bermukim di tepian danau. Hasil penelitian arkeologi permukiman (settlement archaeology) ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada masyarakat saat ini dalam mengelola danau dan lingkungannya demi kehidupan yang lebih berkualitas baik untuk manusia yang hidup saat ini maupun bagi generasi mendatang.
Model penelitian arkeologi di Indonesia seperti pernah digagas oleh Nurhadi dalam Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi di Bedugul, Bali tahun 2000 yang lalu perlu penulis ingatkan kembali. Ada dua hal penting yang harus kita (para peneliti arkeologi) perhatikan, yaitu: pertama, amanat yang tertuang dalam Instruksi Presiden RI No. 7 tahun 1999 tentang akuntabilitas kerja, baik akuntabilitas akademik maupun akuntabilitas publik. Kedua, dengan memerhatikan akuntabilitas publik tersebut maka hasil penelitian arkeologi akan dapat dirasakan oleh masyarakat, terutama masyarakat pemilik sumberdaya tersebut (Nurhadi, 2000). Hal senada dipertanyakan pula oleh Daud A. Tanudirjo, apakah hasil kerja arkeologi selama ini sudah memberikan manfaat yang cukup berarti bagi masyarakat (Tanudirjo, 2003).
Arkeologi Publik
Rumusan atau definisi arkeologi publik menurut Tjahjono Prasodjo ada tiga definisi yang berbeda. Pertama, arkeologi publik dipersamakan dengan contract archaeology atau cultural resources management. Kedua, arkeologi publik diartikan sebagai bidang kajian yang membahas mengenai hal yang berkaitan dengan bagaimana mempresentasikan hasil penelitian arkeologi kepada masyarakat. Ketiga, arkeologi publik didefinisikan sebagai bidang ilmu arkeologi yang khusus menyoroti interaksi arkeologi dengan publik atau masyarakat luas (Prasojo, 2004). Setuju dengan definisi arkeologi publik yang kedua di atas, maka dalam buku Manajemen Sumberdaya Arkeologi-2 (Gunadi, 2004) tentang pengertian arkeologi publik ini, penulis memformulasikan setidaknya mencakup tiga hal. Pertama, keberadaan sumberdaya arkeologi selalu terkait dengan kepentingan masyarakat (nilai ekonomis). Kedua, sumberdaya arkeologi penting bagi kehidupan manusia karena mengandung nilai edukatif dan rekreatif. Ketiga, sumberdaya arkeologi akan memacu munculnya ikatan emosional bagi masyarakat yang peduli akan kelestarian dan pelestariannya; wujudnya antara lain dengan membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat yang bersifat nirlaba. Tiga hal inilah yang harus diperhatikan oleh para manajer sumberdaya arkeologi di Indonesia dalam mengelola sumberdaya arkeologi dan arkeologi publik. Dengan demikian, arkeologi publik tidak hanya diterjemahkan sebagai conflict of interest, akan tetapi bagaimana kegiatan penelitian, pelestarian, dan pemanfaatan sumberdaya arkeologi dapat mengakomodasi dan melayani kebutuhan masyarakat. Beberapa contoh penelitian arkeologi yang berupaya mengakomodir kebutuhan masyarakat misalnya penelitian arkeologi di Kota Tarakan dan di Situs Muara Kaman, Propinsi Kalimantan Timur. Kegiatan workshop dan pameran hasil penelitian arkeologi yang diselenggarakan di Mall Balikpapan dan Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur.
Workshop dengan melibatkan berbagai lapisan masyarakat, termasuk anak-anak usia sekolah yang sangat antusias mengikuti dan mencoba melakukan kegiatan-kegiatan seperti membuat cap tangan seperti lukisan dinding gua prasejarah, merekonstruksi pecahan gerabah, mewarnai gerabah dan sebagainya. Para pengunjung dan peserta workshop dengan sangat gembira mencoba bekerja secara berkelompok layaknya para peneliti yang melakukan kegiatan di lapangan. Kegiatan seperti ini selain secara langsung akan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang arti pentingnya sumberdaya arkeologi, juga memiliki daya tarik yang sangat kuat bagi masyarakat untuk mencari tahu apa itu sumberdaya arkeologi.
Seperti telah ditulis pada bagian pendahuluan bahwa arkeologi tanpa keterlibatan masyarakat umum adalah sia-sia. Oleh karena itu ,masyarakat harus tahu dan memahami apa yang dikerjakan oleh para peneliti arkeologi agar dapat mengambil intisari dari hasil penelitian tersebut dalam menjalani kehidupan saat ini ataupun bagi masyarakat dari generasi yang akan datang. Pada dasarnya, sumberdaya arkeologi adalah milik dan untuk publik (Tanudirjo, 2005), maka dari itu semua bentuk perencanaan penelitian arkeologi semaksimal mungkin hasil laporannya dapat dikontribusikan kepada kepentingan masyarakat luas. Agar masyarakat tertarik kepada arkeologi, seperti yang dilakukan di negara-negara maju, mereka secara periodik menyelenggarakan apa yang disebut dengan istilah Archaeology Month; di Indonesia mungkin lebih tepat memakai istilah Bulan Purbakala yang dapat diselenggarakan setiap Juni (13 Juni adalah Hari Purbakala) selama sebulan penuh dengan melibatkan berbagai instansi purbakala dan arkeologi serta instansi terkait lainnya, mau pun organisasi profesi, seperti Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) dan Asosiasi Prehistorisi Indonesia (API).
Untuk itu masyarakat harus dibekali tentang berbagai hal yang berkaitan dengan arkeologi seperti nilai-nilai apa saja yang terkandung dalam sumberdaya arkeologi, apa relevansinya dengan dunia modern saat ini, siapa yang dapat diuntungkan dari sumberdaya arkeologi, dan bagaimana keuntungan tersebut dapat diperoleh, serta mengapa sering terjadi konflik yang dipicu dari keberadaan sumberdaya arkeologi. Di negara-negara maju, materi seperti tersebut di atas bahkan dapat diberikan melalui kursus-kursus yang diselenggarakan oleh organisasi profesi. Di Indonesia, dengan berdirinya berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli akan pusaka budaya atau pun pusaka alam (bahkan kedua-duanya), arkeologi dapat bekerjasama dengan lembaga nirlaba tersebut. Sayang, kemitraan antara lembaga arkeologi (yang sampai saat ini masih didominasi oleh pemerintah) dengan lembaga swadaya masyarakat tersebut belum dapat terjalin dengan “mesra”. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di negara-negara maju seperti di Amerika. Di sana benar-benar archaeology for the public seperti yang dilakukan oleh Society for American Archaeology (SAA) dengan anggotanya yang berjumlah 7.000 orang. Mereka bukan arkeolog, melainkan oleh organisasi tersebut dilatih untuk belajar tentang budaya manusia masa lampau berdasarkan tinggalan artefaktualnya, serta diarahkan untuk dapat berperan dalam upaya pelestarian sumberdaya arkeologi dan sumberdaya budaya pada umumnya (www.saa.org).
Antara Penelitian Arkeologi dan Arkeologi Publik
Kata “pengembangan” dalam kaitannya dengan nomenklatur lembaga penelitian di atas, haruslah dapat dipahami dan dijabarkan dalam persepsi yang sama di antara para peneliti Arkeologi di lingkungan lembaga penelitian Arkeologi Indonesia. Perlu saya ingatkan bahwa pengertian pengembangan ini telah dibakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan tertuang dalam Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Peneliti dan Angka Kreditnya (2005) yang menyebutkan bahwa pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau menghasilkan teknologi baru. Yang kedua, kita harus menyadari bahwa pada sektor lain dalam sistem manajemen sumberdaya arkeologi di Indonesia seperti sektor pelestarian dan pemanfaatan juga melakukan kegiatan yang bersifat pengembangan. Oleh karena itu, kita harus dapat memilah dan memilih kegiatan “pengembangan” yang bagaimana yang seharusnya kita lakukan? Pertanyaan ini tidak mudah untuk dicarikan jawabannya.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata pengembangan berarti suatu proses, perbuatan, atau cara mengembangkan sesuatu obyek. Dengan demikian, dalam kaitannya dengan kegiatan penelitian arkeologi, kegiatan pengembangan ini merupakan suatu kegiatan tahap kedua pasca penelitian agar suatu situs atau obyek arkeologi tersebut dapat lebih bermanfaat, baik bagi ilmu pengetahuan (akademis) mau pun bagi masyarakat secara luas (praktis). Oleh karena itu, para peneliti dituntut untuk dapat melakukan kegiatan pengembangan terutama pada situs-situs arkeologi yang pernah dilakukan penelitian yang berulang kali. Seperti penelitian di Benteng Tabanio, Kabupaten Tanah Laut yang sudah 4-5 kali, situs Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kertanegara, situs-situs gua prasejarah di Kutai Timur, mau pun situs-situs etnoarkeologi (penelitian pada etnis Dayak), sudah saatnya dilakukan kegiatan pengembangannya.
Menyadari akan pentingnya program-program yang bersifat pengembangan tersebut, maka bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Utara, pada tahun 2005 Balai Arkeologi Banjarmasin menggelar suatu seminar sehari tentang rencana revitalisasi situs Candi Agung dengan mengundang pembicara dari Direktorat Purbakala dan Departemen Pekerjaan Umum Pusat. Hasilnya, mulai tahun 2006 situs tersebut mulai direvitalisasi dengan dana dari pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten setempat. Selanjutnya, pada suatu seminar yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Kalimantan Selatan tahun 2005 yang lalu, penulis mempresentasikan sebuah makalah berjudul “Budaya Banjar dalam Perspektif Arkeologi: Satu Studi Kasus Melacak Sisa-Sisa Kerajaan Banjar”. Tulisan tersebut secara jujur disampaikan kepada forum sekaligus merupakan provokasi yang dapat membangun image masyarakat dan pemerintah Kalimantan Selatan tentang adanya istana atau keraton Kerajaan Banjar. Hasil dari seminar tersebut cukup menggembirakan, karena bersama rekan dari Teknik Arsitektur Universitas Lambungmangkurat, kami diberi tugas oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan untuk melakukan kajian-reka ulang keraton Banjar, dan hasilnya seperti tertuang dalam buku Kajian Reka Ulang Replika Keraton Banjar di Kuin (Gunadi, Bani, dan Aufa, 2006). Kegiatan lain seperti melakukan kajian khusus tentang rencana pengembangan kawasan bersejarah dan pendirian museum kota di Kota Tarakan, Provinsi Kalimantan Timur.
Kegiatan seperti di atas menurut hemat saya merupakan beberapa contoh kegiatan pengembangan dari hasil penelitian arkeologi. Satu hal yang perlu dicatat dan diingat bahwa kegiatan pengembangan tidak dapat digeneralisasi atau pun dibakukan lebih-lebih diseragamkan. Karena masing-masing situs pasti akan memunyai karakter dan lingkungan yang berbeda satu dengan yang lain termasuk masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu, dalam mewujudkan “program kerja pengembangan” ini betul-betul dibutuhkan kejelian dan kepekaan manajerial dari seorang peneliti arkeologi. Seperti telah disinggung di atas, jangan sampai kita terjebak dengan kegiatan pengembangan sektor lain. Pada sektor pelestarian dan pemanfaatan pun ada kegiatan pengembangan yang dikenal dengan istilah studi teknis dan studi kelayakan. Dalam makalah saya berjudul “Lembaga Penelitian Arkeologi Indonesia dan Obsesi Pengembangannya” yang dibacakan pada forum EHPA tahun 2003 yang lalu, antara lain mengingatkan kepada kita semua bahwa sektor penelitian harus dapat berperan dan menempatkan diri sebagai leading sector dalam sistem pengelolaan sumberdaya arkeologi di Indonesia.
Mitra Dalam Penelitian Arkeologi
Sifat ilmu arkeologi yang multidisipliner sangat terbuka untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak dan sektor yang berkepentingan dengan obyek penelitian arkeologi. Kemitraan dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kemitraan yang bersifat internal dan yang kedua bersifat eksternal. Kemitraan yang bersifat internal seperti diusulkan oleh penulis dalam buku Manajemen Sumberdaya Arkeologi 2 (Gunadi, 2004) tentang konsep three in one yaitu terintegrasikannya antara kegiatan penelitian, pelestarian, dan pemanfaatan sumberdaya arkeologi. Konsep ini memang mudah diucapkan akan tetapi sangat sulit untuk dilaksanakan, walau pun bagaimana, kita harus dapat menuju ke sana. Kedua, kemitraan yang bersifat eksternal yaitu bentuk kerjasama antara bidang penelitian arkeologi dengan pihak lain (interdisipliner mau pun antarlembaga).
Satu contoh dalam penelitian permukiman di lingkungan danau di wilayah Kabupaten Lumajang dan Probolinggo, Jawa Timur, kita dapat mengembangkan hasil penelitian tersebut misalnya bekerjasama dengan sektor lain seperti lingkungan hidup, kehutanan, dan sektor lainnya yang terkait untuk merencanakan kegiatan lanjutan yang bersifat kemitraan atau kolaboratif. Seperti dijelaskan dalam Berkala Arkeologi (Gunadi, 2007) bahwa beberapa danau yang ditemukan di dua wilayah Kabupaten Lumajang dan Probolinggo saat ini telah mengalami kekeringan yang disebabkan karena hilangnya nilai-nilai kearifan masyarakat terhadap lingkungannya. Untuk mengembalikan agar lingkungan danau dapat kembali seperti dahulu dan bermanfaat bagi kehidupan manusia, perlu dilakukan upaya kerjasama lintas sektoral. Dengan demikian, hasil penelitian arkeologi juga akan dapat diakses dan dimanfaatkan bagi kepentingan pihak-pihak lain. Apabila hal ini dapat diwujudkan, maka akan terjalin hubungan kemitraan antarlembaga atau pun antarkepentingan namun dalam koridor yang sama, yaitu demi terwujudnya kualitas kehidupan manusia yang lebih baik. Dengan demikian, kemitraan atau pun kerjasama dengan pihak lain tidak terbatas pada perizinan, informasi, atau pun hal-hal lain yang terkait dengan kelancaran jalannya proses penelitian. Akan tetapi, hasil penelitian arkeologi tersebut nantinya harus dapat memberikan kontribusi yang riil bagi masyarakat atau lembaga yang bersangkutan. Sesuatu yang dapat disumbangkan dari penelitian arkeologi, antara lain tentang kajian-kajian kearifan lokal atau pun studi etnoarkeologi.
Ide tentang kemitraan di atas ternyata bagaikan gayung bersambut, karena beberapa waktu yang lalu datang permintaan dari Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA), Departemen Kehutanan Daerah Istimewa Yogyakarta untuk mengisi jurnal yang diterbitkan oleh lembaga tersebut, terutama hasil-hasil penelitian arkeologi yang terkait dengan konservasi sumberdaya alam. Untuk memenuhi permintaan tersebut, beberapa peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta telah mencoba mengirim artikel kepada redaktur jurnal Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Mudah-mudahan kemitraan ini dapat berjalan lancar dan bermanfaat bagi kedua pihak serta pihak-pihak terkait lainnya.
PENUTUP
Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa selama kurun waktu antara 10-15 tahun terakhir ini model penelitian arkeologi di Indonesia masih bersifat parsial dan belum mengarah kepada hal-hal yang bersifat pengembangan, terutama yang berkaitan dengan kepentingan publik. Dalam kegiatan penelitian arkeologi di Indonesia, Arkeologi Publik saat ini sudah selayaknya menjadi pertimbangan khusus dalam menentukan langkah-langkah akademisnya, yaitu sejak pembuatan kerangka acuan hingga evaluasi hasil kegiatannya, utamanya yang terkait dengan nilai-nilai kearifan lokal. Upaya lembaga penelitian arkeologi untuk dapat berperan secara nyata sebagai leading sector dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya arkeologi di Indonesia, belum tampak secara jelas. Lembaga penelitian arkeologi yang didominasi oleh pemerintah, alokasi dana penelitian belum mampu menangani penelitian yang berskala besar dan tematik, seperti penelitian-penelitian yang mendapatkan sponsor dari donatur (non APBN).
Untuk itu, penelitian arkeologi di Indonesia saat ini dalam merencanakan kegiatannya agar mempertimbangkan kontribusi apa yang akan diberikan kepada masyarakat, archaeology for the public. Selanjutnya, untuk dapat menghasilkan kegiatan penelitian arkeologi yang berskala besar dan tematis perlu diusulkan kepada pemerintah cq. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata satu kebijakan tentang alokasi dana penelitian. Selain itu secara internal, lembaga penelitian haruslah mengubah strategi-kebijakan penelitian. Salah satu contoh dana penelitian yang tersedia dalam satu tahun anggaran cukup digunakan dalam satu atau dua kegiatan penelitian, dengan alokasi waktu yang panjang dan melibatkan banyak peneliti. Diharapkan tema-tema penelitian dapat diselesaikan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya; maksudnya tidak berlarut-larut karena alasan klasik yaitu terbatasnya dana. Mungkinkah model penelitian seperti itu dapat meningkatkan kinerja lembaga penelitian arkeologi di Indonesia? Perlu dicoba.
KEPUSTAKAAN
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2008. “Ilmuwan Budaya dan Revitalisasi Kearifan Lokal, Tantangan Teoritis dan Metodologis”. Naskah Pidato disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Dies Natalis ke – 62 Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Senin 3 Maret 2008.
Bellwood, Peter S. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia (Edisi Revisi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Caldwell, Ian and Bulbeck, David. 2000. Land of Iron, The Historical Archaeology of Luwu and the Cenrana valley. The Center for South-East Asian Studies, The University of Hull, United Kingdom.
Cahyono, Dwi M. dan Gunadi. 2007. Kerajaan Kutai Martadipura, Kajian Arkeologi-Sejarah. Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara.
Gunadi. 2000. “Pesona Tanah Luwu Abad XIV M, Kerajaan Majapahit Import Besi”, SKH. Pedoman Rakyat, Tahun ke 54, No. 90, Tanggal 4 Juni 2000, Kolom 1 – 4.
_____ . 2001. “Manajemen Sumberdaya Arkeologi”. Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin (LEPHAS).
_____ . 2003. “Lembaga Penelitian Arkeologi Indonesia dan Obsesi Pengembangannya”, Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi (EHPA), Cipanas.
_____ . 2004. Manajemen Sumberdaya Arkeologi – 2. Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Komisariat Daerah Kalimantan.
_____ . 2005. “Model Kearifan Lokal Masyarakat Banjar”, dalam Hartatik Dkk (editor): Dinamika Kearifan Lokal Masyarakat Kalimantan. Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Komisariat Daerah Kalimantan.
_____ . 2006. “Aspek Pengembangan dalam Penelitian Arkeologi: Sebuah Tinjauan Tugas Pokok dan Fungsi Balai Arkeologi”, Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi (EHPA), Bandung.
_____ . 2007. “Penelitian dan Pengembangan Situs Permukiman Lingkungan Danau di Jawa Timur: Satu Upaya Menjalin Kemitraan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi”, Berkala Arkeologi, Edisi Nopember-2007, Balai Arkeologi Yogyakarta.
Gunadi, Bani Noor M, dan Naimatul Aufa. 2006. “Kajian Reka Ulang Replika Keraton Banjar di Kuin”, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Kalimantan Selatan.
Nurhadi. 2000. “Penelitian Arkeologi, Dari GBHN ke GBHN”, Proceedings Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi, Proyek Peningkatan Penelitian Arkeologi, Jakarta.
Prasodjo. Tjahjono, 2004. “Materi Diskusi Arkeologi Publik”, SP4 Pengembangan Jurusan Arkeologi, FIB-UGM, belum diterbitkan.
Semah, Francois dkk. 1990. Mereka Menemukan Pulau Jawa. Jakarta: Kedutaan Perancis untuk Indonesia dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Simanjuntak, Harry T. dkk. (editor). 2003. Prasejarah Gunung Kidul. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Tanudirjo, Daud A. “Strategi Penelitian Arkeologi”, Disampaikan dalam Bimbingan Metode Penelitian, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 9 – 18 Agustus, 2003. Belum diterbitkan.
_____ . 2005. “Arkeologi Publik, antara Dunia Ilmiah dan Dunia Nyata”, Diskusi Ilmiah Arkeologi XX, IAAI Komisariat DIY-Jateng, belum diterbitkan.
Sumber:
http.\\: archaeology – wikipedia, the free encyclopedia
http.\\: www.saa.org
H. Gunadi Kasnowihardjo
Balai Arkeologi Yogyakarta
Abstract
In the management of archaeological resources, the archaeological research and public interest is a demand. The same thing as revealed by Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra in a speech titled "Ilmuwan Budaya dan Revitalisasi Kearifan Lokal, Tantangan Teoritis dan Metodologis" that was read at the Open Meeting of the Senate in order Dies Natalis Faculty of Humanities to 62 on March 3, 2008. The results of archaeological research had been limited to the interests of researchers and institutions concerned and less can be perceived by the public. Responding to both of the above, it is expected that the results of archaeological research should be able to contribute to the public interest. Therefore, in planning a research activity should have thought things are developing. Because this is in accordance with the nomenclature of Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.
.
Keywords: archaeological resource management, public archaeology, public interests, archaeological research and development.
Pendahuluan
Dalam manajemen sumberdaya arkeologi, sektor penelitian harus dapat berperan sebagai leading sector. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang No.5 Tahun 1992, tentang Benda Cagar Budaya bahwa kegiatan penelitian, pelestarian, dan pemanfaatan benda cagar budaya merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisah-pisahkan; oleh karena itu harus dikerjakan secara simultan tetapi berurutan. Seperti penulis usulkan dan tertuang di buku Manajemen Sumberdaya Arkeologi-2 tentang konsep three in one dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi di Indonesia (Kasnowihardjo, 2004). Sebagai lembaga yang harus mengawali kegiatan dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi, sektor penelitian dituntut tidak hanya bekerja secara akademik, akan tetapi harus memiliki visi dan wacana yang bersifat praktis dalam kaitannya dengan dua sektor lainnya yaitu sektor pelestarian dan sektor pemanfaatan.
Archaeology without its public is nothing, menurut hemat saya ungkapan ini merupakan satu tantangan bagi para pengelola sumberdaya arkeologi, terutama para ahli arkeologi yang bekerja di sektor penelitian arkeologi. Sejauh mana hasil penelitian arkeologi dapat disajikan kepada kepentingan-kepentingan lain. Seperti diingatkan oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra dalam pidatonya yang berjudul “Ilmuwan Budaya dan Revitalisasi Kearifan Lokal, Tantangan Teoritis dan Metodologis” (disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Dies Natalis ke 62 Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 3 Maret 2008), yang intinya mengajak kepada para peneliti ilmu budaya untuk menggali kearifan lokal masyarakat Indonesia dan melestarikannya demi kehidupan kita di masa mendatang. Bentuk-bentuk kearifan lokal sering ditemukan dalam penelitian arkeologi atau pun etnoarkeologi. Pertanyaannya adalah mampukah kita mengemas bentuk-bentuk kegiatan penelitian dan hasil penelitian arkeologi tersebut untuk disajikan kepada kepentingan publik? Seperti dipertanyakan oleh Daud A. Tanudirjo: apakah penelitian arkeologi di Indonesia telah mempertimbangkan kepentingan-kepentingan lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas? (Tanudirjo, 2003). Lebih jauh, menyitir pendapat Schiffer tentang transformasi budaya,Tanudirjo berharap bahwa tugas arkeologi mampu melakukan proses pakai ulang, daur ulang, mau pun reklamasi sumberdaya arkeologi (Tanudirjo, 2005). Untuk itu, lembaga-lembaga pengelola sumberdaya arkeologi terutama lembaga penelitiannya harus dapat bermitra dengan berbagai lembaga lain dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi lembaga.
Penelitian Arkeologi di Indonesia
Pada tahun 2005 saat masih bertugas sebagai Kepala Balai Arkeologi di Kalimantan, penulis mencoba mengevaluasi hasil-hasil penelitian arkeologi pada sepuluh tahun terakhir (1994 – 2004) dari tiga Balai Penelitian Arkeologi, yaitu Balai Arkeologi Yogyakarta, Balai Arkeologi Makassar, dan Balai Arkeologi Banjarmasin. Dari hasil evaluasi tersebut dapat disimpulkan bahwa kinerja sektor penelitian arkeologi masih terpaku pada kepentingan sektoral dan belum dapat dirasakan manfaatnya secara riil oleh sektor lain atau pun masyarakat luas (publik) (Gunadi, 2005). Gambaran lain yang dapat dilihat dan dibaca dari hasil evaluasi penelitian arkeologi di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir tersebut adalah bentuk kegiatan penelitian yang bersifat parsial yang disebabkan oleh keterbatasan biaya dan waktu. Apa yang akan dapat dihasilkan dengan alokasi waktu antara 10-12 hari kerja dalam satu kegiatan penelitian arkeologi?
Sebetulnya, sudah banyak contoh model penelitian arkeologi di Indonesia yang diberikan oleh rekan-rekan peneliti baik yang datang dari negara lain maupun teman-teman peneliti dari Indonesia. Francois Semah dan kawan-kawannya yang melakukan penelitian di Sangiran dan sekitarnya dapat menyelenggarakan satu pameran dan menerbitkan buku berjudul Mereka Menemukan Pulau Jawa (1990) yang menggambarkan kehidupan manusia purba beserta lingkungan, flora, dan faunanya. Penelitian yang dilakukan oleh Peter Bellwood dan kawan-kawan di Maluku Utara dan bagian timur Indonesia lainnya, dapat memberikan gambaran kehidupan rumpun Austronesia yang tinggal di antara Asia Tenggara dan Pasifik. Michel Sazine dan National Geographic dengan penelitiannya tentang gambar cadas di sepanjang pegunungan Gergaji-Marang di Kutai Timur, Kalimantan Timur; film dokumenternya berhasil memenangkan Rolex Award. Oxis Project, sebuah penelitian protosejarah di wilayah Luwu, Sulawesi Selatan yang dibiayai oleh donator asing berhasil menerbitkan buku Land of Iron (2000) dan berbagai artikel baik ilmiah maupun semi populer; satu di antaranya adalah artikel yang berjudul “Pesona Tanah Luwu Abad XIV M, Kerajaan Majapahit Import Besi” (Gunadi, 2000).
Harry Truman Simanjuntak dan kawan-kawan yang meneliti gua-gua prasejarah di Pegunungan Sewu, Gunung Kidul satu contoh model penelitian arkeologi yang tidak “berlarut-larut” yang dikerjakan oleh peneliti Indonesia dengan hasil seperti tertuang dalam buku yang berjudul “Prasejarah Gunung Sewu” (2002).
Memperhatikan akan “kekurangan” dari sektor penelitian arkeologi tersebut, perlu dicari terobosan-terobosan baru dalam kegiatan penelitian arkeologi seperti yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin di Tarakan (2003), Kutai Kartanegara (2004, 2005, 2006), Tapin (2006), serta kegiatan ilmiah yang mengangkat tentang kearifan lokal (Diskusi Ilmiah Arkeologi, IAAI Komda. Kalimantan, 2005), dan kegiatan revitalisasi kawasan Candi Agung di Kalimantan Selatan (2006). Di wilayah kerja Balai Arkeologi Yogyakarta, mulai tahun 2008 penelitian arkeologi di kawasan danau di Jawa Timur mulai dicoba dikaitkan antara penelitian arkeologi dengan kearifan lokal masyarakat yang bermukim di tepian danau. Hasil penelitian arkeologi permukiman (settlement archaeology) ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada masyarakat saat ini dalam mengelola danau dan lingkungannya demi kehidupan yang lebih berkualitas baik untuk manusia yang hidup saat ini maupun bagi generasi mendatang.
Model penelitian arkeologi di Indonesia seperti pernah digagas oleh Nurhadi dalam Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi di Bedugul, Bali tahun 2000 yang lalu perlu penulis ingatkan kembali. Ada dua hal penting yang harus kita (para peneliti arkeologi) perhatikan, yaitu: pertama, amanat yang tertuang dalam Instruksi Presiden RI No. 7 tahun 1999 tentang akuntabilitas kerja, baik akuntabilitas akademik maupun akuntabilitas publik. Kedua, dengan memerhatikan akuntabilitas publik tersebut maka hasil penelitian arkeologi akan dapat dirasakan oleh masyarakat, terutama masyarakat pemilik sumberdaya tersebut (Nurhadi, 2000). Hal senada dipertanyakan pula oleh Daud A. Tanudirjo, apakah hasil kerja arkeologi selama ini sudah memberikan manfaat yang cukup berarti bagi masyarakat (Tanudirjo, 2003).
Arkeologi Publik
Rumusan atau definisi arkeologi publik menurut Tjahjono Prasodjo ada tiga definisi yang berbeda. Pertama, arkeologi publik dipersamakan dengan contract archaeology atau cultural resources management. Kedua, arkeologi publik diartikan sebagai bidang kajian yang membahas mengenai hal yang berkaitan dengan bagaimana mempresentasikan hasil penelitian arkeologi kepada masyarakat. Ketiga, arkeologi publik didefinisikan sebagai bidang ilmu arkeologi yang khusus menyoroti interaksi arkeologi dengan publik atau masyarakat luas (Prasojo, 2004). Setuju dengan definisi arkeologi publik yang kedua di atas, maka dalam buku Manajemen Sumberdaya Arkeologi-2 (Gunadi, 2004) tentang pengertian arkeologi publik ini, penulis memformulasikan setidaknya mencakup tiga hal. Pertama, keberadaan sumberdaya arkeologi selalu terkait dengan kepentingan masyarakat (nilai ekonomis). Kedua, sumberdaya arkeologi penting bagi kehidupan manusia karena mengandung nilai edukatif dan rekreatif. Ketiga, sumberdaya arkeologi akan memacu munculnya ikatan emosional bagi masyarakat yang peduli akan kelestarian dan pelestariannya; wujudnya antara lain dengan membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat yang bersifat nirlaba. Tiga hal inilah yang harus diperhatikan oleh para manajer sumberdaya arkeologi di Indonesia dalam mengelola sumberdaya arkeologi dan arkeologi publik. Dengan demikian, arkeologi publik tidak hanya diterjemahkan sebagai conflict of interest, akan tetapi bagaimana kegiatan penelitian, pelestarian, dan pemanfaatan sumberdaya arkeologi dapat mengakomodasi dan melayani kebutuhan masyarakat. Beberapa contoh penelitian arkeologi yang berupaya mengakomodir kebutuhan masyarakat misalnya penelitian arkeologi di Kota Tarakan dan di Situs Muara Kaman, Propinsi Kalimantan Timur. Kegiatan workshop dan pameran hasil penelitian arkeologi yang diselenggarakan di Mall Balikpapan dan Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur.
Workshop dengan melibatkan berbagai lapisan masyarakat, termasuk anak-anak usia sekolah yang sangat antusias mengikuti dan mencoba melakukan kegiatan-kegiatan seperti membuat cap tangan seperti lukisan dinding gua prasejarah, merekonstruksi pecahan gerabah, mewarnai gerabah dan sebagainya. Para pengunjung dan peserta workshop dengan sangat gembira mencoba bekerja secara berkelompok layaknya para peneliti yang melakukan kegiatan di lapangan. Kegiatan seperti ini selain secara langsung akan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang arti pentingnya sumberdaya arkeologi, juga memiliki daya tarik yang sangat kuat bagi masyarakat untuk mencari tahu apa itu sumberdaya arkeologi.
Seperti telah ditulis pada bagian pendahuluan bahwa arkeologi tanpa keterlibatan masyarakat umum adalah sia-sia. Oleh karena itu ,masyarakat harus tahu dan memahami apa yang dikerjakan oleh para peneliti arkeologi agar dapat mengambil intisari dari hasil penelitian tersebut dalam menjalani kehidupan saat ini ataupun bagi masyarakat dari generasi yang akan datang. Pada dasarnya, sumberdaya arkeologi adalah milik dan untuk publik (Tanudirjo, 2005), maka dari itu semua bentuk perencanaan penelitian arkeologi semaksimal mungkin hasil laporannya dapat dikontribusikan kepada kepentingan masyarakat luas. Agar masyarakat tertarik kepada arkeologi, seperti yang dilakukan di negara-negara maju, mereka secara periodik menyelenggarakan apa yang disebut dengan istilah Archaeology Month; di Indonesia mungkin lebih tepat memakai istilah Bulan Purbakala yang dapat diselenggarakan setiap Juni (13 Juni adalah Hari Purbakala) selama sebulan penuh dengan melibatkan berbagai instansi purbakala dan arkeologi serta instansi terkait lainnya, mau pun organisasi profesi, seperti Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) dan Asosiasi Prehistorisi Indonesia (API).
Untuk itu masyarakat harus dibekali tentang berbagai hal yang berkaitan dengan arkeologi seperti nilai-nilai apa saja yang terkandung dalam sumberdaya arkeologi, apa relevansinya dengan dunia modern saat ini, siapa yang dapat diuntungkan dari sumberdaya arkeologi, dan bagaimana keuntungan tersebut dapat diperoleh, serta mengapa sering terjadi konflik yang dipicu dari keberadaan sumberdaya arkeologi. Di negara-negara maju, materi seperti tersebut di atas bahkan dapat diberikan melalui kursus-kursus yang diselenggarakan oleh organisasi profesi. Di Indonesia, dengan berdirinya berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli akan pusaka budaya atau pun pusaka alam (bahkan kedua-duanya), arkeologi dapat bekerjasama dengan lembaga nirlaba tersebut. Sayang, kemitraan antara lembaga arkeologi (yang sampai saat ini masih didominasi oleh pemerintah) dengan lembaga swadaya masyarakat tersebut belum dapat terjalin dengan “mesra”. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di negara-negara maju seperti di Amerika. Di sana benar-benar archaeology for the public seperti yang dilakukan oleh Society for American Archaeology (SAA) dengan anggotanya yang berjumlah 7.000 orang. Mereka bukan arkeolog, melainkan oleh organisasi tersebut dilatih untuk belajar tentang budaya manusia masa lampau berdasarkan tinggalan artefaktualnya, serta diarahkan untuk dapat berperan dalam upaya pelestarian sumberdaya arkeologi dan sumberdaya budaya pada umumnya (www.saa.org).
Antara Penelitian Arkeologi dan Arkeologi Publik
Kata “pengembangan” dalam kaitannya dengan nomenklatur lembaga penelitian di atas, haruslah dapat dipahami dan dijabarkan dalam persepsi yang sama di antara para peneliti Arkeologi di lingkungan lembaga penelitian Arkeologi Indonesia. Perlu saya ingatkan bahwa pengertian pengembangan ini telah dibakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan tertuang dalam Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Peneliti dan Angka Kreditnya (2005) yang menyebutkan bahwa pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau menghasilkan teknologi baru. Yang kedua, kita harus menyadari bahwa pada sektor lain dalam sistem manajemen sumberdaya arkeologi di Indonesia seperti sektor pelestarian dan pemanfaatan juga melakukan kegiatan yang bersifat pengembangan. Oleh karena itu, kita harus dapat memilah dan memilih kegiatan “pengembangan” yang bagaimana yang seharusnya kita lakukan? Pertanyaan ini tidak mudah untuk dicarikan jawabannya.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata pengembangan berarti suatu proses, perbuatan, atau cara mengembangkan sesuatu obyek. Dengan demikian, dalam kaitannya dengan kegiatan penelitian arkeologi, kegiatan pengembangan ini merupakan suatu kegiatan tahap kedua pasca penelitian agar suatu situs atau obyek arkeologi tersebut dapat lebih bermanfaat, baik bagi ilmu pengetahuan (akademis) mau pun bagi masyarakat secara luas (praktis). Oleh karena itu, para peneliti dituntut untuk dapat melakukan kegiatan pengembangan terutama pada situs-situs arkeologi yang pernah dilakukan penelitian yang berulang kali. Seperti penelitian di Benteng Tabanio, Kabupaten Tanah Laut yang sudah 4-5 kali, situs Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kertanegara, situs-situs gua prasejarah di Kutai Timur, mau pun situs-situs etnoarkeologi (penelitian pada etnis Dayak), sudah saatnya dilakukan kegiatan pengembangannya.
Menyadari akan pentingnya program-program yang bersifat pengembangan tersebut, maka bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Utara, pada tahun 2005 Balai Arkeologi Banjarmasin menggelar suatu seminar sehari tentang rencana revitalisasi situs Candi Agung dengan mengundang pembicara dari Direktorat Purbakala dan Departemen Pekerjaan Umum Pusat. Hasilnya, mulai tahun 2006 situs tersebut mulai direvitalisasi dengan dana dari pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten setempat. Selanjutnya, pada suatu seminar yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Kalimantan Selatan tahun 2005 yang lalu, penulis mempresentasikan sebuah makalah berjudul “Budaya Banjar dalam Perspektif Arkeologi: Satu Studi Kasus Melacak Sisa-Sisa Kerajaan Banjar”. Tulisan tersebut secara jujur disampaikan kepada forum sekaligus merupakan provokasi yang dapat membangun image masyarakat dan pemerintah Kalimantan Selatan tentang adanya istana atau keraton Kerajaan Banjar. Hasil dari seminar tersebut cukup menggembirakan, karena bersama rekan dari Teknik Arsitektur Universitas Lambungmangkurat, kami diberi tugas oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan untuk melakukan kajian-reka ulang keraton Banjar, dan hasilnya seperti tertuang dalam buku Kajian Reka Ulang Replika Keraton Banjar di Kuin (Gunadi, Bani, dan Aufa, 2006). Kegiatan lain seperti melakukan kajian khusus tentang rencana pengembangan kawasan bersejarah dan pendirian museum kota di Kota Tarakan, Provinsi Kalimantan Timur.
Kegiatan seperti di atas menurut hemat saya merupakan beberapa contoh kegiatan pengembangan dari hasil penelitian arkeologi. Satu hal yang perlu dicatat dan diingat bahwa kegiatan pengembangan tidak dapat digeneralisasi atau pun dibakukan lebih-lebih diseragamkan. Karena masing-masing situs pasti akan memunyai karakter dan lingkungan yang berbeda satu dengan yang lain termasuk masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu, dalam mewujudkan “program kerja pengembangan” ini betul-betul dibutuhkan kejelian dan kepekaan manajerial dari seorang peneliti arkeologi. Seperti telah disinggung di atas, jangan sampai kita terjebak dengan kegiatan pengembangan sektor lain. Pada sektor pelestarian dan pemanfaatan pun ada kegiatan pengembangan yang dikenal dengan istilah studi teknis dan studi kelayakan. Dalam makalah saya berjudul “Lembaga Penelitian Arkeologi Indonesia dan Obsesi Pengembangannya” yang dibacakan pada forum EHPA tahun 2003 yang lalu, antara lain mengingatkan kepada kita semua bahwa sektor penelitian harus dapat berperan dan menempatkan diri sebagai leading sector dalam sistem pengelolaan sumberdaya arkeologi di Indonesia.
Mitra Dalam Penelitian Arkeologi
Sifat ilmu arkeologi yang multidisipliner sangat terbuka untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak dan sektor yang berkepentingan dengan obyek penelitian arkeologi. Kemitraan dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kemitraan yang bersifat internal dan yang kedua bersifat eksternal. Kemitraan yang bersifat internal seperti diusulkan oleh penulis dalam buku Manajemen Sumberdaya Arkeologi 2 (Gunadi, 2004) tentang konsep three in one yaitu terintegrasikannya antara kegiatan penelitian, pelestarian, dan pemanfaatan sumberdaya arkeologi. Konsep ini memang mudah diucapkan akan tetapi sangat sulit untuk dilaksanakan, walau pun bagaimana, kita harus dapat menuju ke sana. Kedua, kemitraan yang bersifat eksternal yaitu bentuk kerjasama antara bidang penelitian arkeologi dengan pihak lain (interdisipliner mau pun antarlembaga).
Satu contoh dalam penelitian permukiman di lingkungan danau di wilayah Kabupaten Lumajang dan Probolinggo, Jawa Timur, kita dapat mengembangkan hasil penelitian tersebut misalnya bekerjasama dengan sektor lain seperti lingkungan hidup, kehutanan, dan sektor lainnya yang terkait untuk merencanakan kegiatan lanjutan yang bersifat kemitraan atau kolaboratif. Seperti dijelaskan dalam Berkala Arkeologi (Gunadi, 2007) bahwa beberapa danau yang ditemukan di dua wilayah Kabupaten Lumajang dan Probolinggo saat ini telah mengalami kekeringan yang disebabkan karena hilangnya nilai-nilai kearifan masyarakat terhadap lingkungannya. Untuk mengembalikan agar lingkungan danau dapat kembali seperti dahulu dan bermanfaat bagi kehidupan manusia, perlu dilakukan upaya kerjasama lintas sektoral. Dengan demikian, hasil penelitian arkeologi juga akan dapat diakses dan dimanfaatkan bagi kepentingan pihak-pihak lain. Apabila hal ini dapat diwujudkan, maka akan terjalin hubungan kemitraan antarlembaga atau pun antarkepentingan namun dalam koridor yang sama, yaitu demi terwujudnya kualitas kehidupan manusia yang lebih baik. Dengan demikian, kemitraan atau pun kerjasama dengan pihak lain tidak terbatas pada perizinan, informasi, atau pun hal-hal lain yang terkait dengan kelancaran jalannya proses penelitian. Akan tetapi, hasil penelitian arkeologi tersebut nantinya harus dapat memberikan kontribusi yang riil bagi masyarakat atau lembaga yang bersangkutan. Sesuatu yang dapat disumbangkan dari penelitian arkeologi, antara lain tentang kajian-kajian kearifan lokal atau pun studi etnoarkeologi.
Ide tentang kemitraan di atas ternyata bagaikan gayung bersambut, karena beberapa waktu yang lalu datang permintaan dari Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA), Departemen Kehutanan Daerah Istimewa Yogyakarta untuk mengisi jurnal yang diterbitkan oleh lembaga tersebut, terutama hasil-hasil penelitian arkeologi yang terkait dengan konservasi sumberdaya alam. Untuk memenuhi permintaan tersebut, beberapa peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta telah mencoba mengirim artikel kepada redaktur jurnal Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Mudah-mudahan kemitraan ini dapat berjalan lancar dan bermanfaat bagi kedua pihak serta pihak-pihak terkait lainnya.
PENUTUP
Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa selama kurun waktu antara 10-15 tahun terakhir ini model penelitian arkeologi di Indonesia masih bersifat parsial dan belum mengarah kepada hal-hal yang bersifat pengembangan, terutama yang berkaitan dengan kepentingan publik. Dalam kegiatan penelitian arkeologi di Indonesia, Arkeologi Publik saat ini sudah selayaknya menjadi pertimbangan khusus dalam menentukan langkah-langkah akademisnya, yaitu sejak pembuatan kerangka acuan hingga evaluasi hasil kegiatannya, utamanya yang terkait dengan nilai-nilai kearifan lokal. Upaya lembaga penelitian arkeologi untuk dapat berperan secara nyata sebagai leading sector dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya arkeologi di Indonesia, belum tampak secara jelas. Lembaga penelitian arkeologi yang didominasi oleh pemerintah, alokasi dana penelitian belum mampu menangani penelitian yang berskala besar dan tematik, seperti penelitian-penelitian yang mendapatkan sponsor dari donatur (non APBN).
Untuk itu, penelitian arkeologi di Indonesia saat ini dalam merencanakan kegiatannya agar mempertimbangkan kontribusi apa yang akan diberikan kepada masyarakat, archaeology for the public. Selanjutnya, untuk dapat menghasilkan kegiatan penelitian arkeologi yang berskala besar dan tematis perlu diusulkan kepada pemerintah cq. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata satu kebijakan tentang alokasi dana penelitian. Selain itu secara internal, lembaga penelitian haruslah mengubah strategi-kebijakan penelitian. Salah satu contoh dana penelitian yang tersedia dalam satu tahun anggaran cukup digunakan dalam satu atau dua kegiatan penelitian, dengan alokasi waktu yang panjang dan melibatkan banyak peneliti. Diharapkan tema-tema penelitian dapat diselesaikan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya; maksudnya tidak berlarut-larut karena alasan klasik yaitu terbatasnya dana. Mungkinkah model penelitian seperti itu dapat meningkatkan kinerja lembaga penelitian arkeologi di Indonesia? Perlu dicoba.
KEPUSTAKAAN
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2008. “Ilmuwan Budaya dan Revitalisasi Kearifan Lokal, Tantangan Teoritis dan Metodologis”. Naskah Pidato disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Dies Natalis ke – 62 Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Senin 3 Maret 2008.
Bellwood, Peter S. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia (Edisi Revisi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Caldwell, Ian and Bulbeck, David. 2000. Land of Iron, The Historical Archaeology of Luwu and the Cenrana valley. The Center for South-East Asian Studies, The University of Hull, United Kingdom.
Cahyono, Dwi M. dan Gunadi. 2007. Kerajaan Kutai Martadipura, Kajian Arkeologi-Sejarah. Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara.
Gunadi. 2000. “Pesona Tanah Luwu Abad XIV M, Kerajaan Majapahit Import Besi”, SKH. Pedoman Rakyat, Tahun ke 54, No. 90, Tanggal 4 Juni 2000, Kolom 1 – 4.
_____ . 2001. “Manajemen Sumberdaya Arkeologi”. Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin (LEPHAS).
_____ . 2003. “Lembaga Penelitian Arkeologi Indonesia dan Obsesi Pengembangannya”, Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi (EHPA), Cipanas.
_____ . 2004. Manajemen Sumberdaya Arkeologi – 2. Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Komisariat Daerah Kalimantan.
_____ . 2005. “Model Kearifan Lokal Masyarakat Banjar”, dalam Hartatik Dkk (editor): Dinamika Kearifan Lokal Masyarakat Kalimantan. Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Komisariat Daerah Kalimantan.
_____ . 2006. “Aspek Pengembangan dalam Penelitian Arkeologi: Sebuah Tinjauan Tugas Pokok dan Fungsi Balai Arkeologi”, Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi (EHPA), Bandung.
_____ . 2007. “Penelitian dan Pengembangan Situs Permukiman Lingkungan Danau di Jawa Timur: Satu Upaya Menjalin Kemitraan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi”, Berkala Arkeologi, Edisi Nopember-2007, Balai Arkeologi Yogyakarta.
Gunadi, Bani Noor M, dan Naimatul Aufa. 2006. “Kajian Reka Ulang Replika Keraton Banjar di Kuin”, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Kalimantan Selatan.
Nurhadi. 2000. “Penelitian Arkeologi, Dari GBHN ke GBHN”, Proceedings Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi, Proyek Peningkatan Penelitian Arkeologi, Jakarta.
Prasodjo. Tjahjono, 2004. “Materi Diskusi Arkeologi Publik”, SP4 Pengembangan Jurusan Arkeologi, FIB-UGM, belum diterbitkan.
Semah, Francois dkk. 1990. Mereka Menemukan Pulau Jawa. Jakarta: Kedutaan Perancis untuk Indonesia dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Simanjuntak, Harry T. dkk. (editor). 2003. Prasejarah Gunung Kidul. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Tanudirjo, Daud A. “Strategi Penelitian Arkeologi”, Disampaikan dalam Bimbingan Metode Penelitian, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 9 – 18 Agustus, 2003. Belum diterbitkan.
_____ . 2005. “Arkeologi Publik, antara Dunia Ilmiah dan Dunia Nyata”, Diskusi Ilmiah Arkeologi XX, IAAI Komisariat DIY-Jateng, belum diterbitkan.
Sumber:
http.\\: archaeology – wikipedia, the free encyclopedia
http.\\: www.saa.org