Penduduk asli pesisir Tamiang adalah etnis Melayu, yang pada zaman dahulu daerahnya terbagi atas 5 kerajaan kecil yaitu: Kejeruan Karang, Kejeruan Muda, Kejeruan Bendahara, Kejeruan Sungai Iyu dan Sutan Muda. Nama `Tumihang` sebagai suatu kesatuan hukum teritorial (kerajaan) sudah ada disebut di dalam penyerangan Majapahit yang tercantum di dalam kronik `Negarakertagama` (1365 M). Juga di dalam laporan ekspedisi dinasti Ming yang dikepalai oleh Laksamana Cheng Ho (Zeng He) juga menyebutkan sempat singgah di Tamiang pada tahun 1412, 1419, 1421 dan 1423 M.
Di dalam peta-peta China yang dikumpulkan di dalam Wupeipishu (1433 M), ada nama Bandar Tamiang yang disebut `KanPeiChiang`. Menurut laporan Portugis (abad ke-16 M), kerajaan Tamiang berbatasan di sebelah selatan dengan Kerajaan Haru (berpusat di Deli) dan tunduk ke Haru. Pada masa pemerintahan Sultan Ismail, Siak dapat menguasai Tamiang (1814 M). Pada tahun 1862 Belanda mengakui Tamiang tunduk ke Langkat. Oleh karena itu di dalam Residensi Sumatera Timur wilayah itu termasuk Afdeling Langkat-Tamiang di mana di bawahnya ada Onder-Afdeling Tamiang yang kontelirnya berkedudukan di Seruwai (1887).
Sejak 1880 wilayah Tamiang selalu dimasuki gerilyawan dari Aceh yang dipimpin Nyak Makam dan sempat juga membakar tambang minyak perusahaan Belanda di Pangkalan Susu dan Pangkalan Berandan. Inilah Tambang minyak yang pertama dibuka di Asia Tenggara. Untuk menertibkan Investasi modal Belanda maka dibentuklah sebuah ekspedisi militer pada Januari 1893 disebut `Tamiang Expeditie`.
Karena banyaknya korban dari pihak Belanda, maka di lapangan Esplanade Medan (Sekarang Tanah Lapang Merdeka) didirikanlah tugu `Tamiang Monument` di mana tercantum daftar nama-nama tentera Belanda yang tewas. Kalaulah di Banda Aceh daftar nama-nama tentera Belanda yang tewas dalam Perang Aceh (Kerkhof) dipelihara dengan baik, maka akan menjadi kebanggaan rakyat Aceh. Atas sponsor PKI, tugu Tamiang Monument di Lapangan Merdeka Medan justru dihancurkan pada tahun 1950-an!
Ketika Van Heutsz menjadi Gubernur Militer di Residensi Aceh ditetapkanlah batas Residensi Aceh dengan Afdeling Langkat-Tamiang (Residensi Sumatera Timur) bulan April 1899. Sewaktu tambang minyak di Langkat dieksploitasi pada tahun 1890, kemudian meluas ke wilayah Tamiang, Sultan Langkat merasa berhak memperoleh sebahagian besar hasil minyak itu meskipun diprotes oleh Kejeruan-Kejeruan di Tamiang.
Pada 1903, wilayah Afdeling Tamiang dikeluarkan dari Residensi Sumatera Timur dan dimasukkan ke Residensi Aceh. Pemerintah Hindia Belanda lalu membuat perjanjian Pendek (Korte Verklaring) dengan raja-raja di Tamiang secara langsung.
Adat Perkawinan dan Perceraian
Upacara adat ini dimulai dengan acara Peminangan oleh pihak pria kepada pihak gadis. Jika terdapat persetujuan kedua belah pihak, maka diadakan Pertunangan yang dilaporkan kepada pihak gadis. Jika pihak si gadis membatalkan pertunangan ini maka mereka harus membayar 2 kali uang Antaran. Di Tamiang Hilir, seorang isteri pindah mengikuti suami, kecuali jika si isteri mempunyai Rumah Pusaka. Jika demikian, maka sang suami yang pindah. Jika suami tidak pernah membayar uang Antaran maka ia tidak berhak menuntut isterinya ikut pindah ke rumahnya.
Pada perkawinan kedua, seorang janda meminta izin ayah/walinya. Jika ternyata suami menganiaya sang isteri di mana istri kemudian meminta cerai, maka suami harus membayar dua kali nilai Antaran.
Seorang isteri bisa meminta cerai antara lain dengan beberapa alasan: 1. Sang suami impotent, 2. Sang suami tidak memberikan belanja hidup ataupun batin, 3. Sang suami gila atau sakit kulit
Permintaan cerai diajukan kepada kadhi. Jika masalahnya agak rumit, hal itu dibawa ke sidang Kerapatan Raja. Jika tanpa sebab di atas sang isteri juga meminta cerai maka ia harus membayar 2 kali uang Antaran, di mana Kerapatan Adat memperoleh 50% denda tersebut. Jika sang suami menceraikan isterinya tanpa sebab, maka harta pencaharian, setengah bagian harus diberikan kepada isteri (pada harta pelayaran duapertiga ditinggal pada suami) dan sang suami harus memberikan belanja kehidupan kepada isteri yang diceraikan itu selama tiga bulan.
Jika terdapat anak, maka jika ia berusia tujuh tahun, anak tersebut dapat menentukan turut/tinggal/dipelihara oleh siapa. Namun jika masih di bawah usia 7 tahun, ia tinggal bersama ibunya, di mana sang Ayah berkewajiban memberikan uang belanja kehidupan si anak itu. Pada perceraian dimana Ibu tidak berkehendak memelihara anak, maka sebagai pemujuknya sang ayah berdasarkan Hukum Adat Negeri harus memberikan $ 5,- untuk setiap anak sebagai Adat Bedian (ganti rugi menyusukan anak) dan $ 5,- selaku adat disebut Putus Tali Pendukung. Seorang ibu boleh menolak memelihara si anak, tetapi suami, secara adat, tidak boleh menolak.
Pembagian Harta Pusaka
Harta pusaka adalah harta yang diperoleh baik oleh suami maupun isteri dari orangtua mereka. Harta Pencaharian adalah harta barang atau uang yang diperoleh dari jerih payah mereka bersama, di rumah, di kebun dan di halaman. Harta Pelayaran adalah harta yang diperoleh sang suami di dalam perjalanan dagangnya.
Harta Pusaka dibagi oleh para ahliwaris berdasarkan hukum Syariah Islam. Biasanya anak perempuan menerima rumah dan kebun, sedangkan anak lelaki mendapatkan uang kontan. Jika ada wasiat, maka tidak lebih dari sepertiga dari seluruh harta yang diberikan untuk itu. Sementara Harta Pelayaran dibagi tiga yaitu kepada anak-anak (atau jika tidak ada jatuh kepada waris lelaki yang meninggal) mendapat duapertiga dan perempuan mendapat sepertiga.
Sumpah Adat
Oleh Kerapatan Raja, sumpah dilaksanakan menurut keinginan masing-masing: 1. Sumpah Quran, boleh dilaksanakan di Masjid atau di mana saja. 2. Sumpah Tanah Terbin, diambil segenggam tanah sambil mengucapkan “Kalau saya salah, begitu tanah jatuh, saya punya badan boleh jatuh! Menurut para pembesar Belanda, pada zaman dahulu kala ada juga Sumpah Selam Air, siapa yang lebih lama menyelam dia yang menang. Ada juga Sumpah di dalam Minyak yang Panas yang kini tidak dibenarkan lagi).
Dari pemaparan di atas, Dapatlah kita lihat bahwa sebagian besar adat di atas tidak jauh berbeda dengan adat istiadat Melayu yang juga berlaku di wilayah Residensi Sumatera Timur lainnya dahulu. Nampak nyata jalinan “Adat Melayu Bersendi Hukum (Syariah), Hukum Bersendikan Kitabullah (Al Quran).
Sumber : www.waspada.co.id