Bahasa Arab dan Khazanah Sastra Keagamaan di Indonesia

Oleh: Prof. Dr. Syamsul Hadi

1. Pendahuluan
Makalah ini membahas kaftan antara bahasa Arab dan khazanah sastra keagamaan di Indonesia. Adapun yang dimaksud sastra keagamaan di sini adalah sastra Islam (Yock Fang, 1981: 187). Untuk itu pembahasan ini mencakup pula kaitan antara Islam dan bahasa Arab. Masuknya agama Islam ke Indonesia juga akan dibahas karena pembahasan tersebut sangat relevan untuk mengungkap mengapa sejak kurun waktu yang sangat lama telah lahir sastra Islam, serta bagaimana corak keaga maan masyarakat Muslim Indonesia. Naskah keagamaan yang akan dipaparkan meliputi khazanah keagamaan dari khazanah naskah Melayu lama, khazanah naskah berbahasa Arab yang ditulis oleh orang-oang Indonesia yang pernah tinggal di Mekkah, dan khazanah naskah keagamaan berbahasa Jawa.

Oleh karena khazanah sastra Melayu lama ditulis dengan huruf Jawi (Roolvink, 1960 via Chamamah-Soeratno, 1995: 4) yang berasal dari huruf Arab (Hijaiyyah), dan khazanah naskah keagamaan ber bahasa Jawa banyak juga yang ditulis dengan huruf Pegon (Pudjiastuti, 1994: 4), yang juga berasal dari huruf Hijaiyyah dengan penambahan tanda-tanda diakritik tertentu disesuaikan dengan kebu tuhan ucapan maupun ejaan, maka huruf Jawi dan huruf Pegon akan dibahas juga. Di samping itu, pembahasan juga akan menyangkut kata, maupun ungkapan Arab dalam khazanah bahasa dan sastra Melayu serta Jawa sebagai akibat dari eratnya hubungan antara Islam, bahasa Arab, dan kedua bahasa tersebut.

2. Bahasa Arab dan Islam
Bahasa Arab adalah bahasa yang tidak dapat dipisahkan dari Islam. Bahasa ini sering juga disebut sebagai bahasa Islam. Selain itu, bahasa ini dikatakan pula sebagai bahasa al-Qur‘an, karena al-Qur‘an ditulis dengan bahasa tersebut. Bahasa Arab kini dipakai sebagai bahasa resmi Islamic World League (Rabithah Alam Islam!), dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang beranggotakan 45 negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Akan tetapi, bukan berarti bahasa Arab hanya digunakan oleh umat Islam saja. Seperti diketahui bahwa kawasan Urubah, yakni kawasan yang meliputi 21 negara Arab yang meliputi Arab Afrika, Arab Asia, maupun Arab Teluk yang tergabung dalam Liga Arab dan berbahasa resmi bahasa Arab, tidak semuanya memeluk Islam. Bahasa Arab sekarang juga merupakan bahasa resmi kelima di Per serikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 1973. Selain itu, bahasa Arab juga dipakai sebagai bahasa resmi Organisasi Persatuan Afrika, OPA (Hadi, 1994: 2-3).

Dengan demikian, bahasa Arab merupakan bahasa internasional yang digunakan oleh berbagai bangsa di dunia. Di samping itu, bahasa Arab juga merupakan bahasa ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh bukan hanya umat Islam saja.

Bahasa Arab tidak dapat dipisahkan dengan Islam karena sumber hukum Islam adalah al-Qur‘an dan al-hadis, keduanya berbahasa Arab. Pelaksanaan sholat, baik sholat wajib maupun sunat, juga harus dilakukan dengan bahasa Arab. Sholat tidak sah apabila dilakukan dengan bahasa lain, bukan bahasa Arab. Selanjutnya, perlu dikemukakan pula bahwa kendati pun doa-doa di dalam Islam boleh dilakukan dengan bahasa selain bahasa Arab, namun kenyataannya kebanyakan doa dilakukan juga dengan bahasa Arab.

Berbagai ilmu pengetahuan Islam yang meliputi tafsir, fikih, ushul fikih, ushuluddin, hadis, dan ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan agama Islam kebanyakan juga ditulis dalam bahasa Arab. Kendati pun al-Qur‘an maupun hadis serta buku-buku tersebut juga telah diterjemahkan ke berbagai macam bahasa di dunia ini, namun seseorang belum dapat dikatakan alim atau berpengetahuan luas tentang masalah-masalah agama, kalau tidak menguasai bahasa Arab. Maaf, di sini penulis tidak ingin mengajarkan agama Islam itu sendiri, namun pembicaraan eratnya kaftan antara bahasa Arab dan Islam pasti akan mencakup hal-hal tersebut.

Karena eratnya kaitan antara Islam dan bahasa Arab, maka wajarlah apabila dikatan ke mana Islam tersebar ke sana pula bahasa Arab tersiar. Begitu pula halnya penyebaran agama Islam ke Indonesia dengan pengaruhnya terhadap berbagai aspek kehidupan, di antaranya dalam bidang bahasa dan sastra, maka bahasa Arab ikut pula berpengaruh terhadap kedua aspek kehidupan tersebut.

3. Teori Masuknya Islam ke Indonesia dan Relevansinya untuk Pembahasan Ini
Deretan panjang para ahli telah melahirkan teori, melengkapi dan bahkan menolak serta memberikan elaborasi tentang masuknya Islam ke Indonesia. Perdebatan panjang para ahli berkisar kepada tiga masalah utama, yakni tempat asal kedatangan Islam, siapa pembawanya, dan kapan kedatangannya.

Pijnappel berpendapat bahwa Islam datang dari Gujarat dan Malabar. Pendapat ini kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje dengan menambahkan nahwa Islam datang dari Muslim Deccan, didakwahkan oleh para sayyid (syari). Moquette menyatakan bahwa Islam datang dari Gujarat. Pendapat Moquette yang mendasarkan pada batu nisan makam Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419 di Gresik) yang berasal dari Gujarat, dibantah oleh Fatimi yang menyatakan bahwa Islam datang dari Bengal (Azra, 1994: 24).

Teori yang dikemukakan oleh Fatimi ternyata ditentang oleh Kern, Winstedt, Bousquet, Vlekke, Gonda, dan Hall yang mendukung teori Moquette. Selanjutnya, teori Gujarat dan Bengal ditolak oleh Marrison dengan menyatakan bahwa pada masa Islamisasi Pasai, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Teori Marrison ini kelihatannya mendukung pendapat Arnold yang menyatakan Islam datang dari Coromandel dan Malabar dengan melihat kesamaan mazhab yang dianut, yakni mazhab Syafii (Azra, 1994: 25).

Selanjutnya, Crawfudt mengemukakan teori bahwa Islam datang langsung dari Arab¾pendapat ini sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Hamka, Hasmy, dan Al-Attas, sedangkan Keijzer menyatakan bahwa Islam datang dari Mesir, berdasarkan kesamaan mazhab yakni Syafi‘i. Teori Arab ini didukung juga oleh Niemann dan de Hol lander, namun ia menyatakan Islam datang dari Hadramaut. Pendukung gigih teori Arab dan penentang teori India adalah Naguib al-Attas. Selanjutnya, sangat penting dikemukakan untuk pembahasan ini adalah teori Johns yang menyatakan bahwa Islam datang ke Indonesia melalui para sufi yang telah berhasil mengislamkan sejumlah besar penduduk Nusantara, setidaknya sejak abad ke- 13.

Elaborasi Azra mengenai teori-teori tentang masuknya Islam ke Indonesia melahirkan empat kesimpulan. Pertama, Islam dibawa langsung dari Arabia. Kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru dan penyiar profesional. Ketiga, yang mula-mula masuk Islam adalah para pejabat. Dan keempat, kebanyakan para penyebar Islam ini datang ke Nusantara pada abad ke-12 dan 13. SeIanjutnya dinyatakan bahwa Islam sudah diperkenalkan di dan ke Nusantara pada abad-abad pertama hijriah, akan tetapi baru sesudah abad ke-12 pengaruh Islam mulai kelihatan nyata. Karena itu, proses Islamisasi nampaknya mengalami akselerasi antara abad ke-12 dan ke-16 (Azra, 1995: 30-31).

Mengutip pendapat al-Attas untuk memperjelas pemikiran Azra bahwa proses Islamisasi mengalami tiga fase perkembangan. Pertama, tahun 1200-1400 fikih memegang peranan utama. Kedua, tahun 1400-1700, tasawuf mulai berkembang. Ketiga, tahun 1700-selanjutnya, tasawuf dan syariah berkem bang bersama-sama (Al-Attas, 1969: 30).

Seperti dikemukakan di depan oleh Azra bahwa penyiaran Islam dilakukan oleh para profesional. Adapun daerah-daerah yang menjadi objek dakwah terutama meliputi daerah Melayu-Indonesia, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumbawa, dan Maluku. Penelitian Azra selanjutnya mengungkap banyaknya ulama MelayuIndonesia yang belajar di Haramain (Mekkah dan Madinah), pada abad ke-17 dan 18, sedangkan Hurgronje meneliti ulama Indonesia yang belajar di Haramain pada akhir abad ke-19.

Sangat menarik dikemukakan di sini bahwa Muslim Melayu-Indonesia dan para ulama Jawi yakni ulama yang datang dari kawasan Nusantara Jawi (Nabilah Lubis, 1991: 7) atau Jawah Ulema (Hurgronje, 1985: 70), dan Muslim-Jawa mempunyai kontribusi besar dalam perkembangan dakwah Islam. Di samping itu, sejak abad ke-17 telah terjadi hubungan keagamaan dan keilmuan. Kecenderungan intelektualkeagamaan yang sangat menyolok adalah perkembangan syariah dan tasawuf. Maka dari itu, kemudian lahirlah karya-karya monumental sastra keagamaan yang sangat kaya, bercorak syariah dan tasawuf yang diungkapkan dalam bahasa Melayu, bahasa Arab, maupun bahasa Jawa.

4. Khazanah Naskah Keagamaan: Melayu dan Jawa
a. Khazanah Sastra Keagamaan Melayu
Perkembangan intelektual Muslim Melayu-Indonesia pada kurun waktu yang lalu telah memberikan kontribusi yang besar terhadap pengayaan khazanah intelektual dalam bidang bahasa, sastra, dan agama. Pada bagian ini, akan dikemukakan sastra keagamaan dari khazanah lama tersebut.

Karya-karya sastra Melayu lama yang banyak mengandung unsur Islam dinyatakan oleh Yock Fang sebagai sastra keagamaan atau sastra Islam (1978: 187). Secara garis besar, sastra keagamaan ini dapat digolongkan menjadi tiga corak: sastra rekaan, sastra kesejarahan, dan sastra kitab (Chamamah, 1980: 149).

Sastra rekaan berupa cerita fiksi, pada umumnya dapat digolongkan ke dalam hikayat dalam arti sebenamya, ialah karya yang mengemukakan secara imajinatif tokoh-tokoh Islam rekaan, misalnya Hikayat Banjar, Hikayat Raja Handak, Hikayat Raja Jumjumah, dan sebagainya.

Sastra kesejarahan ialah karya sastra yang di dalamnya tercermin peristiwa-peristiwa sejarah, yakni sejarah penyebaran Islam serta raja-raja Islam, misalnya Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Iskandar Dzulkamain, Hikayat Muhammad Hanafiah, Hikayat Saif Dzul-Yazan, dan lain-lain.

Sastra Kitab adalah karya sastra yang isinya berkisar pada masalah-masalah keislaman. Pada mulanya yang menyebutkan kitab sebagai ragam sastra adalah Hooykaas dan Emeis, serta Brakel dan juga A. Majid Ibrahim (Chamamah, 1980: 50). Isinya berkisar pada ajaran Islam yang bersumber pada ilmu fikih, tasawuf, ilmu kalam dan tarikh, serta tokoh-tokoh historis. Winstedt menyatakan bahwa karya tulis bukan rekaan tergolong ke dalam jurisprudensi, teologi, dan sejarah Islam. Karangan tersebut berisikan fikih (hukum) yang mengemukakan doktrin-doktrin dari kewajiban Islam, usul, dogma, dan tasawuf serta mistik.

Termasuk dalam sastra kitab ini adalah karya-karya Nuruddin ar-Raniri, Abdush-Shamad al- Falimbani. Karya-karya Nuruddin adalah Hujjatush-Shiddiq, Thibyan fi Ma‘rifatil-Adyan, AsrarulInsan fi Ma‘rifatir-Ruh wa‘r-Rahman, Ma‘ul-Hayat li ahlil-Mamat, dan sebagainya. Karya-karya Nuruddin tersebut mengungkapkan masalah tasawuf yang dikenal dengan tasawuf muwahhidah, atau tasawuf ortodoks (Johns, 1959: 153) yang dianggap benar. Adapun karya- karya Hamzah Fansuri adalah Muntahi, Asrarul-Arifin, Syarabul-Asyikin, At-Tuhfatul-Mursalah ilar-Ruhin Nabi, dan sebagainya, sedangkan karya-karya Syamsuddin As-Samatrani antara lain Ushuluddin dan Tahqiq, Mir‘atul-Qulub, Mir‘atul-Mukminin, Mir‘atul-lman dianggap sebagai karya tasawuf yang menganut paham wujudiyah mulchidah atau heterodoks (Johns, 1959: 153) yang terpengaruh oleh ajaran Panteisme Ibn Arabi dan dianggap sebagai ajaran yang sesat dan menyimpang dari ajaran Islam (Baroroh-Baried, 1985: 106).

Corak sastra keagamaan tersebar luas bersama penyebaran Islam, tidak hanya di Melayu dan dalam sastra Melayu saja, melainkan di daerah Indonesia lainnya seperti di Jawa. Isinya meliputi teks-teks yang berhubungan dengan renungan mistik, kumpulan doa-doa yang berhubungan dengan Islam, dan buku-buku didaktik yang berhubungan dengan etika Islam.

Naskah Melayu ribuan jumlahnya, namun tidak diketahui dengan pasti jumlahnya secara tepat. Chamber Loir, ahli perpustakaan bangsa Prancis memperkirakan sekitar 4000 buah naskah berdasarkan berbagai katalogus dan jumlah ini tersebar di 27 negara. Ismail Husain memperkirakan ada sekitar 5000 naskah Melayu dan lebih kurang seperempatnya berada di Indonesia dan terbanyak berada di Jakarta (Chamamah, 1974: 20).

Sastra kitab dari khazanah naskah Melayu lama tersebut banyak yang judulnya berbahasa Arab, bahkan banyak pula yang ditulis dengan bahasa Arab. Selain itu, perlu dikemukakan di sini bahwa kendatipun sastra keagamaan tersebut ditulis dengan bahasa Melayu dengan huruf Jawi, namun biasanya eksordiumnya atau formula pembukanya ditulis dengan bahasa Arab yang bentuknya menyerupai bentuk mukadimah khutbah (Roosdi, 1965: 85 via Chamamah, 1979: 6). Di samping itu, isinya sering mengutip ayat-ayat al-Qur‘an maupun hadis Nabi, dan sering pula ditemukan kata-kata mutiara dari para ulama dalam bahasa Arab.

b. Khazanah Sastra Keagamaan Jawa
Sejak kedatangan Islam di Jawa kira-kira sebelum abad ke 15 dan kurun waktu sesudahnya Islam mulai berpengaruh terhadap masyarakat Jawa pada umumnya. Pada tahun 1500, telah nampak bah wa sebagian penduduk Jawa mengikuti tasawuf. Aliran tasawuf ini terlihat sangat kuat. Pada abad ke 16-17, mulai nampak bahwa aliran ini terpengaruh oleh Panteisme. Hal ini nampak pada khazanah tulisan-tulisan dari abad tersebut yang kebanyakan membicarakan perdebatan antara pengikut ajaran tasawuf ortodoks dan yang heterodoks (Pigeaud 1967: 78 dalam Baroroh, 1983: 3).

Sastra Jawa yang berisi ajaran tasawuf cukup banyak jumlahnya. Karya sastra ini lazim disebut dengan sastra suluk Jawa. Sastra suluk Jawa ini berkembang dari pesisir utara pulau Jawa, khususnya dari Pantai Gresik kemudian ke Demak dan Cirebon, dan baru kemudian berkembang ke pedalaman di lingkungan pesantren. Berhubung asal suluk ini dari daerah pesisir dan sangat berkembang di pesantren, maka kemudian muncullah untuk penamaan jenis khazanah sastra ini dengan nama sastra Jawa Pesisir atau sastra Jawa Pesantren (Hutomo, 1990: 3 dalam Marsono, 1991: 10). Bentuknya biasanya puisi tembang macapat.

Karya-karya tersebut dengan sendirinya banyak mengandung ajaran-ajaran Islam dan kebanyakan ditulis pula dengan huruf Arab Pegon. Daftar sastra suluk telah dikumpulkan oleh Sugiarto dalam Suluk Lisjt, jumlahnya tidak kurang dari 375 buah. Khazanah sastra keagamaan Jawa tersebut banyak pula yang tersimpan di negeri Belanda. Khazanah kesusasteraan tersebut baru sebagian kecil saja yang pemah diteliti dan diterbitkan (Stenbrink, 1980: 208-222).

5. Khazanah Naskah Arab
a. Khazanah Naskah Arab-Jawi
Johns (1988: 258 via Nabilah Lubis, 1991: 7) menyatakan bahwa bahasa Arab pada abad ke-17 menjadi basis untuk karangan-karangan bersifat keagamaan di Melayu. Teks-teks bertuliskan Arab dan penjelasannya diberikan secara lisan dalam bahasa Melayu. Inilah salah satu sebab yang memperkaya khazanah pernaskahan Arab di Indonesia.

Sejak abad ke-17 terjadi kenaikan cukup besar dalam jumlah naskah yang tertulis dalam bahasa Arab. Penggerak utamanya adalah para Jawi. Di antara mereka adalah Abdur-Rauf Singkel, Abdush-Shamad al-Falimbani, Syeikh Nawawi Banten, Syeikh Yusuf Makasar, Khatib Sambas, Ismail Minangkabau, Muhammad Garut, Abdul Gani Bima, dan lain-lain (Hurgronje, 1985: 70-71). Hampir setiap daerah diwakili oleh para Jawi (Nabilah, 1991: 8).

Setelah para Jawi pulang ke tanah air, mereka mengajarkan ilmu yang diperoleh dari Haramain (Mekkah dan Madinah). Mereka menyusun karya-karya keagamaan dalam bahasa Arab. Jumlah naskah yang mereka susun diperkirakan sekitar 400-500 buah (Husein, 1974: 12 via Nabilah Lubis, 1991: 15). Karya-karya tersebut dapat diketahui dengan melihat University of Leiden and Other Collection in The Netherland, susunan P. Voor ho-eve, (The Hague: Leiden University Press 1880). Selain itu, dapat diketahui pula lewat katalogus susunan Friederich dan LWC Van Den Berg (1873), Codium Arabicorum in Bibliotheca Societatis Artium et Scientarum Quae Bataviae Floret Asservatorum Catalogum, (Batavia: The Hague: Wijt & Nijh off).

Apabila terhadap naskah-naskah Melayu dan Jawa relatif telah banyak dilakukan penelitian, terhadap naskah-naskah Arab tersebut penelitian masih terbatas pada beberapa naskah saja. Sebagai contoh, penelitian tersebut dilakukan oleh A.H. Johns terhadap at-Tuhfa al-Mursalah, Peunoh Daly terhadap Mir‘atut-Thulab dengan judul Konsepsi Nikah Talak Rujuk dan Hadanah. Khatib Qazwin meneliti pemikiran Abdu‘sh-Shamad Al-Falimbany (1984) dan Salman Harun dengan penelitiannya terhadap Tafsir Tarjuman al-Mustafid karya Abdur-Rauf Sinkel (1988). Pada tahun 1991, Nabilah Lubis meneliti karya Syeikh Yusuf al-Makasari dengan judul, Suntingan Naskah Zubdat al-Asrar fi Ba‘d Masyarib al-Akhyar karya Syeikh Yusuf Al-Taj. Dengan demikian, diketahui bahwa masih banyak naskah Arab yang disusun di Indonesia yang masih belum diteliti.

b. Khazanah Kitab Kuning
Penelitian lengkap mengenai kitab-kitab klasik untuk pengajaran agama Islam yang ditulis beberapa abad yang lalu dan lazim dikenal dengan sebutan kitab kuning, barangkali adalah apa yang dilakukan oleh Martin van Bruinessen (1995), berjudul Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Kitab-kitab klasik berbahasa Arab tersebut sudah dikenal dan dipelajari sejak abad ke-16, dan jumlah kitab klasik tersebut terbatas.

Kitab-kitab kuning dari ulama-ulama masa silam tersebut meliputi semua bidang keagamaan, seperti ushul fikih, kitab fikih, kitab tata bahasa Arab, tajwid, logika, kitab akidah (ushuluddin dan tauhid), kitab tafsir al-Qur‘an, kitab hadis, dan ilmu hadis, kitab tasawuf dan akhlaq, dan Kitab Sirah Nabi Muhammad SAW.

Ilmu yang terkandung pada kitab kuning tersebut dianggap sesuatu yang sudah bulat dan tidak dapat ditambah, hanya bisa diperjelas dan dirumuskan kembali. Meskipun terdapat karya-karya baru, namun kandungannya tidak berubah (van Bruinessen, 1995: 17). Berbagai kitab tersebut banyak yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan Melayu.

Keterangan ataupun penjelasan berbagai kitab kuning dengan bahasa Jawa yang sering dikenal dengan istilah pensyarahan, telah banyak dilakukan misalnya dengan cara nadhoman seperti bentuk syair. Terjemahannya sering dilakukan dengan dua cara, pertama nadhoman (kemudian lazim dikenal istilah terjemahan nadhoman), dan kedua terjemahan jenggotan. Adapun istilah jenggotan ini maksudnya adalah terjemahan dengan memberikan keterangan tambahan kepada teks, dengan tulisan menjulur ke bawah seperti jenggot (Anwar, 1971: 127). Selain itu, perlu disebut pula di sini bahwa di kalangan pesantren dikenal juga istilah syi‘iran, yakni puisi-puisi keagamaan yang dilagukan.

Ragam dari sastra keagamaan Islam di Jawa berbentuk nadhoman, terjemahan nadhoman, serta syi‘iran yang sangat erat kaitannya dengan kitab-kitab kuning tersebut merupakan khazanah kesusas teraan tersendiri yang masih perlu diteliti sebab penelitian kepada hal-hal tersebut dari aspek sastranya masih jarang dilakukan.

6. Huruf Arab Melayu dan Pegon di Indonesia
a. Huruf Arab Melayu
Bahasa Melayu yang pada perkembangannya kemudian di Indonesia diangkat menjadi bahasa Indonesia, pernah ditulis dengan huruf Sumatra kuno, kemudian ditulis dengan huruf Arab (Hijaiyah) yang kemudian disebut huruf Jawi, dan selanjutnya sejak tahun 1901 ditulis dengan huruf Latin Ejaan Van Op Huysen.

Peninggalan bersejarah sebagai saksi meninggalnya Raja Pasai (781 H) yang diketemukan di Minye Tujoh Aceh, menunjukkan bahwa bahasa Melayu ditulis dengan huruf Sumatera kuno. Dalam peninggalan tersebut telah terdapat kata-kata Arab. Isi dari peninggalan tersebut adalah sebagai berikut:

Hijrah Nabi mungstapa yang parasida tujuh ratus asta puluh sawarsa haji catur dan dasa wara sukra raja iman warda rahmat Allah
gutra berubasa mpu hak kadah pasema taruk tasih tanah sumuha
ilahi ya rabbi tuhan samuha taruh dalam swarga tuhan.
artinya:
hijrah Nabi musthafa yang telah wafat tujuh ratus delapan puluh satu tahun bulan haji empat belas hari Jum‘at Raja iman rahmat Allah
dari Suku Burubasa yang berhak atas Kedah dan Pasai
menarun di laut dan di darat
llahi ya Rabbi Tuhan semesta
taruhlah baginda dalam surga Tuhan.

Dari peninggalan bertahun hijriah tujuh ratus delapan puluh satu tahun tersebut diketahui bahwa agama Islam telah berkembang di Pasai, namun pada peninggalan tersebut bahasa Melayu belum ditulis dengan huruf Arab. Peninggalan yang lebih tua bahkan menggunakan bahasa dan tulisan Arab, yakni peninggalan dari Blang Me Rasai sebagai berikut:

Al-Malik Maulana Abdurrahman tajuddaulati
shahibul-ma‘aly al-fasi al-mutawaffi yaumal-arbi‘a
al-hijrata Dzil-qa‘dah sittu mi‘ata ‘asyara.
Artinya,
raja Maulana Abdurrahman mahkota kedaulatan
wali tertinggi di Pasai yang wafat pada hari Rabu
tahun hijrah bulan Dzulka‘dah enam ratus sepuluh.

Di Kuala Berang Terengganu (Malaysia) terdapat batu bersurat segi empat dengan tulisan Arab bahasa Melayu dari tahun 1303 M. Mungkin inilah tulisan Arab Melayu tertua yang pernah dikete mukan.

Lama sesudah peninggalan tersebut dikenal hasil karya sastra yang ditulis dengan huruf Arab Melayu misalnya Tajussalatin (1603), Bad‘u Khalqissamawati wal-Ardhi (1637), Bustanussalatin (1638), dan masih sangat banyak lagi lainnya.

Seperti disinggung di depan bahwa khazanah sastra Melayu lama meliputi jumlah yang cukup besar. Di antaranya adalah khazanah sastra keagamaan (Islam) yang cukup besar jumlahnya itu ditulis dengan huruf Jawi, yakni huruf yang berasal dari huruf Arab (Hijaiyyah) dengan penambahan tanda-tanda diakritik sesuai dengan kebutuhan karena adanya perbedaan vokal maupun konsonan Arab dan Melayu. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa huruf Jawi ini telah mempunyai jasa besar dalam mengomunikasikan khazanah intelektual Muslim Melayu-Indonesia. Karya-karya besar para sastrawan, ulama, penyair dari kurun waktu yang sangat lama sampai abad ke-20 ditulis dengan huruf Jawi ini.

Perumusan kaidah-kaidah yang berlaku pada penulisan bahasa Melayu dengan huruf Arab telah banyak dilakukan antara lain adalah karya M.B. Lewis (1958) berjudul, A Handbook of Malay Script: With Passages for Reading and a List of Commonly-Used Arabic Word. Karya lain yang menyangkut hal tersebut dilakukan oleh A Latif (1939) berjudul Pemimpin bagi Goeroe-goeroe Oentoek Mengajarka‘n Hoeroef Arab (Melajoe) di Sekolah Rendah Boemi Poetera. Gorningen Wolters, dan juga disusun oleh A Rosadi dan RM Suhud (1960) terbitan Percetakan Pelajar, Bandung, berjudul Tjara Menulis Huruf Arab Melaju untuk bahasa Indonesia, dan susunan Zuber Usman (1961) terbitan Pradnja Paramita, Jakarta berjudul Kitab Pemimpin Lembaga untuk Guru-guru yang Akan Mengajarkan Huruf Arab Melaju. Dari pengamatan terhadap Bibliografi Bahasa Indonesia (1975) dijumpai 28 buah karya yang berkaitan dengan kaidah penulisan bahasa Melaju dengan huruf Arab (Jawa).

Pedoman-pedoman yang ada sebenarnya barulah merupakan penolong awal untuk dapat membaca naskah karena perumusannya dilakukan dengan pengamatan terhadap hal-hal yang biasanya dilakukan oleh para penulis naskah. Dalam kenyataan penulisan yang didapatkan pada berbagai naskah terlihat ada berbagai variasi. Untuk itu telaah terhadap naskah yang berbeda-beda memerlukan kejelian tersendiri untuk merumuskan cara penulisan yang berlaku pada naskah yang bersangkutan.

Di samping itu, pada naskah tulisan tangan, biasanya juga didapatkan perbedaan penggunaan jenis-jenis huruf Arab yakni tulisan naskhi, riq‘i, dan tsulutsi. Jenis naskhi biasanya dipergunakan untuk tulisan pada umumnya. Tulisan riq‘i digunakan untuk penulisan cepat. Adapun jenis tsulutsi yang indah dipergunakan untuk judul-judul naskah. Meskipun kaidah baru dengan penambahan tanda diakritik berkaitan dengan adanya perbedaan vokal maupun konsonan pada bahasa Arab dan Melayu, namun jenis tulisan yang dipakai masih juga sama, tidak ada jenis tulisan baru model Melayu.

Penelitian yang memadai terhadap kaidah penulisan dan jenis tulisan yang dipakai untuk penulisan naskah juga belum banyak dilakukan. Telaah terhadap hal tersebut biasanya baru dilakukan secara selintas saja pada berbagai skripsi di bidang filologi.

b. Huruf Pegon
Huruf Arab yang dipakai untuk menuliskan bahasa-bahasa Jawa, biasanya dikenal dengan nama pegon. Selain itu, tulisan Arab juga dipakai untuk menuliskan bahasa Aceh, Sunda, Minang, serta Madura.

Kata pegon berasal dari bahasa Jawa pego artinya tidak lazim dalam mengucapkan bahasa Jawa. Hal ini mungkin disebabkan karena banyaknya kata Jawa yang ditulis dengan tulisan Arab dan menjadi aneh ketika diucapkan (Kromopawiro, 1867: 1). Menurut Pigeaud (via Pudjiastuti, 1994: 3), teks Jawa yang ditulis dengan aksara Arab disebut teks pegon artinya, sesuatu yang berkesan menyimpang. Penamaan ini mungkin disebabkan karena jumlah aksara yang diparalelkan dengan aksara Jawa lebih sedikit dari aksara Arab yang mejadi dasarnya. Perlu ditegaskan di sini mengapa menjadi aneh, pego dan menyimpang, tentu saja yang paling tepat, bahasa Jawa ditulis dengan aksaranya sendiri yakni aksara Jawa.

Hampir semua khazanah keagamaan Jawa yang tersebut di depan yakni sastra suluk, dan pensyarahan kitab kuning dengan cara nadhoman, terjemahan nadhoman, terjemahan jenggotan mau pun jenis sastra berbentuk syi‘iran ditulis dengan tulisan pegon. Namun, penulisan bahasa Jawa dengan pegon tidak terbatas saja pada khazanah naskah keagamaan, tetapi pegon juga dipakal untuk penulisan pada umumnya, terutama di kalangan pesantren. Seperti halnya tulisan Jawi, pegon juga memakai jenis naskhi, tsuluts,i dan tidak ada jenis tulisan Arab model Jawa. Selain itu, perlu diketahui juga bahwa pegon mengenal dua macam variasi, yakni pegon berharakat dan pegon gondhil (tak ber harakat).

7. Penutup
Memperhatikan bahwa khazanah keagamaan Islam, baik Melayu maupun Jawa sangat erat sekali kaitannya dengan bahasa Arab yakni banyaknya kata, ungkapan, istilah, kata mutiara dari ulama, dan ayat al-Qur‘an, hadis Nabi yang terkandung di dalamnya, serta penggunaan tulisan Arab untuk penulis an bahasa Melayu dan Jawa, maka seharusnyalah bahasa Arab dikuasai untuk telaah pada bidang-bidang tersebut. Selain itu kaligrafi Arab yang mencakup tentang berbagai jenis tulisan Arab juga perlu dikuasai.

-

Arsip Blog

Recent Posts