Pemaknaan Indonesia Raya dalam Konteks Kekinian

Oleh: Bambang Budi Utomo

Pengantar
Baru-baru ini ramai diberitakan media massa, baik cetak maupun elektronik, tentang ditemukannya stanza 2 dan stanza 3 dari lagu kebangsaan kita Indonesia Raya. Dalam kesempatan ini saya tidak mau meributkan “temuan” tersebut, karena sudah sejak duduk di bangku Sekolah Ra’jat (tahun 1962) saya sudah diajarkan oleh guru saya, encik Hasanah dan engku Salim. Kebanyakan murid yang baru bisa nyanyi merasa kesulitan dalam menyanyikan stanza1 2 dan 3. Ma’lum, kata-katanya agak sulit untuk dinyanyikan. Biarlah orang pada ribut dan semoga segera menyadari bahwa apa yang diramaikan itu tidak ada gunanya.

Pada hakekatnya banyak hal yang dilupakan dari pesan yang tersirat di balik kata-kata penuh semangat dari lagu kebangsaan itu. Melalui makalah sederhana ini saya ingin menelaah pesan-pesan yang “dilupakan” oleh banyak orang. Tentunya pesan-pesan tersebut dikaitkan dalam konteks kekinian.

Pada abad ke-21 ini, atau tepatnya sejak memasuki era reformasi, pemaknaan lagu kebangsaan Indonesia Raya bagi sebagian masyarakat Indonesia sangat kurang. Layaknya lagu kebangsaan hanya sekedar embel-embel perangkat sebuah negara. Karena kurangnya pengertian terhadap pemaknaan, maka dinyanyikannya pun “sembarang” waktu dan tempat.

Sebelum reformasi, seingat saya tidak pernah dinyanyikan pada waktu demo menuntut sesuatu kepada pemerintah. Apalagi dinyanyikan tidak dengan suatu penghormatan. Ditelusuri dari sejarahnya, lagu kebangsaan Indonesia Raya untuk pertama kalinya diperdengarkan pada 27-28 Oktober 1928 ketika berlangsung Kongres Pemuda Indonesia II di Jakarta. Perkenalan Indonesia Raya dibawakan langsung oleh penciptanya W.R. Supratman bersamaan dengan diperkenalkannya bendera Merah Putih sebagai bendera pusaka bangsa Indonesia. Teks lagu untuk pertama kalinya dipublikasikan oleh surat kabar Sin Po. Kemudian pada 26 Juni 1958 dikeluarkan PP No. 44 tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.

Indonesia Tanah Airkoe
Tanah Toempah Darahkoe
Disanalah Akoe Berdiri
Djadi Pandoe Iboekoe
Indonesia Kebangsaankoe
Bangsa dan Tanah Airkoe
Marilah Kita Berseroe
Indonesia Bersatoe
Hidoeplah Tanahkoe
Hidoeplah Negrikoe
Bangsakoe Ra’jatkoe Sem’wanja
Bangoenlah Jiwanja
Bangoenlah Badannja
Oentoek Indonesia Raja
Reff:
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahkoe Negrikoe
jang Koetjinta
Indonesia Raja
Merdeka Merdeka
Hidoeplah Indonesia Raja

Versi berkutnya

Indonesia Tanah jang Moelia
Tanah Kita jang Kaja
Di Sanalah Akoe Berdiri
Oentoek Slama-lamanja
Indonesia Tanah Poesaka
Poesaka Kita Semoeanja
Marilah Kita Mendo’a
Indonesia Bahagia
Soeboerlah Tanahnja
Soeboerlah Djiwanja
Bangsanja Ra’jatnja
Sem’wanja
Sadarlah Hatinja
Sadarlah Boedinja
Oentoek Indonesia Raja
Reff:
Indonesia Tanah Jang Soetji
Tanah Kita Jang Sakti
Di Sanalah Akoe Berdiri
‘Njaga Iboe Sedjati
Indonesia Tanah Berseri
Tanah Jang Akoe Sajangi
Marilah Kita Berdjandji
Indonesia Abadi
Slamatlah Ra’jatnja
Slamatlah Poetranja
Poelaoenja, Laoetnja, Sem’wanja
Madjoelah Negrinja
Madjoelah Pandoenja
Oentoek Indonesia Raja

1. Tanah Air

Bangsa barat yang merantau menyebut tanah kelahirannya homeland atau motherland yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia lebih tepat dikatakan bumi pertiwi atau ibu pertiwi. Istilah ini mungkin berasal dari pemu-jaan kepada Dewi Kesuburan yang sifatnya universal. Meskipun nenek moyang bangsa Indonesia juga mengenal pemujaan kepada Dewi Kesuburan, untuk menyebut tanah kelahirannya mungkin lebih tepat dengan istilah tanah air.

Istilah ini lebih tepat karena bangsa Indonesia yang berbeda-beda sukubangsa mendiami pulau-pulau yang dikelilingi oleh laut dan selat. Kepulauan Indonesia mempunyai posisi yang strategis. Tidak saja karena berada di antara dua benua, Asia dan Australia, tetapi juga karena kepulauan ini terletak di antara dua samudra, Pasifik dan Indonesia. Posisi ini membuat Kepulauan Indonesia menjadi tempat persilangan budaya dalam pergaulan antarbangsa di kawasan ini. Bahkan, di jaman purba kawasan ini menjadi daerah perambahan yang menantang manusia untuk menjelajahinya. Ketika permukaan air laut turun, pada jaman es, pulau-pulau di kawasan barat bergabung dengan daratan Asia menjadi Paparan Sunda, sedangkan di kawasan timur Pulau Irian dan Aru bergabung dengan Daratan Australia menjadi Paparan Sahul. Di antara dua daratan luas itu, terdapat Zona Wallacea yang ditempati oleh Pulau Sulawesi dan pulau-pulau kecil lainnya yang kini termasuk wilayah Maluku dan Nusatenggara. Sepanjang sejarah, Zona Wallacea tidak pernah bergabung dengan Paparan Sunda maupun Paparan Sahul, dan selalu dikelilingi oleh lautan dalam. Karena itu, kawasan ini sering dianggap sebagai “penghalang” persebaran manusia purba. Namun, hasil penelitian arkeologis di Zona Wallacea menunjukkan kawasan ini ternyata telah dihuni oleh manusia purba sejak sekitar 800.000 tahun yang lalu, sebagaimana dibuktikan dengan temuan alat-alat batu purba bersama-sama dengan fosil gajah purba, Stegodon kerdil di Flores.

Temuan ini sekaligus memastikan bahwa pada kala itu manusia purba Homo erectus di Indonesia telah mempunyai kemampuan melintasi laut-laut di antara pulau-pulau hingga tiba di Flores. Diduga, Homo erectus telah mampu merakit bambu menjadi perahu sederhana untuk menyeberanginya. Republik Indonesia merupakan negara kepulauan dengan beragam suku, bahasa, dan budayanya. Secara fisik antar satu budaya dan budaya lain dipisahkan oleh laut. Namun kalau kita melihat dari sisi kemaritiman pemisahan itu tidak pernah ada, karena seluruh perairan yang ada di Nusantara adalah sebagai pemersatu yang mengintegrasikan ribuan pulau yang terpisah-pisah itu. Dalam proses perkembangannya tingkat integrasi dapat berbeda-beda baik secara geografis maupun secara politis, ekonomis, sosial dan kultural.

Di negara yang disebut Indonesia itu berdiam sebuah bangsa besar yang mendiami wilayah dan negara kepulauan, bangsa yang multi kultur dimana ada dua kelompok kehidupan, yaitu kelompok masyarakat yang mendiami wilayah pesisir dan kelompok masyarakat yang mendiami wilayah pedalaman. Kedua kelompok masyarakat ini, sadar atau tidak sadar bahwa mereka hidup dalam sebuah ketergantungan akan laut. Semuanya itu kembali pada konsep hidup dan kesadaran ruang hidup yang berasal dari heterogenitas tadi.

Kemudian dalam sejarahnya, ada juga tercatat antagonis hasrat untuk saling mengendalikan dari kedua kelompok besar itu sendiri. Kelompok yang tinggal di darat berusaha untuk mengendalikan pesisir dengan segala upaya untuk mendapatkan hasil dari laut, dan juga sebaliknya. Laut adalah ajang untuk mencari kehidupan bagi kedua kelompok masya-rakat. Dari laut dapat dieksploitasi sumberdaya biota dan abiota, serta banyak kegiatan kemaritiman yang menjanjikan dan mempesona. Inilah yang mendorong kedua kelompok masyarakat itu menuju laut.

Pada mulanya bertujuan mencari hidup dan mempertahankan hidup. Pada akhirnya bertujuan mengembangkan kesejahteraan, atau dengan kata lain membangun kejayaan dan kekayaan dari kegiatan kemaritiman. Fenomena ini pada akhirnya membentuk karakter bangsa pelaut, seperti lahirnya Kadatuan Sriwijaya, Kerajaan Malayu, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Makassar. Laut dapat dikatakan media pemersatu karena melalui laut orang dari berbagai bangsa melakukan interaksi dengan berbagai macam aktivitas.

Melalui laut orang dari berbagai bangsa menjalankan aktivitas perekonomian melalui “jasa” pelayaran antar benua atau antar pulau. Sejak awal tarikh masehi, laut Nusantara telah diramaikan oleh kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia. Dengan sarana transportasi air itu, komoditi perdagangan dibawa dari satu tempat ke tempat lain untuk diperdagangkan. “Nenek moyangku orang pelaut. Gemar mengarung luas samudra” Sepenggal lagu anak-anak ini pada tahun 1960-an sering dinyanyikan oleh anak-anak Sekolah Ra’yat. Seiring dengan “ke daratnya” orang, lagu yang mengingatkan kita sebagai bangsa bahari ini mulai jarang dinyanyikan. Artinya orang sudah mulai melupakan akar budayanya. Orang sudah mulai melupakan laut. Hanya orang-orang yang hidup kesehariannya di laut yang tidak lupa laut.

Lihatlah betapa banyak korban yang sedang bertamasya di pantai ketika tsunami melanda Aceh hanya karena kurangnya pengetahuan tentang perilaku laut. Wawasan Nusantara memandang laut sebagai satu keutuhan wilayah, dengan darat udara, dasar laut, dan tanah di bawahnya, serta seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya yang tidak mungkin dipisah-pisahkan. Jadi, ketika orang mulai “menjauhi” laut, maka mulai terpisahlah bangsa ini. Padahal melihat sejayah penyebarannya, mayoritas sukubangsa yang ada di Nusantara ini berasal dari satu induk, yaitu rumpun Austronesia.

2. Kearifan Menjaga Pusaka

Negara Kepulauan yang disebut Indonesia merupakan suatu rahmat Allah dikaruniai tanah yang kaya dan subur. Kaya akan barang tambang di dalam buminya, dan kaya akan hasil hutan dan ladang di muka buminya, serta kaya akan hasil laut di perairannya. Itulah pusaka yang dimiliki bangsa ini. Keadaan ini sudah lama diketahui oleh bangsa-bangsa di dunia. Sejak awal tarikh Masehi banyak para pengembara dan pedagang yang datang ke Nusantara untuk menca-ri barang komoditi yang laku dijual. Pusaka bangsa Indonesia –termasuk lingkungan hidupnya—sejak awal peradaban manusia yang menghuni Nusantara, sadar atau tidak telah dikelola dengan baik dengan “perangkat” kearifan yang dimiliki oleh anak bangsa ini.

Aturan tidak tertulis yang diterjemahkan melalui naluri dan akal dimanfaatkan untuk menjaga kelestarian alam, di samping mereka memanfaatkan alam untuk mencari makan dan bertahan hidup. Saya mengambil contoh kearifan mengelola lingkungan pada masyarakat agraris dan masyarakat nelayan yang kedua kelompok ini “mendominasi” tanah air.

2.1 Masyarakat Agraris
Masalah pengelolaan lingkungan sudah sejak dulu diperhatikan orang. Bagi nenek moyang kita, masalah ini bukan merupaka hal baru. Mereka mempunyai kearifan tersendiri dalam mengelola lingkungan hidupnya. Salah satu teknologi jitu untuk mengelola lingkungan untuk tanaman pangan adalah sitem pertanian sawah dengan irigasi. Nenek moyang bangsa Indonesia sudah tahu bagaimana cara mengelola tanah yang subur, dan juga mengetahui bagai-mana cara yang efektif untuk menjaga tingkat kesuburan sambil mempertahan-kan hasil.

Manusia yang tinggal di daerah yang subur serta dekat dengan air, akan membuat areal persawahan dengan pengairan. Dengan kearifannya mereka menanggapi lingkungan alamnya. Mereka menyadari bahwa air dalam dinamika sawah cukup banyak mengandung zat hara yang sangat berguna bagi kesuburan tanah. Air berfungsi sebagai pupuk alami. Oleh sebab itu areal persawahan di daerah lereng dan kaki gunung api, serta di daerah aluvial dapat bertahan dari dulu sampai sekarang.

Sistem pengairan sawah yang teratur membuktikan adanya tata masyarakat yang teratur pula. Tata masyarakat yang teratur terlihat dengan adanya organisasi pemerintahan pada sebuah desa. Beberapa buah prasasti dari sekitar abad ke-8-9 Masehi menginformasikan adanya pejabat-pejabat desa yang berurusan dengan pengelolaan lingkungan hidup, antara lain hulu air yang tugasnya pengatur pengairan (sawah), tuhalas tugasnya mengawasi hutan, makalangkang tugasnya mengurusi lumbung desa, dan wariga tugasnya menghitung hari baik bulan baik.

Dalam sebuah negara agraris, sawah merupakan harta yang paling berharga dan merupakan sumber penghasilan kerajaan. Karena itu, secara hukum harta tersebut harus dilindungi oleh Undang-undang. Pasal 259 Undang-undang Agama menyebutkan hukuman bagi orang yang membiarkan sawah terbengkalai (lahan tidur), yaitu dituntut untuk membayar makan sebesar hasil padi yang dihasilkan dari tanah yang ditelantarkan. Pada pasal 260 tuntutan hukum bagi yang membakar sawah, yaitu sebesar lima kali lipat hasil padi yang dibakar dan diberikan kepada pemilik sawah ditambah denda uang dua laksa.

Adanya jabatan semacam mantri kehutanan (tuhalas) pada masa lampau, tentu ada hutan serta isinya yang perlu diawasi. Undang-undang Agama pasal 64 menyebutkan ketentuan denda yang harus dibayar oleh orang yang berburu di hutan larangan. Pasal 82 menyebutkan jenis pohon yang tidak boleh ditebang dan sanksi hukum dan denda yang harus dibayar oleh yang menebang. Pasal 92 menyebutkan hukuman mati bagi orang yang menebang pohon di malam hari. Lain halnya di daerah yang kurang subur tanahnya, daerah erratic rainfall (daerah yang curah hujannya tidak menentu), daerah berbukit, dan hutan. Teknik pertanian yang dikembangkan adalah pola perladangan berpindah dan permanen.

Di Timor dikenal dua jenis persiapan lahan yang disebut lere rai dan fila rai. Menghindari resiko menghadapi musim kemarau yang panjang mereka memilih jenis tanaman yang berbeda kebutuhan airnya, dan berbeda panennya. Keadaan tanah maupun topografi menentukan pilihan orang untuk melakukan salah satu dari keduanya. Lere rai biasanya dilakukan pada daerah yang masih berhutan dengan menebang, menanami lahan, dan berpindah.

Sedangkan fila rai yang dikerjakan secara intensif agak permanen dengan cara membakar semak dan menyiapkan lubang untuk tanamannya. Sisten fila rai tidak dapat dilakukan pada tanah yang melereng dan pada jenis tanah yang berpasir namun sangat efektif dalam memulihkan kelembaban tanah pada musim kemarau daripada lere rai.

Fila rai memerlukan tenaga kerja banyak. Kecenderungan yang terlihat bahwa kepadatan penduduk menyebabkan orang mulai membuat teras di lereng pegunungan mengubah sistem lere rai menjadi fila rai. Di sinilah awal mulai rusaknya sistem yang telah dibangun berabad-abad oleh nenek moyang. 2.2 Masyarakat Nelayan Berada di tepi pantai Laut Flores, masyarakat di Lamalera, Pulau Lembata (dahulu disebut Pulau Lomblen), Provinsi Nusa Tenggara Timur melakukan aktivitas penangkapan ikan paus dengan menggunakan peralatan serba tradisional. Peralatan dimaksud berupa layar, tali (yang dibuat dari benang kapas, daun gebang, dan serat kulit pohon waru), kafe yaitu tempuling atau harpoon, peledang (perahu) dari kayu, sampan, galah tempat menancapkan harpoon untuk menombak, alat untuk menggayung air, gentong air, maupun faye (alat untuk mendayung). Di tempat itu musim perburuan ikan-ikan besar, seperti ikan paus, pari, dan hiu dari berbagai jenis oleh masyarakat disebut sebagai musim lefa atau yang lebih dikenal dengan nama olanua (mata pencaharian). Proses ritual olanua dimulai sejak 1 Mei hingga 31 Oktober. Dengan masuknya agama Katolik pada tahun 1886 di Lamalera, prosesi ritual tradisi ini mendapat bentuk baru dengan upaya inkulturasi dari Gereja Katolik. Misalnya sebelum musim lefa atau olanua dimaknai dengan upacara misa di pantai, pemberkatan peledang oleh pastor, doa bersama, dan penggunaan air suci untuk kepentingan upacara bersih diri dari salah dan dosa. Tradisi ini diawali dengan upacara misa dan ceremoti, upacara tradisional dimana seluruh komponen masyarakat Kampung Lamalera duduk bersama di pantai bermusyawarah untuk membicarakan seluruh persoalan kampung, persoalan perburuan dengan berbagai tahapan yang mesti dilaksanakan dalam perburuan itu. Upacara olanua ini menjadi unik dan demikian menarik karena rentetan upacara dan segala macam ritual adat dan agama Katolik. Perjumpaan kedua aspek ini menjadi begitu kental dan akrab dalam seluruh proses kehidupan masyarakat Lamalera. Malam sebelum keesokan harinya mereka melaut, semua suku yang memiliki perahu berdoa di rumah adat (rumah suku) masing-masing. Mereka berbagi pengalaman dan mendengar petuah dari yang dituakan. Intinya masing-masing individu harus dapat menjaga ketenteraman, menjaga tutur kata, tidak boleh bertengkar dengan sesama, tetangga, dalam rumah tangga suami dan isteri, anak tidak ada perselisihan dan pertengkaran. Melanggar semua hal tersebut berarti kerja keras di laut tak membawa hasil.

Masyarakat Lamalera meyakini bahwa hubungan antara yang di darat dan di laut merupakan hubungan sebab akibat. Keduanya saling mendukung dan saling menentukan. Atamole sebagai ahli pembuat peledang di darat memiliki peran sendiri yang berbeda dengan lamafa, juru tikam di laut. Salah, keliru, atau bahkan lalai membagi hasil tangkapan juga akan membawa dampak buruk terhadap proses penangkapan ikan. Karena itu masyarakat Lamalera sangat menjaga hubungan itu jangan sampai ternoda atau tercela.

Seluruh hasil tangkapan ikan pertama-tama diperuntukkan bagi para janda, fakir miskin, dan para yatim piatu. Mereka mendapat tempat utama dalam seluruh prosesi perburuan ikan. Dalam setiap nyanyian adat, doa, dan permohonan dari nelayan, kehadiran para janda, fakir miskin, dan para yatim piatu menjadi tujuan utama dari seluruh karya mereka di laut. Dalam tradisi olanua ada aturan dimana masyarakat Lamalera mempunyai komitmen untuk tidak boleh menombak ikan paus atau ikan lain yang sedang bunting. Peran lamafa (juru tikam) dalam memilih objek yang hendak ditombak menjadi sangat penting. Filosofi di balik itu adalah untuk menjaga kelestariannya supaya ikan-ikan tersebut tidak punah. Masyarakat Lamalera meyakini bahwa dengan menangkap ikan paus, pari, dan berbagai jenis ikan besar lainnya dapat menghidupi seluruh masyarakat Lamalera, bahkan tradisi barter merupakan prinsip yang dianut oleh masyarakat Lamalera dan Pulau Lembata pada umumnya. Dalam keseharian ikan ditukar dengan jagung, padi, singkong, buah-buahan, dan berbagai komoditas pertanian lainnya. Diketahui bahwa dengan hasil hasil itu masyarakat Lamalera dapat menyekolahkan anak-anak mereka hingga perguruan tinggi.

-

Arsip Blog

Recent Posts