Oleh Hardi Hamzah
Kearifan budaya lokal, tak kita sadari tersekat dalam dimensi ruang dan waktu. Demikian Putu Wijaya mengiaskan di suatu media audio visual dalam diskusi Perampokan Malaysia terhadap Tradisi dan Kebudayaan.
Tampaknya Putu Wijaya benar, ini bila kita menarik garis tegas, bahwa liberalisasi politik dan globalisasi informatika tak terbendung adanya. Penulis kemudian mengingat Bung Koko (panggilan Sujatmoko, red) yang dalam bukunya Etika Pembebasan, mengkaji tradisi dan kebudayaan merupakan pijakan dasar untuk membangun negara bangsa.
Bung Koko, yang waktu itu sebagai Rektor Universitas PBB, lebih jauh mengingatkan kepada kita, bahwa Indonesia akan terpelanting di sudut yang paling sunyi terhadap arus besar globalisasi, bila kita tidak mampu mengantisipasi sekat-sekat itu. Pada gilirannya, masih menurut Bung Koko, sebagai bangsa kita akan kehilangan tradisi dan roh kebudayaan itu sendiri.
Bahwa, pemikiran yang digulirkan pada tahun 1956 itu kemudian terbukti setelah 53 tahun kemudian, tentu tidak mengejutkan. Namun, sebagai bangsa kita terkoyak dalam ketidaksepahaman terhadap ruang tradisi dan kebudayaan. Dimensi ruang dan waktu tanpa disadari terus menggerus kearifan budaya lokal yang hanya tertulis dalam huruf mati. Dan dalam kebanggaan di atas konsep GBHN yang menyebutkan kebudayaan nasional adalah puncak-puncak dari kebudayaan lokal, tokoh ini kemudian tidak juga menyadarkan kita, meski kita sudah dirampok.
Kalau kita meributkan "perampokan" oleh negeri jiran, ternyata kita tidak muhasabah terhadap diri kita sendiri. Sebab, sesungguhnya sudah lama kita merampok dan menggelincirkan kebudayaan kita lewat berbagai seremoni. Tengoklah, misalnya, beberapa kegiatan instansi hanya mengandung semangat proyek, menguatkan kocek para instansi untuk mentransformasikan kebudayaan melalui seni, apakah itu tari, teater kontemporer, dan seabrek lagi polah tingkah para birokrat melakukan perjalanan sebagai duta sambil mengulang-ulang kesenian yang tidak laku dijual. Meski dalam seremoni itu, ruang gerak terus mematut-matut kebudayaan dalam siklus proyek.
Konkretnya, para duta seni kita yang dibiayai negara, tanpa kreasi apa pun dengan perlambang menguatkan kesenian daerah, mereka ngeloyor menjadi duta yang hasilnya nonsens. Ini mungkin yang disebut Goenawan Mohammad (1976), tercecernya kesenian dan kebudayaan serta tradisi demi melegitimasi kekuasaan. Dan, tanpa disadari kita membolak-balik kebudayaan di luar horizon kebudayaan itu sendiri. Ironi memang.
Dalam suatu kesempatan yang tidak begitu signifikan, di tahun 1981 dan 1985, ketika penulis mengikuti Asean Cultural Meeting, jelas terlihat di Ubud, di Bromo, dan di Tawangmangu, sesungguhnya tidak ada sentuhan tradisi dan kebudayaan dalam pilar teras Indonesia yang jelas. Artinya, Ubud waktu itu dikuasai oleh seniman barat. Bromo, dihiasi dengan Suku Tengger yang tidak membudayakan entrepreneur, dan di Tawangmangu, penulis termangu-mangu melihat tumpang-tindih antara tradisi jaran kepang dengan luapan birahi kesenian keroncong yang tertinggal. Dan ironinya, suguhan kreoncong hanya untuk menghantar para PSK dan lelaki hidung belang memainkan instrumen birahi di atas kewibawaan para mucikari.
Proses-proses itu kemudian bergulir tanpa rasionalitas, semuanya berjalan dalam rentang waktu yang masih tetap mematut-matut seremoni sebagai resultante dari keinginan para birokrat. Maka, di manakah sebenarnya eksistensi tradisi dan kebudayaan Indonesia. Apakah ia hanya terbalut dalam wadah dan mangkuk besar yang pegang oleh kaum penguasa, ataukah ia tumpah akibat baskom tradisi dan kebudayaan tak kuat dipegang oleh para elite politik.
Dimensi ruang dan waktu, memang tak terjamah oleh tradisi dan kebudayaan, setidaknya ketika dua idiom ini, terpasung di era Soeharto. Bahkan, ketika politik menjadi panglima di era Bung Karno, dan pembangunan sebagai ratu di era Soeharto, ruang dan waktu bagi tradisi dan kebudayaan tidak begitu arif untuk kearifan budaya lokal itu sendiri.
Tradisi dan kebudayaan dimandulkan oleh spektrum menguatnya kekuasaan tanpa reserve, dalam arti tradisi dan kebudayaan, hanyalah menjadi jargon untuk menarik garis lurus dalam kerangka legitimasi politik kebudayaan. Maka, ketika Rendra menulis Kakawinkawin dan Potret Pembangunan dalam Puisi, ia seakan melukis di atas kanvas kedukaan terhadap seni sastra yang dirampas oleh hegemoni kekuasaan. Yang pada ujungnya disimpulkan oleh Taufiq Ismail dalam buku puisinya, Malu Aku Menjadi Orang Indonesia.
Barangkali ini terlalu berani untuk mengiaskannya sebagai amarah. Dan barangkali pula ini adalah ahistoris dari polemik kebudayaan yang diaktualisasikan St. Takdir Alisyahbana dan Syahrir pada 15 tahun sebelum kemerdekaan. Kemudian dilajutkan oleh Arief Budiman dkk. lewat polemik kebudayaan tahap II pada paruhan pertama tahun 70-an.
Mengkaji ulang tradisi dan kebudayaan serta mengaitkannya dengan kearifan lokal, bak mimpi sisipus yang menggulirkan batu tak berkesudahan, dan atau bagaikan Menunggu Godot. Pekerjaan yang sia-sia, begitu kalau kita ingin memvonisnya. Tetapi, apakah seekstrim itu kita menghadapi kearifan lokal plus tradisi dan kebudayaan?
Ah, rasanya tidak. Kita toh masih mempunyai banyak sastrawan andal, banyak seniman berseliweran, banyak budayawan dengan kualitasnya sendiri, meski mereka harus berhadapan dengan lagi-lagi para elite politik, yang menurut Eros Djarot (2009) sangat kedodoran dalam mengkaji kebudayaan. Namun, pada titik ini kita toh tidak harus putus asa. Kearifan lokal, tradisi, dan kebudayaan harus terus ditumbuhkembangkan, kendati sulit memang.
Sulit, karena kita dihadapkan bahkan dipenetrasi oleh suguhan audio visual yang tidak arif dengan kebudayaan lokal. Nyinyirnya sinetron. Perselingkuhan antara seniman dan asap dapur, terkadang memaksa mereka harus "berdamai" dengan keadaan. Bagaimana kearifan lokal, tradisi, dan kebudayaan dapat ditumbuhkembangkan, manakala seniman harus melacur lewat taman, teater juga dituntut pesanan, dan seabrek lagi ruang-ruang sineas kita yang menyatroni kaum muda dengan "kearifan" budaya liberal.
Dalam ruang lingkup dan di atas hubungan yang tidak terpola itulah, kita terpaksa dan dipaksa menekuk-nekuk dan ditekuk-tekuk atas nama liberalisasi, globalisasi lewat teknologi komunikasi yang pada gilirannya menyeret kita untuk tidak lagi arif dengan kebudyaan lokal.
Tradisi dan kebudayaan lokal hanya menjadi buah bibir dari seonggok keharusan penguasa, dan "perdamaian" kita terhadap kebutuhan asap dapur. Dan, kearifan lokal, tradisi serta kebudayaan itu sendiri, memaksa kita meletakkannya di dapur tanpa tungku yang di atasnya tak ada lagi kobaran api semangat kebangsaan.
* Hardi Hamzah, Peneliti Madya pada Institute for Studies and Consultation of Social Sciences (INSCISS)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 6 September 2009