Oleh Badruzzaman Ismail
Meunasah dan mesjid adalah dua hal yang menarik dalam sistem budaya adat Aceh. Kedua lembaga ini merupakan simbol/logo identitas keacehan yang telah berkontribusi fungsinya membangun pola dasar SDM masyarakat menjadi satu kekuatan semangat yang monumental, historis, herois dan sakralis. Fungsi lembaga ini memiliki muatan nilai-nilai aspiratif, energis, Islamis, menjadi sumber inspiratif, semangat masyarakat membangun penegakan keadilan dan kemakmuran serta menentang kedhaliman dan penjajahan. Fungsi-fungsi itu antara lain :
1. Fungsi Meunasah, sebagai :
* Tempat ibadah/shalat berjamaah
* Dakwah dan diskusi
* Musyawarah/mufakat
* Penyelesaian sengketa/damai
* Pengembangan kreasi seni
* Pembinaan dan posko generasi muda
* Forum asah terampil/olahraga
* Pusat ibukota/pemerintahan gampong ( Badruzzaman, 2002: 3-7 )
2. Fungsi Mesjid, sebagai :
* Tempat ibadah/Jum`at
* Pengajian pendidikan
* Musyawarah/penyelesaian sengketa/damai
* Dakwah
* Pusat kajian dan sebaran ilmu
* Acara pernikahan
* Simbol persatuan dan kesatuan umat (Badruzzaman, 2002: 54)
Dari poin poin di atas menunjukkan bahwa fungsi meunasah menjadi sentral pembangunan masyarakat (social communication) dan fungsi mesjid menjadi sentral komunikasi (two traffic communications, hablum minallah dan hablum minannas)
Integrasi fungsi lembaga-lembaga ini melahirkan : Adat ngon agama lagee zat ngon sifeut, sehingga dapat diarahkan membangun suatu Visi : Dengan adat dan syariat, melahirkan aspirasi dan spirit mewujudkan kesejahteraan masyarakat, melalui tatanan equilibrium pembangunan dunia akhirat
Kedua lembaga itu, dapat memerankan Misinya untuk mengkaji, membina dan mendaya gunakan adat istiadat dan syariat sebagai aset kebudayaan Aceh, dalam berbagai format implimentasi program kegiatan untuk mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat yang aman damai, baldatun thaiyibatun warabbul ghafur
Hubungan meunasah dengan mesjid dalam patron simbol budaya adat Aceh, telah dimaknai dengan narit maja (hadih maja) " Agama ngon Adat (hukom ), lagei zat ngon sifeut ". Meunasah adalah sentral pengendali proses interaksi sosial masyarakat, karena saling membutuhkan kesejahteraan sesama manusia dalam komunitas gampong (antar gampong), sehingga melahirkan adat, adat istiadat dan tatanan adat.
Meunasah sangat terikat dengan kehidupan gampong, karena gampong sendiri merupakan unit persekutuan masyarakat hukum yang menurut Van Vallenhoven dapat dimanfaatkan untuk mengetahui hukum, menyelidiki sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum, dimana dalam kehidupan sehai-hari orang-orang dikuasai oleh hukum. Persekutuan merupakan kesatuan-kesatuan yang mempunyai tata susunan yang teratur dan kekal serta memiliki pengurus dan kekayaan sendiri, baik kekayaan materil maupun kekayaan immateril ( Surojo Wignjodipuro, 1979: 85-86 )
Sedangkan mesjid dilahirkan oleh kebutuhan mukim (beberapa gampong), karena kebutuhan nilai-nilai aqidah/syariat, terutama shalat Jum`at. Sejarah mukim tumbuh dalam konteks diperlukan 40 orang untuk mendirikan shalat Jum`at (S.Hurgronje,1985: 91). Dengan demikian, peran mesjid adalah syariat, dan peran meunasah adalah adat yang saling bersentuhan (siklus dakwah/komunikatif) yang kemudian melahirkan suatu paduan sikap prilaku (kebersihan adat dilakukan oleh agama (mesjid) dan kekuatan tegaknya agama dikokohkan dengan adat (meunasah).
Kontribusi peran meunasah dan mesjid dalam kehidupan sosial budaya adat Aceh, telah memperkokoh otoritas dan otonomitas dua kawasan tatanan kehidupan masyarakat, yaitu kawasan gampong dan mukim;
A. Gampong: kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah mukim yang menempati wilayah tertentu, dipimpin oleh keuchik dan yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. Keuchik adalah Kepala Badan Eksekutif gampong dalam penyelenggaraan pemerintahan gampong (Qanun No.5 : 2003). Keuchik memegang fungsi Mono Trias Function (manunggal tiga fungsi : eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang dibantu oleh Tuha Peut ( A.J.Vleer/ PDIA,1978: 1-4 ) dan Imeum Meunasah, beserta sekretaris gampong sebagai perangkat gampong (Badruzzaman: 2002: 34)
Karena itu meunasah merupakan pusat administrasi pemerintahan gampong dan memiliki khazanah, terdiri atas:
1. Perangkat/struktur lembaga adat
2. Pemangku adat/Fungsionaris adat
3. Hukum adapt/norma, kaedah
4. Adat istiadat/reusam, dalam berbagai implimentasi: seremonial, seni penataan, seni ekpresi (bernilai ekonomi)
5. Lembaga musyawarah adat/adat meusapat/pengadilan adat
Meunasah di Aceh pada dasarnya merupakan suatu kesatuan teritorial daerah yang keseluruhannya, terbentuk karena diusahakan orang pada sesuatu kenegerian, yang dibagi-bagi dalam wilayah meunasah, sebagai organisasi terkecil yang membentuk kenegerian. Dalam pengertian orang Eropa, meunasah itu merupakan sebuah daerah otonom yang memiliki pemerintahan sendiri di dalam lingkungan kenegerian (A.Verheul/ PDIA, 1980: 3-9)
Dalam tatanan Pemerintahan Gampong, menyangkut dengan urusan ekonomi kesejahteraan rakyat, terdapat pula beberapa lembaga, yaitu :
1. Keujrun Blang: ketua adat yang membantu pimpinan gampong dalam urusan pengaturan irigasi untuk pertanian/persawahan dan sengketa sawah
2. Panglima Laot: ketua adat yang memimpin urusan bidang pengaturan penangkapan ikan di laut/seungketa laot
3. Peutua Seuneubok: ketua adat yang mengatur tentang pembukaan hutan/perladangan/perkebunan pada wilayah gunung/lembah-lembah
4. Haria Peukan: pejabat adat yang mengatur ketertiban, kebersihan dan pengutip retribusi pasar
5. Syahbandar: pejabat adat yang mengatur urusan tambatan kapal/perahu, lalu lintas angkutan laut, sungai dan danau
B. Mukim: kesatuan masyarakat hukum dalam provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah camat yang dipimpin oleh imeum mukim. Imeum mukim adalah Kepala Pemerintahan Mukim(Qanun No.4: 2003). Imum mukim dibantu oleh imeum chik, tuha peut mukim, sekretaris mukim, Majelis Adat Mukim dan Majelis Musyawarah Mukim
Meunasah dan mesjid sebagai tonggak sejarah kini menjadi sumber re-inspirasi dan re-spirit untuk menemukan masa depan, tidak hanya untuk kaum lokalisme, tetapi juga untuk non-lokalisme dalam membangun harkat dan martabat ke-Aceh-annya..
Membangun Aceh, tidak secara individual/kelompok (yang multi dimensial elit dan aneka segmen interested) melainkan wajib dalam satu kebulatan (one group) yang potensial ke-Aceh-annya. Segmen-segmen deferensial, harus dijadikan komponen perekat dan pengikat dalam satu arah ideal dan konsepsional membangun kesejahteraan dan keadilan masyarakat sebagai bagian dari peradaban dunia damai (peace civilization).
Pemikiran demikian "nyoe kon cèt langèt", sejarah telah membuktikan: "Jinoe lëu ureueng apit bendera", berjuang dengan simbol aspirasi kepentingan kelompoknya. Mari semua bendera-bendera kelompok itu "geutanyoe apit" yang dijiwai nilai-nilai fungsi meunasah dan masjid. Ibarat lomba layang-layang orang Aceh, keluar dari meunasah dan masjid, lalu bertanding dan kemudian kembali disimpan dalam rukun damai/dirawat bersama di tempat itu juga, tanpa gangguan.
Fungsi meunasah dan masjid mengandung misi nilai-nilai komunikasi hablum minallah, hablum minannas, nilai persatuan, damai, sumber ilmu dan sumber solusi musyawarah, sehingga dapat membangun hati nurani orang Aceh dengan "semangat rasa malu dan iman" kepada Tuhannya dan sesama manusia, dalam segala hal.
Dunia modern dalam kiprahnya tidak sunyi dalam panutan simbol dan atau logo. Logo/ simbol bagi mereka: dengannya berinspirasi, beridealisasi, berapresiasi dan dengan itu pula mereka wujudkan realitas yang mereka impikan dan ingini.
Adakah masyarakat Aceh hari ini merasakan, bahwa kepedulian terhadap simbol/logo meunasah dan masjid telah hilang dari akar budaya adat keacehannya? Apakah tidak cocok lagi logo-logo itu memasuki era global dalam terobosan media maya yang begitu canggih dan menakjubkan? Terganggukah logo-logo simbol meunasah dan menara masjid (logo ke-Aceh-an) dengan logo-logo pornografis aksionisme immoral, demoralisasi kekuasaan politik dan glamoris-glamoris lainnya? Kita belum tahu konsep logo atau simbol apakah yang telah dirancang atau dipersiapkan untuk membangun Aceh baru?
1. Sejak awal masa Kemerdekaan, masyarakat Aceh dimunculkan berbagai peristiwa sosial/politik, yang berakibat terganggunya keamanan dan ketertiban seluruh aspek kehidupan budaya. Peristiwa pergolakan silih beganti, sehingga peran fungsi meunasah dan mesjid, menjadi terganggu, karena perangkat kelembagaan dan partisipasi masyarakat dalam komunikasi pembinaannya menjadi terkendala, lemah/kurang berfungsi. "Uroe malam susah tamusu, Keuchik ngon Tengku that na seungsara". "Karu lam nanggroe raya akibat rakyat meularat jeut-jeut sagoe"
2. Era orde baru, dengan tema "Pembangunan Nasional" telah menjadikan konsep "Stabilitas Politik" sebagai landasan jaminan keamanan, sehingga dominasi politik kekuasaan menjadi panglima. Pemenangan satu partai dan monoloyalitas tunggal termasuk keuchik, berdampak berat pada sektor pemberdayaan peran dan fungsi mesjid. Presure politik tunggal telah menimbulkan antagonisme dan like-dislike pada strata masyarakat di seputar meunasah dan mesjid. Akibatnya, kelembagaan dan peran tokoh-tokoh masyarakat menjadi apatis dan unspirit/termarjinal, karena secara jelas telah dijadikan objek politik, dimana sistem kepemimpinan demokrasi (musyawarah-mufakat) beralih menjadi sistem kepentingan penguasa (machstaat)
3. Diberlakukannya U.U.Nomor 5 Tahun 1979, Tentang pokok-pokok Pemerintahan Desa, memperkuat sistem sentralisasi bahkan menukik tajam merambah tatanan budaya desa (perubahan peran lembaga-lembaga adat), sehingga sangat mempengaruhi peran meunasah dan mesjid dalam menjalankan tugas pokok dan misinya. Implimentasi UU ini, telah menggeser peranan dan fungsi lembaga adat, seperti imeum mukim, keuchik, meunasah dan mesjid, dan lain lain menjadi tak berdaya dan digiring untuk berada dibawah warna politik tertentu, bagi kepentingannya
4. Dampak lanjut dari point ketiga diatas, menghasilkan era Gerakan Aceh Merdeka (populer dengan "Krisis Aceh" ). Kondisi ini telah lebih memperparah peran meunasah dan mesjid, untuk menjabarkan fungsinya dalam ruang lingkup dinamika kesatuan kehidupan masyarakat, bahkan menjadi lumpuh dan tak berdaya, sehingga tembok patron budaya Aceh, "Pageu Gampong" menjadi amblas tak terlindungi. Narit maja, mengingatkan :
"Beik ta muprang sabei keudroe-droe, hancoe nanggroe reuloh bangsa"
"Beik, mupakei sabei keu droe-droe, bak akhee rugoe putoih syeedara"
"Malee kaom, meungnyoe mupakee, habeih crei-brei bandum syeedara"
5. Dampak keterbukaan dan perkembangan arus informasi yang multi medial dan melunturnya daya tahan budaya masyarakat, karena putusnya komunikasi bimbingan dengan pemimpin panutnya
6. Tersumbatnya, bahkan putusnya komunikasi (timbal balik) antara elit birokrasi dengan imformal leader dalam masyarakat (tokoh ulama, tokoh adat dan cendekiawan lainnya)
7. Faktor-faktor lainnya
Akibat berbagai momentum kendala-kendala negatif tersebut, maka menyebabkan prilaku masyarakat mengalami erosi, sehingga: kedudukan meunasah dan mesjid dalam sistem sosial masyarakat Aceh, menjadi pudar alias tak bersinar lagi. Untuk membangun kembali (revitalisasi) fungsi meunasah dan fungsi mesjid dalam era amburadulnya budaya bangsa, khususnya budaya adat Aceh yang terbebani lagi dengan bencana dahsyat gempa bumi dan gelombang tsunami, kiranya perlu memaknai kembali (re-thinking) akan arti dan tujuan sebuah budaya, semacam simbol meunasah dan mesjid. Kedua simbol itu penting dan strategis sebagai motivator membangkitkan semangat kebanggaan melalui akar budayanya sendiri menggapai kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan jiwa mental aqidah yang membaja dan teruji.
Para ilmuan/ budayawan mengatakan, antara lain :
*E.B.Taylor dalam bukunya ; Primitive Culture, Boston, 1871, menulis bahwa: Culture or Civilization is that complex whole whitch includes knowledge, belief, art, morals, law, customs and any other capabilities, acquired by man as a member of society. (E.M.K.Masinambau, 2000: 1) Maksudnya( kia-kira ); Budaya adalah suatu peradaban yang mengandung berbagai nilai ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasan dan berbagai kemampuan rekayasa ( keterampilan ) seseorang sebagai anggota masyarakat
*Kluckhohn, mengatakan : Nilai itu merupakan "a conception of desirable". Pada nilai ada beberapa tingkatan, yaitu nilai primer dan nilai sekunder. Nilai primer merupakan pegangan hidup bagi suatu masyarakat (abstrak), misalnya : kejujuran, keadilan, keluhuran budi dan lain-lain, sedangkan nilai skunder adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan kegunaan, misalnya dasar-dasar menerima keluarga berencana atau untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapi. Nilai skunder muncul sesudah penyaringan nilai primer. Kemajuan yang dicapai oleh Jepang, disebabkan karena orang Jepang mempertahankan nilai-nilai primernya, tetapi mengubah nilai-nilai skundernya (M.Syamsuddin,dkk, 1998: 113)
Berdasarkan pandangan itu, maka untuk membangun revitalisasi fungsi meunasah dan mesjid, antara lain perlu penguatan kembali semangat budaya Aceh, antara lain:
1. Memanfaatkan nilai-nilai budaya Aceh
Berupaya memilah-milah nilai budaya Aceh, mana yang primer sebagai pegangan hidup dan mana yang sekunder untuk diberdaya gunakan bagi kesejahteraan masyarakat. Budaya primer, antara lain: 113 )
* aqidah Islami (hablum minallah)
* persatuan dan kesatuan (hablum minan nas)
* tolong menolong dan silaturrahmi
* universal (tidak gap: antar agama, antar bangsa dan antar suku)
* rambateerata (kegotong royongan/kebersamaan)
* panut kepada imam (pemimpin)
* jujur, amanah dan berakhlak mulia
* hormat menghormati (hormat guru, hormat orang tua, hormat tamu)
* percaya diri/kebanggaan bermartabat (bangga kaom)
* keutuhan keluarga (bela keluarga/bela kaom)
* musyawarah mupakat
* cerdas dengan ilmu dan menulis (iqra` dan kalam/ menulis)
* bangga dengan keacehan yang berkulirtas
Sedangkan budaya sekunder, dalam penataan kehidupan dan kesejahtteraan masyarakat, silahkan dengan saien dan teknologi beralaskan lingkunagn sumber alam yang dimilikinya
2. Membangun dan menguatkankan peran tokoh-tokoh adat
Peran tokoh-tokoh adat di Gampong dan Mukim.pearlu ditegakkan kembali, terutama dalam kewenangan penegakan hukum adat dan adat istiadat terhadap berbagai persengketaan yang tarjadi dalam masyarakat, aspirasi kedaerahan di Provinsi NAD, yang wajar sehat dan kuat dibidang kebudayaan umumnya, dibidang hukum khususnya, karena telah berurat berakar dalam jiwa kepribadian bangsa, patut mendapat tanggapan, simulasi dan bimbingan atau binaan semestinya terutama dari pusat (Iman Sudiyat, 1998: 74- 103)
3. Penguataan aspek Hukum
Dari aspek hukum revitaslisasi meunasah dan mesjid dalam pembangunan daerah (Pemerintahan Daerah dan masyarakat), telah mempunyai dasar yang sangat mendasar, yaitu dengan UU.No.44 Tahun 1999, Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, UU No.18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus, yang implimentasinya dengan Perda.No.7 Tahun 2000, Tentang Penyelenggaraan Adat (terutama menyangkut penyelesaian sengketa-sengketa adat dapat diselesaikan di gampong tanpa kehadiran aparat penegak hukum). Qanun No.4 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Mukim dan Qanun No.5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong. Kedua Qanun ini memberi wewenang kepada gampong dan Mukim untuk menjalankan tugas pokok otonomi, dengan kewajiban menjalankan tugas pemerintahan, pelaksanaan syariat Islam, penegakan adat/adat istiadat (tugas hakim) dan menyelenggarakan Anggaran Pendapatan dan Belanja sendiri (APBM dan APBG)
4. Mewujudkan Suasana Damai
Suasanan damai dari berbagai tekanan perlu diwujudkan, karena damai itu merupakan syarat utama utnuk membangun. Krisis Aceh telah memasuki wadah damai, berdasarkan MOU Helsinki 15 Agustus 2005, yang tindak lanjutnya telah diakomodasikan dalam Rancangan UU-PA (kini sedang pembahasan ditingkat Parlemen)
"Hai aneuk hai, beik lee ka mupakee"
"Menyoe na masalah, nyang rayeuk ka peu ubit dan nyang ubit ka peu gadoh "
"Bak lee saba..., ta meu jroeh-jroeh sabee keu droe-droe "
"Tajak ba troek, ta eu bak deuh, beik rugoe meuh sakeit hatee "
5. Membangun kecintaan terhadap nilai-nilai budaya:
Membangun kecintaan nilai-nilai budaya dengan berbagai kegiatan kreasi, seni, yang bernilai tatanan adat "peukong pageu gampong " serta penegakan kembali nilai-nilai hukum adat dalam penyelesaian sengketa di gampong-gampong dan mukim.
Narit maja menegaskan :
"Geu pageu lampoeh ngon kawat, geu pageu nanggroe ngon adat"
"Ureung majeulih hantom kanjai, ureung tawakal hantom binasa"
"Taduk ta muproe ta mupakat, pat-pat nyang silap tawoe bak punca"
6. Mencintai dan membangun fungsi meunasah dan mesjid
Mencintai dan membudayakan fungsi meunasah dan mesjid, merupakan bagian dari kecintaan kepada budaya bangsa dan tanah air, karena itu meunasah dan mesjid dapat dikembangkan pula fungsinya membangun program kegiatan TPA/TPQ sebagai basis awal pembangunan budaya generasi masa depann
Daftar Pustaka
A.Verheul, De Meunasah in Pase`, dalam T.B.G.LXVIII, 1927, h..381-436, dimuat dalam buku" Meunasah Pase, alih bahasa Aboe Bakar, Penerbit PDIA, 1980, Banda Aceh
A.J.Vleer, De Positie van de Tuha Peut in het Atjehsche Staasbestel, terjemahan PDIA, 1978, Seri Informasi Aceh, Tahun 11 No.1, Banda Aceah
Baruzzaman Ismail, SH, M.Hum, 2002 , Mesjid dan Adat Meunasah Sebagai Sumber Energi Budaya Aceh, Penerbit Majelis Pendidikan Daerah, Percetakan Gua Hira`, Banda Aceh
Badruzzaman Ismail, 2002 , Fungsi Meunasah Sebagai Lembaga ( Hukum ) Adat di Aceh Besar, Tesis Magister Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas Sumatra Utara, Medan
E.M.K.Masinambau, 2000, Hukum dan Kemajemukan Budaya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2000, h…1 )
Iman Sudiyat, Pembinaan Hukum Adat Aceh Sebagai Sumbangan Potensial untuk Pembangunan Hukum Nasional, disunting M.Samsuddin, dkk, Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, 1998, Penerbit Fak.Hukum UII, Yogyakarta
M.Syamsuddin,dkk, 1998, Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, Fak.Hukum UII, Yogyakarta, 1998, h...113 )
Surojo Wignjodipuro, 1979, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Penerbit Alumni, Bandung
Snouck Hurgrtonje, 1985, Aceh Di Mata Kolonialis, Penerbit Yayasan Sokoguru, Jilid I, Jakarta
H.Badruzzaman Ismail, SH, M.Hum, adalah Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Prov.NAD/Dosen Tetap Fak. Syariah IAIN Ar-Raniry Darussalam
Makalah ini disampaikan pada Kongres Kebudayaan Aceh, tanggal 7 – 9 April 2006 di Banda Aceh
(www.acehinstitute.org)
Sumber: http://www.pda-id.org