Keramik Dinasti Ming Ditemukan di Karimunjawa

Karimunjawa, Jawa Tengah - Tim peneliti Underwater Archaeology dari Balai Arkeologi Yogyakarta melakukan penelitian di dasar laut Kepulauan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, pada 22 Juli-2 Agustus 2009 Dari hasil penelitian mereka di perairan Pulau Genting dan Pulau Seruni yang terletak 1,5 jam perjalanan dengan perahu kayu dari Pulau Karimunjawa (sekitar 83 km barat laut Jepara), tim itu menemukan ratusan hingga ribuan pecahan keramik kuno yang diperkirakan dari masa Dinasti Ming, Kekaisaran Tiongkok. “Itu menunjukkan bahwa perairan Karimunjawa merupakan jalur pelayaran niaga pada masa lalu,” ujar Ketua Tim Peneliti Priyatno Hadi Sulistyarto.

Rombongan tim itu meninggalkan Karimunjawa pada Minggu (2/8) menggunakan Kapal Cepat Kartini. Priyatno Hadi menjelaskan, dari hasil penelitian sementara pecahan keramik yang ditemukan tim di hamparan dasar laut dengan radius 50 meter itu bercirikan motif warna putih dan biru. Ada motif gambar bunga dan satwa. “Namun gambar-gambar itu tidak begitu detail. Seperti asal menggambar saja. Itu menunjukkan keramik tersebut dibuat secara masal dalam jumlah sangat banyak. Ini salah satu ciri produk keramik Dinasti Ming. Keramik itu berupa piring, cepuk, dan mangkuk,” jelasnya.

Kepastian bahwa keramik itu adalah produk massal juga bisa dilihat dari pantat keramik yang masih menyisakan tempelan pasir. Itu artinya dalam proses penjemuran awal sebelum dibakar, keramik tersebut dihamparkan di tanah berpasir sehingga pasir-pasir itu menempel pada pantat keramik yang basah. Dinasti Ming memerintah Tiongkok pada abad 13-16 Masehi.

Ketika tim peneliti menemukan artefak (pecahan) keramik di dasar laut, kondisinya sudah tertempel oleh tumbuhan laut. Banyak di antaranya bahkan sudah terbenam di pasir dan lumpur, dan ada juga yang sudah tertutup tumbuhan laut. Seluruh temuan sudah tidak jelas warnanya karena sudah tertempeli semacam kerak-kerak karang laut.

Pertama Kali di Indonesia
Penelitian arkeologis di dasar laut adalah penelitian yang baru pertama kali digelar di Indonesia. Sebenarnya banyak keramik kuno dan kapal karam kuno yang ditemukan dan kemudian diangkat ke permukaan. Namun, temuan-temuan itu dalam bentuk pengangkatan untuk mencari harta karun, sedangkan keramik-keramik kuno itu kemudian diperjual-belikan hingga ke luar negeri.

“Di sini kami tidak mengangkat harta karun. Bahkan kami tidak mencari keramik yang utuh. Sebuah kepingan keramik bagi kami sudah cukup untuk bisa menceritakan apa saja. Keramik itu dari mana, dibuat pada masa apa, siapa yang membawanya, untuk apa, mengapa sampai di Karimunjawa, dan sebagainya. Sejarah peradaban manusia masa lalu bisa kami lihat dari temuan itu,” tutur Priyatno Hadi.

Patung Buddha
Keputusan untuk melakukan penyelaman di titik itu karena tim mendapatkan keterangan dari nelayan setempat yang telah memperoleh temuan gentong-gentong tanah liat, mangkuk, hingga patung Buddha tanpa kepala yang tersangkut jaring nelayan. Gentong-gentong itu oleh nelayan setempat dijadikan penampung air untuk wudu (padasan).

Mulyadi, Karyadi, Karmin, maupun Mamat adalah nelayan setempat yang bisa menceritakan temuan mereka. Di rumah Mulyadi ada gentong tanah liat yang digeletakkan begitu saja di sudut rumah di dekat kandang ternak, sementara di rumah Mamat ada gentong yang dijadikan padasan.

Riris Purbasari dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah menjelaskan, dari seluruh benda yang ditemukan penduduk diperkirakan telah terjadi barter antara penduduk lokal dan pendatang dari daratan China pada masa lalu. Pedagang dari China membawa keramik kemudian ditukar dengan produk lokal yang terbuat dari gerabah tanah liat. “Barter barang dalam perdagangan masa lalu sudah biasa terjadi,” kata Riris. (Su Herdjoko)

-

Arsip Blog

Recent Posts