Keris Empu Soma dan Prahara Renggan Banggan

Cerpen Guntur Alam
Dimuat di Jurnal Bogor

Lepas aku jatuh tertidur, berselimut tubuh Dayang Weni, Tuanku Panglima Renggan menurunkan titahnya. Titah yang berihwal tentang rasa yang bersemayam di dadanya. Tentang sebuah kelakian yang menagih kejantanannya.

“Kau pesankan aku keris berlumur getah jelatang pada Empu Soma. Tempah di bawah sinar bulan yang menggandang, basuh dengan air Danau Piabong berkuntum teratai merah. Bila telah usai, akan kumandikan ujung keris itu dengan darah kedua pengkhianat yang menikamku dari belakang.”

Itulah titahnya yang tak bisa kubantah. Tanya kukemas dalam cemas: Darah siapa yang akan mengalir kelak?

Kutinggalkan saja tubuh Dayang Weni yang tergolek, merayu dan menagih keringatku. Titah Tuanku Panglima Renggan telah mengkebiri kelakianku. Menghalauku menuju rimba Perigi, tempat bersemayam lelaki penempah maut, pewujud prahara, dan pawang banjir darah. Ia lelaki bermata cekung, bertubuh kurus, berambut coklat disulam uban. Empu Soma.

Inilah kata yang aku ucapkan kepadanya. Kata yang sesungguhnya hanyalah pengulangan dari titah Tuanku Panglima Renggan. Kembaran kalimat yang kurapal sepanjang perjalanan. Sepanjang napas, sepanjang nyawa, sepanjang detik yang hinggap di belakang bersama masa.

“Tuanku Panglima Renggan, meminta Tuan Empu menempahkannya sebilah keris yang dilumuri getah jelatang. Tempah di bawah sinar bulan yang menggandang dan basuh dengan air Danau Piabong berkuntum teratai merah. Bila telah usai, Tuanku Panglima Renggan akan memandikan ujung keris itu dengan darah kedua pengkhianat yang menikamnya dari belakang.”

Lelaki bermata cekung itu hanya berdehem. Mengamati mukaku. Aku paham siratan mata liarnya, kilatan licik, dan hembusan nafsu yang bergumul dalam udara yang ia hempaskan dari kedua lubang hidungnya. Kurogoh kantong kain yang disanguhkan Tuanku Panglima di balik pinggang, ponjen kain gemuk yang mengandung koin emas. Setengah tak rela, kulempar ponjen itu sehasta darinya.

“Suruhlah Tuan Panglima kembali ke sini dua purnama di muka. Apa yang ia inginkan, telah siap pada masa itu.”

Tak menunggu lelaki bermata cekung itu kembali berkata. Aku meninggalkannya bersama cemas yang kian kukemas dalam tanya: Darah siapa? Semakin kucari empuhnya, semakin aku tak menemukan rimbanya. Lalu, tanya itu mendirikan dinasti di kepalaku. Membentuk benteng yang kuat, melahirkan pasukan penasaran yang kokoh. Sang rajanya adalah tanya yang telah dinobatkan, mempersunting rasa sebagai permaisurinya. Aku menyerah melawan pemberontak tanya itu. Kuatur siasat. Saat itulah, tubuh telanjang Dayang Weni melintas, merayuku. Ahai, senyumku merekah seperti kejantanan lelaki yang tumbuh berkembang. Tentulah Dayang Weni mampu menuntaskan hasrat tanyaku. Sebagaimana hasrat lelakiku. Dadaku gemuruh. Antara luapan dua rasa yang bergumul. Tindih menindih. Berhimpit dalam deru napas. Kubawa arah pulang menuju keraton Kebon Undang .

“Apakah kau tahu ihwal pengkhianat itu?”

Akhirnya, kulontarkan juga tanya itu pada Dayang Weni yang meringkuk di dadaku. Menggeraikan rambut legamnya di atas tubuhku. Kepalanya terangkat, berlipat bingung lahir di keningnya. Jemari lentiknya masih saja mengusap-usap kulitku.

“Apa kau tahu?” ulangku setelah seperkian detik tak ada kata yang terluncur dari mulutnya.

“Apa ini ada hubungannya dengan Tuanku Putri Ayu?” Dayang Weni malah melontar tanya yang aku sendiri bingung harus menjawabnya apa. Kini aku yang melipat kening. Tapi, aku telah mahfum musababnya bila ini memang tentang putri semata wayang sang Paduka Raja. Tentang cinta. Itu dapatlah ditebak. Tapi, cinta apa?

Sesungguhnya, seluruh rakyat Kebon Undang telah tahu ihwal Tuanku Panglima Renggan dan Putri Ayu. Paduka Raja telah menjodohkan keduanya. Masanya pun telah ditetapkan: Saat purnama menggandang di bulan terakhir masa panen raya. Ketika utusan Paduka Raja Balaputeradewa dari Sriwijaya menarik upetinya di Kebon Undang. Dan masa itu tinggal dua purnama di muka.

“Apa kanda tak tahu desas-desus yang beredar di dalam keputren?”

Dayang Weni menarik kepalanya dari dadaku. Duduk di sisi ranjang kayu, memunggungiku, memamerkan punggungnya yang bersih dan menggoda. Ia menyisir rambut legamnya dengan jemari, membawa rambut pekat itu menutupi dadanya yang terbuka.

“Desas-desus?” kuulang kata itu. Sejatinya, aku memang tak tahu apa-apa perihal keputren. Bukankah wilayah itu hanya diisi oleh dayang-dayang? Tak satu pun lelaki yang bisa memasukinya kecuali Tuanku Paduka Raja.

“Desas-desus cinta terlarang Tuanku Putri Ayu dengan Panglima Banggan.”

Sontak, aku pias mendengar kalimat yang terluncur dari mulut Dayang Weni. Mendadak saja aku merasa menciut, seperti kejantanan yang kecut. Kutarik pundak Dayang Weni, membaliknya ke hadapanku.

“Apa kau berdusta?” tikamku di matanya. Ia menggeleng cepat dengan air muka terkejut yang maha. Mungkin, ia tak menduga reaksiku begitu dahsyat.

“Ceritakan apa yang kau tahu,” pintaku dengan intonasi suara ditekan. Dayang Weni memias. Jelas sekali air mukanya mengutuki ketololan yang baru saja ia lakukan. Muka nelangsa itu tak membuatku iba. Mataku tetap memaksanya.

“Sebenarnya, aku pun tak tahu banyak, Kanda…”

“Yang kau tahu saja,” potongku tak ingin berbelit. Dayang Weni menelan ludah.

“Awalnya, beberapa dayang Tuanku Putri Ayu yang mengetahui ihwal cinta terlarang ini. Beberapa kali mereka terpaksa menyelinapkan Panglima Banggan ke dalam keputren tempat Putri Ayu berdiam atas titah Tuan Putri.”

Aku meneguk ludah. Membasahi tenggorokan yang memang sudah kering sejak memeluk Dayang Weni beberapa saat lalu, kini bertambah kesat. Kulepaskan cengkraman tanganku di pundak Dayang Weni. Membawa mata melayang ke lantai kamar dan membiarkan pikiran kalut mengembara seketika, berlari di atas tanya, kebingungan, dan kecemasan yang lahir serentak. Aku kian terhenyak.

“Apa mereka yang Tuanku Panglima Renggan maksudkan?” desis tanya itu seolah aku lontarkan untuk diriku sendiri. Dayang Weni senyap. Ia tak bersuara. Gegas ia menjangkau kain-kainnya yang berserakan. Jemarinya terlatih begitu cepat menempelkan kain-kain itu menutup tubuhnya. Ia menyanggul kembali rambut legamnya.

“Apa Tuanku Panglima Renggan mengetahui ihwal ini?” Dayang Weni menghentikan langkahnya ketika telapak tanganku menjenggalnya, kupegang kuat pergelangan tangan halus itu.

“Mungkin saja, Kanda. Akan kucari tahu tentang itu,” jemari kanannya melepas berlahan pegangan telapak tanganku di pergelangan kirinya. Tanpa berkata atau pun menolehkan wajah, ia menyelinap keluar dari kamarku, mengendap, dan hilang di rimbun perdu belakang keraton. Tentu, langkahnya gegas menuju keputren.

Sementara, aku masih saja terhipnotis dalam diam, tanya, kebingungan, ketidakpercayaan mendengar apa yang Dayang Weni utarakan tadi. Cinta terlarang antara Putri Ayu dan Panglima Banggan. Alangkah gilanya?! Lebih gila dari hubunganku dengan Dayang Weni.

Tidakkah Panglima Banggan menyadari, kalau ia telah meleparkan tahi kuda ke muka Tuanku Panglima Renggan? Kakak kandungnya. Ataukah Putri Ayu yang menyadari murka Tuanku Paduka Raja kepadanya jika mencium bangkai ini? Mungkin kebersamaan mereka sejak kanak-kanak yang menumbuhkan rasa itu. Semua tahu, Putri Ayu dan Panglima Banggan tumbuh dan besar bersama, berguru sansekerta pada empu yang sama. Mungkinkah itu? Aku membiarkan saja darah mengalir bersama luapan tanya, memenuhi seluruh urat-uratku. Kubiarkan saja dalam kebingungan yang tak dapat kutemukan jalan keluarnya.

“Apakah kau setuju bila keris Empu Soma ini kita buatkan sarung dari kulit manusia?”

Aku tersengat. Kata-kata yang Tuanku Panglima Renggan ucapkan seperti sambaran guntur, menghantam jantung dan mengarangkan tubuhku sektika. Aku merasa telah lenyap dari mukanya beberapa saat.

“Tidakkah dari kulit yang lebih tebal, Tuanku?”

Tuanku Panglima Renggan tersenyum sinis. Tiba-tiba saja aku seperti melihat sepasang taring di mulutnya. Taring tajam yang siap mengoyak-oyak tubuh Putri Ayu dan Panglima Banggan. Taring yang menetes-neteskan darah keduanya. Aku berubah jadi leliput. Menciut.

“Apa kulit kedua pengkhianat itu pantas?”

Kali ini suara petir yang terdengar di gendang telingaku. Mengoyak, merobek, dan memporak-porandakan rumah siput yang ada di dalamnya. Di depanku, Tuan Panglima Renggan telah berubah menjadi raksasa bertaring yang haus darah dan daging manusia. Kulit legamnya terlihat berkilat-kilat bermandikan kemarahan. Mata itu berkobar seperti gejolak api yang memamah kayu cendana di atas pembakaran jenazah ayahandanya beberapa purnama silam.

“Tidakkah kita laporkan ini kepada Tuanku Paduka Raja, Tuan?”

Aku mengeluarkan kata yang terserak itu. Kukumpulkan dengan kengerian. Banjir darah. Prahara. Atau bisa jadi kehancuran Kebon Undang ada di depan mata. Aku teringang dengan kata-kata Dayang Weni semalam:

“Tuan Panglima Banggan mencium gelagat perang yang hendak ditabuh Panglima Renggan. Aku mencuri dengar ucapannya kepada Tuan Putri di taman keputren. Putri Ayu cemas dan meminta mengutarakan saja hubungan mereka kepada Paduka Raja. Memohon restu dan pengampunan. Tentu akan ada prahara di Kebon Undang, Kanda.”

“Akan aku tuntaskan saja,” desisnya dingin. Seperti desisan ular cobra yang menyekam murka. Mata itu kian memerah dan keringat di kulit legamnya tercium anyir darah.Amis dan beraroma kematian.

Purnama menggandang belumlah datang. Mungkin dua-tiga hari di muka. Utusan Raja Balaputeradewa dari Sriwijaya pun belum merapatkan kapalnya di Dermaga Pengentengan pinggir Sungai Lematang. Umbul-umbul pesta panen raya telah tersebar di seantora Kebon Undang. Rakyat masih sibuk mengetam bulir-bulir kuning padi masak dan mengumpulkan hasil bumi lainnya. Saat itulah, raungan Siamang menyentak, seperti proklamir lahirnya sebuah petaka.

“Tuan, tidakkah hal ini kita bicarakan dengan Paduka Raja?” aku masih saja melontarkan tanya itu. Tak ada sahutan. Tuanku Panglima Renggan membawa kakinya terbang di atas rerumput. Darah murka telah meledak di ubun-ubunnya. Seorang mata-matanya melaporkan: Putri Ayu dan Panglima Banggan berasik masghul di pinggir Danau Piabong belakang keputren, di balik rimbun perdu Nanggai.

“Keluar kau Banggan!”

Panggilan murka itu menyentakkan siamang-siamang di rimba. Membuat mereka meraung-raung mencium darah. Dengan wajah pasi, Panglima Banggan memenuhi panggilan Tuanku Panglima Renggan. Dua-beradik itu berdiri berhadapan, beberapa hasta. Putri Ayu berada sejengkal di balik punggung Panglima Banggan. Dayang-dayang Tuan Putri berhamburan, melindungi sang tuan dari marabahaya.

“Kanda, maafkan aku,” terdengar suara Panglima Banggan bergetar, “Aku dan Putri Ayu tak bisa membohongi hati. Bila Kanda berbesar, aku akan memohon pengampunan dan restu pada Paduka Raja…”

Tak ada sahutan. Tuanku Panglima Renggan menghunus keris Empu Soma yang belum bersarung. Mata Panglima Banggan nanar. Ia tersurut. Beberapa detik kemudian, Tuanku Panglima Renggan meloncat dan menghambur menuju Panglima Banggan. Ujung keris yang bertoreh racun jelatang tertuju lurus ke arah dada Panglima Banggan. Putri Ayu memekik. Ia menghambur. Lalu, aku mendengar suara lenguhan Tuan Putri sebelum tubuh itu ambruk mendekap bawah dadanya. Darah merah muncrat membasahi tangan dan keris Empu Soma yang ada di tangan Tuanku Panglima Renggan. Melihat Putri Ayu ambruk, Panglima Banggan meraung. Ia menghunus kerisnya. Hari itu, darah membanjir di keputren. Paduka Raja berduka, Kebon Undang berkabut ditinggal mati para tuannya.

Tanpa sepengetahuan dayang-dayang atau pun prajurit yang membersihkan tanah berdarah itu. Aku mengambil keris tak bersarung Empu Soma. Kubalut dengan kain hitam, kubiarkan saja darah Tuan Putri dan Panglima Banggan mengering di badannya. Tujuanku cuma satu saja: Membasahi keris itu dengan darah sang empunya. Ketika tujuanku itu tercapai, kubiarkan Empu Soma membusuk bersama kilatan licik matanya yang meredup. Lalu, aku akan membasahinya pula dengan darahku karena aku ikut andil dalam petaka ini. Tapi, aku tak kuasa meninggalkan Dayang Weni, aku tak ingin ada prajurit lain yang berselimut tubuhnya. Maka, kutikam ia saat terlelap di sebelahku. Malam aku mati bersama Dayang Weni, malam purnama menggandang di langit.***

C59, November 2009 – September 2010.

-

Arsip Blog

Recent Posts