Saritem, Nama tanpa Sejarah

Menelusuri sejarah Saritem sama susahnya dengan penelusuran gang-gang sempit di kawasan prostitusi yang mirip labirin itu. "PR" tidak menemukan satu pun sumber sekunder berupa buku, tulisan, atau hasil penelitian yang mengupas sejarah Saritem. Para sejarawan tampaknya malu-malu dan setengah hati mengungkap "sisi gelap" sejarah Kota Kembang ini.

Banyak versi menunjukkan asal mula nama Saritem. Ada yang bilang kalau Saritem itu nama seorang tukang jamu berkulit hitam manis yang bernama Sari. Ada juga yang menyebutkan, nama Saritem diambil dari nama seorang penjaga warung remang-remang yang nongkrong di pinggir jalan.

Versi lainnya menyebutkan, Saritem adalah nama seorang primadona pekerja seks komersial (PSK) tempo dulu, bernama Nyisari. Perempuan itu berkulit hitam manis, sehingga untuk mengabadikan namanya, jalan dari arah Gardujati diberi nama Jalan Saritem.

Kendati banyak versi, Tohir (75), seorang tokoh masyarakat Saritem menampik semua itu. "Itu semua tidak benar karena tidak mungkin nama seorang perempuan yang bukan orang baik-baik dijadikan nama jalan atau plang jalan di Kota Bandung," katanya.

Kendati nama itu dipakai untuk jalan menuju komplek lokalisasi, Tohir mengatakan, Saritem bukanlah nama seorang perempuan yang tidak baik. "Menurut para orang tua yang ada Saritem, nama Sari yang dijadikan nama jalan, merupakan nama perempuan baik-baik. Dia seorang kaya yang sukses dalam menjalankan usahanya di daerah sini," kata Tohir.

Hal itu, lanjutnya, diperkuat dengan kenyataan bahwa dari dulu kawasan di sekitar Saritem terkenal sebagai daerah peristirahatan dan perdagangan.

Kapan berdiri?
Pertanyaan ini juga kerap diajukan mereka yang tertarik dengan keunikan lokalisasi Saritem, di Kel. Kebonjeruk Kec. Andir Kota Bandung.

Memang, tak ada yang mengetahui secara pasti kapan Saritem berdiri. Namun, menurut catatan sejarah yang ditulis seorang peneliti barat, Saritem telah ada sejak dibangunnya jaringan rel kereta api sampai di Kota Bandung, awal 1800-an. Lokasinya yang berdekatan dengan stasiun kereta api yang kini dinamakan Stasiun Bandung itu menambah persyaratan bagi Saritem sebagai lokasi melting pot (tempat berbaurnya masyarakat yang berbeda latarbelakang dan asalnya).

Sekitar tahun 1940-an, menurut salah seorang veteran pejuang, Eman Kartapradja, rel kereta api merupakan batas antara kekuasaan Belanda dan pribumi. "Dari dulu kawasan Saritem memang sudah ada. Di sana tempat berkumpulnya orang-orang bangor dan hidung belang," katanya.

Pria berusia 81 tahun itu pernah mendengar cerita di antara pejuang bahwa tentara Jepang sering singgah di Saritem.

Pada saat itu Kota Bandung telah menjadi tempat peristirahatan para pembesar Belanda. Mereka datang untuk menikmati panorama serta sejuknya udara Kota Kembang. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya rumah-rumah peristirahatan peninggalan Belanda di Kota Bandung. (Feby Syarifah/Lina Nursanty/"PR")***

-

Arsip Blog

Recent Posts