Memelihara Alam Melalui Tradisi Ngayu-ayu

Oleh Khaerul Anwar

SEJUMLAH bocah lelaki dengan hati-hati memasukkan ceret berisi air ke dalam kain gendongan. Mereka bergabung dengan kelompok yang telah berbaris di balai desa. Bocah lelaki itu berdiri diapit dua anak perempuan sebayanya yang membawa tempat sirih. Di belakangnya, petugas memayungi bocah lelaki itu.Di tengah gerimis hujan, setelah pemangku, kiai dan tetua adat berdoa, rombongan berjalan berkeliling sembilan kali, dan berangkat ke Berugak Raban Bande sekitar 500 meter dari balai (berugak) desa. Tempat acara puncak itu-kini Lapangan Pancor Gunung-dipercayai sebagi lokasi hilangnya seorang penyiar Islam. Suara gamelan yang ditabuh mengiringi perjalanan rombongan masyarakat Desa Sembalun Bumbung, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur-90 km timur Mataram, Nusa Tenggara Barat, ke Berugak Reban Bande.

Hari itu sekitar pukul 13.00, oleh warga desa beriklim sejuk itu memasuki 25 Rajab 1422 Hijriyah (Jumat 12/10), melaksanakan acara tiga tahun sekali yang disebut Ngayu-ayu.

Menurut H Rumedi, tokoh adat desa, prosesi itu yang ke-192 kali sejak mulai dilakukan tahun 1428. Acara itu menyambut musim hujan tiba yang disimbolkan dari kata ngayu-ayu, yang berarti nunas rahayu (memohon keselamatan) agar tanaman padi khususnya terhindar dari gangguan hama dan penyakit. Ngayu-ayu juga bisa disebut ritaul menapak tilas leluhur warga desa itu, setidaknya terkesan dari latar belakang budaya materi yang melatarbelakanginya.

***
ALKISAH, Sembalun (kini terbagi menjadi Desa Sembalun Bumbung dan Sembalun Lawang) didiami tujuh pasang suami-istri. Suatu ketika mereka didatangi Raden Harya Pati dan Raden Harya Mangujaya yang kemudian mengajarkan adat istiadat.

Ada empat perkara yang diajarkan bertahap, yaitu Islam dan Al Quran sebagai pegangan hidup, di samping seikat padi merah dan senjata seperti peralatan pertanian untuk menyambung hidup.

Sebelum raib, kedua orang itu sempat menyatakan tempat mereka berpijak sebagai sembahulun
(tempat memuja ke-Esaan Tuhan), juga berpesan bahwa suami-istri itu akan menghadapi peperangan, yaitu perang melawan iblis, panah beracun dan perang bala.

Dalam perang ini mereka dibantu tiga pendatang: Raden Ketip Muda, Raden Said Hamzah dan Raden Patih Jorong. Suatu saat datang iblis pengganggu dan para raden itu membuktikan kesaktiannya. Sang iblis musnah setelah dilempar ketupat dalam tiga periode, yaitu lemparan pertama tanggal lima bulan atas, kedua tanggal 15, dan lemparan ketiga tanggal 25. Usai peperangan ketiga raden itu berpesan, tiga tahun sekali penduduk diminta mengambil air dan memotong kerbau, sebagai ucapan syukur pada Tuhan yang telah menganugerahi mereka kemenangan melawan iblis.

Pesan itu dimanifestasikan lewat Ngayu-ayu. Prosesi diawali pengambilan air dari 12 lokasi sumber mata air, lalu disimpan di balai desa. Malam harinya ada pembacaan naskah lontar Jatiswara dan pergelaran wayang orang di Berugak Desa.

Kaum perempuan menyiapkan penganan 333 jenis berupa ketupat dan penganan tradisional menyerupai bentuk hama tanaman padi seperti belalang, ulat, dan cacing, alat pertanian dan rumah tangga. Kue itu berbahan tepung beras dan dimasak dengan air.

Dilanjutkan dengan sesampeang (permakluman) oleh Ketua Pemangku ke Berugak Reban Bande. Bersamaan dengan itu dilakukan pemotongan kerbau (warna hitam) di tempat khusus, ayam jantan-betina masing-masing berwarna putih dan hitam.

Hati kerbau dan ayam diletakkan di Reban Bande, daging dan kulitnya untuk masyarakat. Kepala kerbau ditanam di satu tempat dengan arah selatan-utara atau baratlaut, bersama kepala kerbau lain yang disembelih tahun sebelumnya.

Air itu kemudian diserahkan ke rombongan penerima yang membawanya ke lokasi Berugak Reban Bande. Sedang peserta lain saling melempar ketupat (perang topat). Baku lempar ini berakhir tatkala rombongan penerima tiba dan melaksanakan kirab di Berugak Reban Bande sembilan kali. Tarian tandang mendet dipergelarkan, dan air dari 12 mata air itu dibuang ke sungai.

***
NGAYU-ayu adalah wujud membayar janji kepada leluhur, juga menapak tilas leluhur penduduk Sembalun. Bila dilihat dari adanya kesenian seperti wayang orang, tampak erat kaitannya dengan kultur Jawa.

Kedekatan lain pada Huruf Jejawan (Sasak) yang mungkin turunan Hanacaraka (Jawa) yang berbahasa Jawa Kuno (Kawi). Pengaruh itu terjadi, menurut pemerhati budaya Sasak, Agus Fathurrahman maupun M Yamin, mungkin pada masa kejayaan Majapahit (Hindu) diikuti keruntuhannya abad ke-15. Islam masuk dan berkembang di Lombok lewat pesisir utara pada abad ke-16. Meski Majapahit runtuh, pengaruhnya masih tersisa dalam kehidupan komunal masyarakat Lombok.

Sementara tokoh dalam sejumlah dongeng yang berkembang di Sembalun menyebutkan, beberapa putri di Kerajaan Sembalun terkenal kecantikannya sampai ke Kerajaan Majapahit di Jawa. Masyarakat Sembalun yang juga mengenal tradisi wetu telu, karena kepentingan politik dipersepsikan salah yaitu Islam Waktu Telu (tiga) sebab tidak mengenal shalat lima waktu.

Rumedi Surnipa mengatakan, wetu telu adalah tradisi yang berhubungan dengan daur hidup manusia melalui tiga periode seperti kehidupan dalam rahim/kandungan, alam fana/dunia, dan alam baka/akhirat (Depdikbud NTB 1992/93).

Dalam kehidupan masyarakat wetu telu juga bisa diartikan sebagai tiga pilar utama pemerintahan desa: kepala desa, penghulu (bidang keagamaan), dan mangku (adat-istiadat), yang diwujudkan dalam krame desa (majelis desa).

***
NGAYU-ayu, seperti juga acara tradisi lain, mengandung simbol-simbol yang sebenarnya merupakan upaya mencintai alam, diri sendiri, dan upaya mensyukuri nikmat Ilahi.

Air misalnya, lambang kehidupan. Tanpa air mustahil seluruh isi jagat raya ini bisa tumbuh dan berkembang, dan dengan air fisik jadi bugar. Karenanya air beserta sumbernya harus dilindungi, seperti disimbolkan petugas pembawa payung tadi.

Aneka jajanan umumnya berwarna putih dan kuning, warna yang melambangkan kesucian dan keagungan. Boleh jadi itu sebuah pesan bahwa bahan makanan yang diperoleh berasal dari rezeki yang halal.

Empat perkara yang diajarkan Raden Harya Pati dan Raden Harya Mangujaya tadi agaknya manifestasi hubungan antara sesama manusia, antara manusia dengan Tuhan, makhluk hidup dan jagat raya. Pesan ini juga tersirat dalam naskah Jatiswara yang dibacakan malam.

Ngayu-ayu yang dilaksanakan sekali tiga tahun yaitu tanggal 5, 15, dan 25 Rajab tampaknya mengajarkan pada petani agar membekali diri dengan kemampuan mengamati gejala alam dalam proses bercocok tanam. Interval waktu itulah kesempatan petani mengevaluasi dan memperkirakan produktivitas lahan, ketersediaan air, cuaca, serangan hama, dan penyakit untuk masa tanam berikutnya.

Masa tanam padi tahun 2001, dalam kalender tradisional Suku Sasak Lombok jatuh pada tahun Be yang diramalkan curah hujannya cukup besar namun kurang merata, ada serangan hama walau hasil panen termasuk baik. "Acara ini untuk menyambut musim tanam padi, tetapi manfaatnya sangat menentukan bagi kelangsungan tanaman pertanian secara keseluruhan," kata Rumedi.

Di tengah hingar-bingar beragam program penyelamatan lingkungan yang belum pasti hasilnya, masyarakat Desa Sembalun Bumbung secara rutin mengupayakan konservasi secara nyata lewat Ngayu-ayu. Sayang, roh tradisi itu cuma tertangkap mata, tapi tidak tertangkap nurani. (Khaerul Anwar)

Kompas/khaerul anwar

-

Arsip Blog

Recent Posts