Jakarta - Sebuah Kacip tua berwarna gelap berhias emas menjadi salah satu perlengkapan pekinangan (menyirih) Kesultanan Palembang di 1908. Di sampingnya, lengkap pula satu set tempat menaruh sirih beserta Paidonnya, tempat untuk meludah, yang terbuat dari emas. Tapi, di tahun yang sama, di Kesultanan Jambi, Kacip justru digunakan sebagai atribut resmi petugas penarik pajak. Inilah cerita pertama yang bakal anda temukan saat mengunjungi pameran artefak di Museum Nasional bertajuk "Treasure of Sumatera Exhibition". Pameran yang terlihat lebih ramai karena musim liburan ini digelar hingga September 2009.
Pameran ini menampilkan hasil kebudayaan Sumatera setelah adanya peradaban, dari abad IX. Disajikan misalnya fragmen gerabah, yang populer di abad IX itu. Gerabah di Sumatera muncul dengan motif yang bersahaja. Masih sederhana dengan garis dan bentuk yang geometris. Bahan pewarnanya pun diduga dari batuan Hematit, batuan berwarna masa Mesolitikum yang ditemukan di Tanjung Morawa, Sumatera Utara. Ada juga Figurin masa Paleolitikum berbentuk mini, yang ditemukan di Riau. Untuk koleksi dari abad X-XI, misalnya ada arca dwarapala. Arca cebol penjaga gapura batu andesit ini ditemukan di situs Muara Jambi. Arca ini sungguh berbeda dengan arca-arca dwarapala di Jawa. Lebih sederhana. Bibirnya tebal. Menurut catatan pameran, arca ini hampir serupa dengan arca-arca bergaya Khmer.
Ada juga arca Trimurti abad XIV-XV, yang ditemukan di Palembang. Arca ini diduga terpengaruh "gaya" Majapahit, Jawa Timur. Adapun arca Siwa yang kelihatan halus diduga dipengaruhi masa Sailendra di Jawa Tengah. Sementara itu, bila kita melihat temuan arca Awalokiteswara terdapat tiga figur Amitabha di mahkota bagian depan. Ini unik karena biasanya figur Amitabha hanya ada satu figur. Dalam pameran, arca ini dikatakan mirip arca di Thailand abad IX-X, kemungkinan dibawa dari sana atau hanya terpengaruh. Namun, arkeolog dari Universitas Indonesia (fokus kebudayaan Sumatera), Nurhadi Maget Sari, berpendapat dugaan arca Awalokiteswara harus diteliti kembali. "Justru di Thailand tidak mengenal Awaloketiswara karena di sana menganut ajaran Theravada, ortodok Buddha, jadi tidak mengenal Amitabha," ujar pengurus Arsip Nasional periode 1991-1998 itu.
Menurut dia, hal ini perlu penelitian lebih dalam hingga bisa lebih memperkaya informasi pengunjung. "Tak cuma mengklaim barang ini mirip dari mana, datang dari mana," katanya. Lagi pula, dia menambahkan, kenapa tidak pede mengatakan artefak itu memang dari Indonesia dengan ciri khasnya, tak perlu dikaitkan dari negara lain. Apalagi kebudayaan Sumatera masih sedikit di gali karena masalah geografis. "Sebenarnya bisa jadi lebih kaya daripada Jawa, tapi aksesnya memang masih sulit, jadi kurang dipopulerkan," katanya. Selebihnya, merupakan artefak pada masa kesultanan dan peralihan kebudayaan Hindu-Buddha yang perlahan menuju peradaban Islam. Seperti seperangkat Regalia Kesultanan Siak, Riau, yang menjadi simbol eksistensi kala itu. Empat set regalia berupa mahkota Sultan Siak, Jogan, Medali Bintang Bulan Siak, dan Stempel Aceh. Simbol sakral tersebut dikoleksi sejak 1913.
Menarik juga ketika mengamati keris Teuku Umar yang diturunkan kepada Panglima Muda Raja Woyla. Keris berhias emas berbahan dari gading tersebut bernama Kreh Bugeh Meusarongan. Sayang, koleksi Rijks Museum Vor Volkenkunde ini tidak dibuka dari sarungnya. Berbeda ketika mengamati keris Si Ginjei dari Jambi yang pegangannya bertahta berlian, terlihat jelas ada ukir emas di ujung keris. Atau lihat juga keris Gajah Dompah milik Sisingamangaraja XII yang sempat dirampas Belanda. Pameran Sumatera ini cukup berharga. Sayang, salah satu kelemahannya adalah cara penyajian yang cenderung menumpah-ruahkan semua barang dalam satu ruangan. Tidak ada pengelompokan-pengelompokan tegas yang membuat enak ditonton. (Aguslia Hidayah)
Sumber: http://www.tempointeraktif.com 10 Juli 2009