Nelayan Lubuk Liuk Mendamba Ikan

Oleh : Bas Andreas

Nasib sebagian nelayan yang mendiami pinggir pantai dan yang berada di danau, ternyata tak jauh berbeda. Jika beruntung, maka hasil penjualan ikan dapat ditabung. Bila tidak, maka hasil pemasaran ikannya pun hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Demikian setidaknya gambaran yang terjadi pada kelompok nelayan di perkampungan nelayan Lubuk Liuk yang dibangun di atas Taman Nasional Danau Sentarum.

Catatan Bas Andreas - Kapuas Hulu
Menggunakan speedboat dari Lanjak, Kapuas Hulu ke perkampungan nelayan Lubuk Liuk tak memakan waktu lama. Bagi yang tidak biasa lalu lalang di atas danau Sentarum, kemungkinan akan sesat, untuk mencari perkampungan nelayan, atau ketika akan masuk ke Danau Sentarum yang memiliki gugusan pulau-pulau kecil.

Kampung nelayan di Lubuk Liuk terdiri dari lebih dua puluh rumah. Jangan berharap melihat rumah yang lengkap dengan perabotan rumah tangga. Rumah nelayan di Lubuk Liuk kebanyakan hampir mirip, terbuat dari kayu, beratapkan sirap yang beberapanya sudah bocor serta berlubang dan tak ada sekat kamar. Dapur, kamar tidur dan ruang untuk menerima tamu pun menjadi satu yang saat ini umurnya pun sudah mencapai puluhan tahun. Tampak reot dan rapuh dimakan usia. Jika panen besar, maka pemiliknya pun harus berbagi ruang bersama dengan tumpukkan ikan asin yang disimpan di dalam rumah setelah dijemur. Aroma ikan asinlah yang tampaknya menjadi pewangi ruangan. Di depan masing-masing rumah, terdapat bangunan rumah kecil yang merupakan tungku berfungsi ganda. Selain untuk tempat masak, diatas tungku menjadi tempat pengasapan ikan salai.

Namun saat ini, amat sulit bagi nelayan yang menempati beberapa lubuk di Danau Sentarum untuk mendapatkan ikan segar yang dapat dijadikan ikan asin. Hasil tangkapan mereka, hanya dapat dibuat ikan salai yang berasal dari ikan lais dan jenis ikan lainnya. Kalau beruntung, ikan jenis lain yang berukuran relatif besar, dijual segar. Misalnya belidak, toman dan lainnya. Tak seberapa memang pendapatan yang didapatkan. Jangankan untuk merealisasikan cita-cita mulia mereka dapat naik haji, menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi pun ibarat bermimpi.

Untuk menambah penghasilan, mereka kerap "nabung" yang dipasang di wilayah mereka masing-masing. "Nabung" merupakan kegiatan menangkap ikan dengan menggunakan alat berongga/bertabung. Sasarannya adalah ikan hias Ulang Uli dan jenis lainnya. Alatnya dapat berupa potongan-potongan buluh sepanjang kurang lebih 30-40 cm. Satu alat "nabung" dapat terdiri dari beragam jumlah potongan buluh yang diikat menjadi satu dan dicelupkan ke air. Alat itu kemudian dipasangi tali dan diikat di pohon-pohon di wilayah masing-masing kelompok. Selain itu juga menggunakan batang kayu yang memiliki rongga-rongga.

H. Basar (47) selaku Ketua Kelompok Nelayan Lubuk Liuk mengungkapkan keresahan para nelayan atas kondisi yang mereka alami. Keberadaan warin (jaring penangkap ikan) membuat populasi jenis ikan yang ada di Danau Sentarum semakin sedikit. Hal itu dapat tergambar nyata dari hasil tangkapan mereka sehari-hari. "Sulit pak, kami nelayan yang mengandalkan pukat," ungkap suami Rusmini itu. Penangkapan ikan menggunakan jaring warin memang dirasakan sangat berpengaruh terhadap populasi ikan. Satwa air di danau Sentarum, bakal terancam punah karena karena praktek jaring warin.

Sambil duduk beratapkan langit yang dipenuhi bintang di langkau (rumah panggung nelayan di atas Danau Sentarum), H.Basar bersama dengan nelayan lainnya bercerita tentang kehidupan para nelayan yang mendiami langkau. Para nelayan yang berasal dari Selimbau itu setidaknya dapat berada 5-6 bulan di atas langkau.

Musim menjadi faktor penentu pula untuk mendapatkan panen besar. Jika beruntung, satu orang nelayan dapat memperoleh kurang lebih 200 kg ikan segar. Hanya saja, sekarang untuk mendapatkan ikan, seperti misalnya ikan toman menjadi susah. Ikan toman sudah mulai berkurang populasi liarnya di Danau Sentarum. Mengapa? Anakan ikan toman yang ada sekarang, sudah banyak diambil dan kemudian dipelihara dalam keramba. Namun para nelayan di lubuk, tidak menerapkan sistem keramba untuk mendapatkan hasil. Mereka lebih memilih langkah bijak. Mereka membiarkan populasi ikan toman berkembang alami untuk kemudian diambil ketika sudah saatnya. Namun tidak di beberapa kawasan lain yang berdekatan dengan Danau Sentarum. Sebagian warga, menggunakan keramba dan memelihara anak ikan toman. Setidaknya memerlukan waktu dua tahun hingga ikan toman siap panen.

Ikan-ikan kecil dijadikan umpan untuk ikan toman yang ada di dalam keramba.
Sistem keramba untuk ikan toman memang menguntungkan bagi warga yang melakukannya. Namun hal itu cukup mengancam populasi dari jenis ikan lainnya. Pasalnya, untuk umpan atau pakan ikan toman sehari-hari menggunakan ikan kecil, baik yang ditangkap menggunakan warin. Dapat dikatakan, bibit-bibit ikan yang ada di danau, tidak dapat tumbuh alami menjadi ikan besar.

Para nelayan yang mendiami beberapa lubuk, tergantung dari kondisi air untuk menetap di langkau. Setidaknya ada empat lubuk yang disebutkan, yakni Lubuk Liuk, Lubuk Malung, Lubuk Suai dan Lubuk Abui .

Untuk menjual hasil tangkapan mereka, biasanya ada pembeli yang mendatangi langkau. Para nelayan biasanya hanya seminggu sekali (hari Jumat) meninggalkan langkau menuju Lanjak. Setelah itu kembali lagi ke langkau. Para nelayan pun menetapkan harga jual ikan olahan mereka (ikan salai) tergantung besarnya ikan. Untuk ikan salai lais ukuran kecil, dijual Rp40 ribu per kg. Sedangkan untuk ukuran sedang, bisa mencapai rp50 ribu per kg. Tetapi jika musim kemarau, ikan salai dijual seharga Rp20 ribu per kg. Pasalnya, pada saat musim kemarau, kebanyakan nelayan menghasilkan produk yang cukup berlimpah. Akibatnya, harganya pun turun cukup jauh. Sedangkan tangkapan berupa ikan hias yang dijual hidup, menurut Sukardi (34), dihargai Rp700 rupiah per ekornya. Jika harga turun, ikan hias hanya dihargai Rp500 rupiah per ekornya.

Mendiami langkau di Lubuk Liuk bagi para nelayan yang memiliki pertalian saudara itu, bukan tidak menghadapi masalah. Mulai dari ketersediaan air bersih, penerangan dan bahan makanan serta kesehatan dipersiapkan seadanya. Air danau Sentarum meski bersih namun berwarna kemerahan. Para nelayan di lubuk liuk hanya mengandalkan pelita dari minyak tanah untuk penerangan di malam hari. Alhasil, jam makan malam para nelayan pun dilakukan senja hari sebelum hari benar-benar gelap. Belum lagi serangan nyamuk hutan. Untuk mengantisipasi hal itu, setiap nelayan menggunakan kelambu untuk tidur di malam hari. Akan sangat jarang menemukan para nelayan menyantap makanan berupa sayur-sayuran segar sebagai menu sehari-hari. Kesehatan para nelayanpun ibaratnya terjaga akibat terbiasa dengan kondisi yang mereka alami setiap hari.

Kendati pola hidup jauh dari sederhana itu dilakoni, Agus (47) bapak dari tujuh orang anak, merasa senang hidup di langkau. Namun dia mengatakan, jika umur sudah uzur, tentu tidak dapat lagi mendiami langkau. Kebanyakan mereka yang sudah tidak mampu lagi bekerja, kembali ke Selimbau tempat asal mereka. Ketiga orang tersebut mewakili saudara-saudara mereka, mendamba Danau Sentarum kembali memiliki populasi ikan yang banyak. Ada harapan pemerintah memberikan perhatian kepada para nelayan yang ada di lubuk-lubuk di Danau Sentarum. Mereka adalah bagian dari warga Kalbar yang mendiami kawasan taman nasional. Apalagi, sejak para nelayan menempati kawasan itu, pejabatpun jarang mampir. Sampai-sampai, ketika ditanya siapa nama Gubernur Kalbar saja, mereka mengaku lupa.

-

Arsip Blog

Recent Posts