Pekan Kebudayaan Aceh Jangan Sekadar Jadi `Piasan Malam`

Banda Aceh, NAD - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dijadwalkan membuka Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) V pada 2 Agustus 2009 di Stadion H Dimurthala, Lampineung, Banda Aceh. Wagub Muhammad Nazar yang juga Ketua Panitia PKA V mengatakan even budaya Aceh terbesar ini direncanakan berlangsung selama dua pekan ini dimeriahkan lebih dari 200 kelompok kesenian lokal, luar Aceh, dan luar negeri. Dia memperkirakan, pergelaran berbagai atraksi kesenian dan budaya di belasan panggung dan tempat kawasan Banda Aceh akan didatangi rata-rata 50 ribu pengunjung. “Ini merupakan perhelatan budaya yang akan menyedot banyak pengunjung, tidak saja dari Aceh melainkan juga dari negara-negara tetangga,” kata Nazar.

Menggelar sebuah even budaya sebesar itu tentu menguras banyak dana dan tenaga. Dan, karena itu, PKA V tentu tak boleh hanya menjadi “piasan malam” yang cuma berniat menghibur diri sendiri. “Akan tetapi harus ada target-target capaian yang jelas. Misalnya, PKA V benar-benar dipaket sebagai arena promosi budaya lokal sehingga menjadi daya tarik wisatawan, khususnya wisatawan mancanegara,” lanjutnya. Nazar menambahkan, sebagaimana pengalaman di daerah lain, budaya yang khas dapat menjadi suatu produk yang memiliki nilai tambah tinggi. Berikutnya, daya tarik kebudayaan akan berpengaruh pada daya tarik yang lainnya termasuk ekonomi dan investasi. “Karena itu, pemerintah sudah selayaknya memperkuatkan daya saing di sektor budaya, dan mempromosikan industri budaya yang memiliki nilai tambah tinggi sebagai penggerak ekonomi di Aceh,” Nazar berharap.

Yang lebih penting dari itu, masih kata Nazar, bersamaan dengan pergelaran PKA ini akan muncul satu pemikiran atau bahkan sikap untuk memperkuat ketahanan budaya Aceh, terutama berkaitan dengan fenomena globalisasi yang membuat budaya semakin beragam serta berkembang dan mengisi satu dengan yang lainnya. “Memang, sejarah telah membuktikan bahwa persentuhan antara budaya satu dengan yang lainnya justru memperkaya dan melengkapi kebudayaan lokal. Bahkan, kehadiran budaya lain di tengah budaya lokal dapat menjadi unsur dinamisasi budaya lokal,” ungkapnya. Sesungguhnya, ujar Nazar, permasalahan pokok terkait dengan kebudayaan itu bukan hanya globalisasi, tetapi terletak pada eksistensi kebudayaan itu sendiri. Nazar menyimpulkan, “Jadi, bukanlah globalisasi yang harus ditakuti, tetapi upaya-upaya pembakuan dan modernisasi yang mengarah pada proses pembunuhan tradisilah yang harus dilawan.”

Sedangkan globalisasi yang tidak bisa dihindarkan, tutur Nazar, harus diantisipasi dengan pembangunan budaya yang berkarakter penguatan jati diri dan kearifan lokal yang dijadikan sebagai dasar pijak menyusun strategi dalam pelestarian dan pengembangan budaya. Upaya memperkuat jatidiri daerah dapat dilakukan melalui penanaman nilai-nilai budaya dan kesejarahan senasib sepenanggungan di antara warga. “Oleh karena itu, PKA V kita harapkan juga menjadi momentum bagi dilakukan semacam revitalisasi dan reaktualiasi budaya daerah,”pungkas Nazar.

Related Posts:

-