Oleh : Aswandi Syahri
Sosok awal perpustakaan umum di daerah Tanjungpinang bermula di Pulau Penyengat. Penggagasnya adalah Yang Dipertuan Muda Riau X, Raja Muhammad Yusuf ibni Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau VIII, yang memerintah antara tahun 1858 hingga 1899.
Raja Muhammad Yusuf dikenal juga dengan nama Yam Tuan Amadi. Selain sebagai seorang raja yang memerintah, beliau dikenal juga sebagai seorang mursyid (imam) tarekat Naqsyabadiah di Kerajaan Riau-Lingga. Untuk melengkapi kegiatan tarekat yang dipimpinnya itu, beliau menghimpun kitab-kitab agama dalam bahasa Melayu dan Arab pada dua buah lemari besar di istana-nya yang dulu terletak di samping masjid Jamik (masjid raya) Pulau Penyengat.
Kitab-kitab inilah yang kemudian menjadi cikal bakal perpustakaan yang dikenal dengan nama Khutub Khanah Yamtuan Ahmadi (Perpustakaan Yamtuan Ahmadi). Sebuah perpustakaan pertama di daerah Tanjungpinang. Menurut sebuah catatan lama, himpunan kitab-kitab agama ini sengaja dipesan secara khusus oleh Raja Muhammad Yusuf dari Kairo (Mesir) dan India.
Pada masa itu, harga keseluruhan kitab tersebut diperkirakan sekitar 10.000 rupiah. Himpunan kitab-kitab ini, semakian lama semakin banyak. Karena selain pembelian kitab-kitab dari Mesir dan India, khutub khanah ini juga mendapat tambahan kitab yang dicetak oleh office cap kerajaan di Lingga dan dua percetakan lain yakni, Mathba`ah al-Riauwiyah dan Mathba`ah al-Ahmadiah yang terdapat di Penyengat.
Setelah Raja Muhammad Yusuf mangkat perpustakaan ini kemudian dikenal dengan nama Khutub Khanah Marhum Ahmadi, sebuah perpustakaan umum yang dapat dipergunakan oleh Penduduk Riau-Lingga yang mengerti bahasa Arab.
Sejak tahun 1938 hingga menjelang tahun 1942, kitab-kita agama koleksi Khutub Khanah ini dipergunakan oleh murid-murid sekolah agama dan kelompok-kelompok belajar agama seperti Jami`iyah al-Khairiyah; Pakakatan Belajar pimpinan Raja Ahmad bin Dawud; Majlis Ibu sebuah pakatan belajar agama pimpinan Tengku Mahdiah binti sulaiman Riau; Sekolah Agama yang dibuka 1 mei 1939; dan tentu saja Madrasatul Mu`alimin yang bertujuan mendidik putera bumi Riau-Lingga menjadi guru agama, kadi, pengarang, dan mubaligh.
Kini, kitab-kitab milik Khutub Khanah Marhum Ahmadi hanya tersisa satu lemari dan disimpan di dalam masjid Pulau Penyengat. Sebuah kegiatan inventarisir yang dilakukan pada tahun 1981 berhasil meregistrasi 166 kitab dari 326 kitab yang pernah tercatat sebagai koleksinya.
Selain di Pulau penyengat, pemerintah Belanda di Tanjungpinang juga pernah membangun sebuah perpustakaan atau bibliotheek pada dekade kedua atau ketiga abad yang lalu. Sisa-sisa bangunan perpustakaan milik pemerintah Hindia Belanda di Tanjungpinang kini terletak di Jalan Mesjid, persis di seberang mesjid Raya al-Hikmah Tanjungpinang.
Kisah perpustakaan yang dirintis oleh pemerintah Belanda di Tanjungpinang ini, adalah sebuah cerita yang tragis, karena beberapa kali berpindah tempat dan tangan, lantas setelah itu seluruh koleksi hilang tak berbekas.
Ceritanya begini. Setelah kemerdekaan, sekitar tahun 1950-an, semua buku-buku yang pada halaman judulnya terdapat stempel Bibliotheek van Nederlansche Indie (Perpustakaan Hindia Belanda) ini dipindahkan ke sebuah gedung bekas pesanggerahan yang dulu dibangun oleh Stadsfonds Tanjungpinang. Sebuah banguan kayu berbentuk panggung dengan tiang dan tangga dari beton yang kedua sisinya melengkung seperti tangga mesjid Penyengat. Dikenal dengan nama Perpustakaan Pendidikan Masyarakat dan berada di bawah Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan. Lokasinya di tapak bangunan Hotel Furia di Jalan Merdeka sekarang.
Karena gedung panggung tersebut makin lama makin lapuk, selanjutnya sekitar akhir tahun 1970-an, seluruh koleksi perpustakaan ini dipindahkan pula ke gedung tengah bagian depan bekas Toan Poon School yang letaknya pesis di depan kompleks Bestari Mall saat ini.
Di tempat baru ini pun tidak lama. Sekitar pertengahan tahun 1980-an, seluruh koleksi dipindahkan lagi ke Jalan Bali, di sebelah kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Kepulauan Riau. Gedung di Jalan Bali ini mejadi tempat persinggahan terakhir buku-buku perpustakaan lama yang diwarisi dari Belanda ini. Oleh karena lokasi terakhir ini kerap dilanda banjir, dan kurang perawatan, maka satu-persatu buku-buku lama itu rusak dan akhirnya dibakar karena kurang arifnya petugas yang mengelola.
Yang tersisa kini hanyalah dua lemari jati antik berpintu kaca sebagai kenangan. Ada baiknya, dan tak salah, bila dua lemari itu dipindahkan ke gedung perpustakaan Propinsi Kepulauan Riau yang baru di Simpang Jalan Wiratno agar bukti sejarah perpustakaan tua peninggalan sejak zaman Belanda di Tanjungpinang itu tak hilang sama sekali. (Aswandi Syahri)
Batam Pos
Sumber: http://www.pda-id.org