Dari Huruf Lontara ke Latin

Oleh: Sarkawi

Abstrak:
Sebelum masuknya pendidikan kolonial, bangsa Indonesia sesungguhnya adalah bangsa yang terdidik. Hal tersebut terbukti dengan tumbuh suburnya pendidikan yang bersifat tradisional dan tersebar di seluruh nusantara, yang ditandai dengan berkembangnya penggunaan huruf lontara dan tradisi mangngaji.. Pengajaran Islam di langgar-langgar semakin mengukuhkan keberadaan pendidikan tradisioanl tersebut. Namun demikian, pendidikan tradisional mengalami pergeseran ke pendidikan kolonial, khususnya ketika pemerintah kolonial Belanda membutuhkan pegawai-pegawai administrasi rendahan untuk mengisi pos-pos pemerintahannya. Oleh karena itu, sistem yang diterapkannya tidak lepas dari tujuan politiknya dalam usaha mempertahakankan kekuasaan. Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika pendidikan tersebut menjadi alat untuk memantapkan hegemoninya, dan melahirkan elit-elit baru yang nasionalis serta menjadi bumerang bagi kekuasaannya. Bertitik tolak dari hal tersebut, tulisan ini berusaha untuk mengungkapkan segi-segi yang berkaitan dengan pergeseran dua corak pendidikan itu di Makassar.

Kata Kunci: pendidikan tradisional, huruf lontara, tradisi mangngaji, pendidikan kolonial, kweekschool

1. Pendahuluan
Selama ini terdapat anggapan bahwa sebelum intervensi asing (baca: pemerinatah kolonial Belanda) dalam bidang pendidikan, bangsa Indonesia adalah bangsa yang buta huruf. Kalau yang dimaksud adalah buta huruf latin mungkin benar, akan tetapi kalau buta huruf tradisional-lokal, realitas sejarah tidak dapat menerima anggapan tersebut. Hal itu karena sebelum tersentuh dengan pendidikan yang bercorak modern, bangsa Indonesia telah lama mengenal pendidikan yang sifatnya tradisional. Pada zaman Hindu dan Budha misalnya, pendidikan tradisional berjalan dengan baik dan telah menghasilkan karya-karya yang terkenal, seperti Pararaton dan Negara Kertagama.

Pendidikan yang diutamakan pada zaman itu adalah pendidikan keagamaan, pemerintahan, strategi perang dan ilmu kekebalan, kemahiran menunggang kuda, dan memainkan senjata tajam. Pendidikan dilakukan oleh para brahmana kepada siswa dalam jumlah terbatas pada suatu padepokan. Dengan kata lain, siswa tinggal serumah dengan guru dan istri guru dianggap sebagai ibu mereka. Sang guru dianggap sebagai seorang yang sakti sehingga ia sangat dihormati. Ia tidak mempunyai penghasilan tetap, tetapi sewaktu-waktu menerima pemberian sukarela dari orang tua siswa. Selain dengan sistem padepokan, seorang bangsawan, ksatria atau pejabat kerajaan lainnya meminta guru datang ke istana untuk mengajar putra-putrinya. (Gunawan, 1986: 5-6).

Seperti halnya pada zaman Hindu dan Budha, ketika Islam masuk dan berkembang di nusantara, aspek pendidikan menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Sistem pendidikan yang banyak dianut dan dikembangkan pada masa itu adalah sistem pendidikan langgar dan pesantren. Langgar yang terdapat di hampir seluruh desa di Indonesia, selain berfungsi sebagai tempat ibadah juga sebagai tempat berlangsungnya proses belajar mengajar. Di langgar, seorang guru yang juga biasanya pengurus langgar mengajarkan kepada siswa membaca Alquran dan diberikan pada pagi atau sore hari sekitar 2 jam.

Pendidikan di langgar diajarkan hal-hal yang bersifat dasar, sedangkan di pesantren lebih meningkat dan mendalam. Siswanya disebut santri berasal dari berbagai tempat dan dikumpulkan dalam suatu pondok (semacam asrama) yang di dekatnya terdapat mesjid dan rumah guru. Pelajaran-pelajaran yang diberikan antara lain nahwu (syntax) dan saraf (morfologi), fiqh, usul fiqh, hadis, tafsir, tauhid, tasawwuf, etika dan cabang lain seperti tarik dan balaghah (Dhofier, 1982: 44-45).
Akan tetapi, ketika pendidikan kolonial mulai muncul dengan aturan dan sistemnya sendiri maka pendidikan tradisional yang sudah menjadi bagian dari masyarakat mulai kehilangan pamor. Peran seorang pengajar yang memiliki kharisma di mata para siswanya, mulai digantikan dengan kehadiran seorang guru yang mengajarkan pelajaran umum di kelas. Munculnya banyak sekolah"kolonial" tersebut juga berkaitan dengan perubahan arah kebijakan pemerintah kolonial pada awal abad ke-20. Eksploitasi terhadap bangsa Indonesia sebagai pembenaran utama atas kekuasaannya mulai berkurang dan digantikan dengan pernyataan-pernyataan keprihatinan atas kesejahteraan bangsa Indonesia (Ricklefs, 1995: 227).

Kebijakan tersebut dinamakan politik etis yang berpangkal pada gagasan "kewajiban moral" dan "hutang budi" (een eerschuld) pemerintah kolonial terhadap tanah jajahan. Pidato tahunan Ratu Wilhelmina dari tahta kerajaan di Negeri Belanda pada September 1901 mengumandangkan bermulanya "zaman etis" dengan trilogi kebijakan: edukasi, irigasi, dan emigrasi (Bosch, 1941: 64). Berangkat dari hal di atas, tulisan ini akan melihat keberadaan pendidikan tradisional di Makassar dan pergeserannya ke pendidikan kolonial.

2. Kajian Literatur dan Pembahasan Konsep
2. 1. Pendidikan Tradisional
Di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya masyarakat Bugis-Makassar, pendidikan tradisional sudah dikenal sejak lama. Bahkan, kedudukan mereka yang terpelajar disebut To-panrita dan To-sulesana sangat dihargai. Wujud penghargaan itu antara lain adanya kemungkinan bagi mereka untuk memperistri gadis golongan bangsawan.
Sistem pendidikan tradisional yang telah berlangsung cukup lama tersebut dapat dibuktikan melalui dua hal. Pertama, dikenalnya aksara tradisional dalam masyarakat yang disebut huruf lontara dan huruf serang dan kedua, cara pengajaran membaca Alquran yang disebut dengan mangngaji. Huruf lontara ini pada umumnya dipakai untuk menulis tata aturan pemerintahan dan kemasyarakatan. Naskah ditulis pada daun lontar menggunakan lidi atau kalam yang terbuat dari ijuk kasar (kira-kira sebesar lidi). Huruf lontara biasa juga dinamakan dengan hurupu sulapa’ appaka (Bugis: sulapa’ eppa) yang berarti huruf yang bersegi empat. Penamaan ini berpangkal pada kepercayaan dan pandangan mitologi orang Bugis-Makassar yang memandang alam ini sebagai satu kesatuan yang dinyatakan dengan simbol / / = sa, yang berarti / / = seua (tunggal atau esa). , simbol / / ini merupakan mikrokosmos/sulapa eppa’na taue (segi empat tubuh manusia), di puncak terletak kepalanya, di sisi kiri dan kanan adalah tangannya, dan ujung bawah adalah kakinya. Simbol / / itu menyatakan diri secara konkrit pada bahagian kepala manusia yang disebut "saung" / /, berarti mulut atau tempat keluar. Menurut mereka, dari mulutlah segala sesuatu dinyatakan, yakni / / = sadda (bunyi). Bunyi itu disusun sehingga memiliki makna (simbol-simbol) yang disebut / / = ada (kata, sabda, atau titah). Dari kata / / ada (kata) inilah keluar segala sesuatu yang meliputi seluruh tertib kosmos (sarwa alam) yang diatur melalui / / ada (kata atau logos). Bila kata itu dibubuhi kata sandang tertentu / / = E, ia menjadi / / adae (kata itu). Inilah yang menjadi pangkal kata / / = ade’ (adat), yakni sabda atau penertib yang meliputi sarwa alam / / = sa. (Mattulada, 1995: 8-9).

Adapun huruf-huruf lontara yang biasa digunakan adalah: (Noorduyn, 1993: 535).
Ka ga nga ngka pa ba ma mpa
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
ta da na nra ca ja nya nca
(9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16)
ya ra la wa sa a ha
(17) (18) (19) (20) (21) (22) (23)
Tanda bunyi:
___ i: misalnya ki ditulis:
___ u: misalnya gu ditulis:
___ e: misalnya nge ditulis:
___ o: misalnya po ditulis:
___ e: misalnya be ditulis:
Catatan: Huruf keempat, kedelapan, dan keenambelas hanya digunakan dalam lontara Bugis, tetapi tidak terdapat pada lontara Makassar.

Tradisi literer dengan menggunakan huruf lontara mengalami perkembangan paling pesat pada abad ketujuh belas. Dengan pengaruh contoh-contoh sastra Melayu maupun Portugis, orang Makassar mulai menuliskan tarikh yang setia fakta (matter-of-fact) yang merinci pesatnya perkembangan Makassar. Tujuan penulisan ini adalah semata-mata agar raja-raja tidak dilupakan oleh anak-anak, cucu-cucu dan keturunannya, karena ada dua bahaya kebodohan yaitu kita merasa sebagai raja-raja besar atau orang lain menganggap kita orang-orang yang tak berarti (Reid, 1992: 275).

Tradisi yang sangat kokoh bagi pencatatan masa lampau ini didorong oleh bakat luar biasa dari Karaeng Patingngaloang (1600-1654), yang dikenal telah menyuruh seorang Ambon pelarian di Makassar agar menulis sejarah Maluku dalam bahasa Melayu. Sebagai menteri utama kerajaan Makassar, ia membuat pembaharuan-pembaharuan istimewa dalam urusan pemetaan, letak istana, penerjemahan naskah-naskah kemiliteran dari bangsa Portugis, Turki, dan Melayu ke dalam bahasa Makassar. Di samping itu, kebiasaan menuliskan kelahiran, perkawinan, dan perceraian dalam keluarga raja, kedatangan kapal dan utusan, pembangunan benteng dan istana serta berjangkitnya wabah dengan menggunakan sistem penanggalan ganda Masehi dan Hijriah merupakan kebiasaan yang tidak tertandingi di negeri di bawah angin dalam hal kepadatan dan ketelitiannya (Reid, 1992: 275 & Norduyn, 1995: 134).

Pada masa pemerintahan raja Gowa ke-10, I Mario-gau’ Daeng Bonto bergelar Karaeng Lakiung, gelar anumerta Karaeng Tunipallangga, diangkatlah seorang pejabat istana yang bergelar Tu-mak-kajannangang ana’ bura’ne (Mattulada, 1995:13-14). Tugas pejabat ini adalah mengepalai dan mengawasi anak-anak para bangsawan di seluruh kerajaan. Pejabat inilah yang bertugas menyalurkan anak-anak bangsawan ke berbagai pendidikan yang sesuai dengan bakatnya masing-masing. Selain penyaluran ke berbagai pendidikan, seorang anak bangsawan yang dipersiapkan menerima warisan dalam salah satu jabatan pemerintahan diberikan satu daerah khusus yang disebut bate ana karaeng. Di daerah inilah mereka dididik sebagai kepala daerah khusus. Mereka diberi hak menghadiri pertemuan-pertemuan dewan adat dan juga dilatih mengeluarkan pendapatnya dalam pertemuan itu.

Hasil kerja seorang anak bangsawan dalam memerintah daerah bate ana karaeng mendapat penilaian dari para pembesar di pusat, terutama oleh sombaya (raja) sendiri. Mereka juga harus menempuh ujian akhir seperti keperwiraan, ketangkasan mempergunakan bermacam-macam senjata, menunggang kuda dan berburu. Tradisi ini menunjukkan bahwa syarat untuk menduduki jabatan adalah status sosial, kecerdasan, keterampilan dan bakat.

Pada masa pemerintahan raja Gowa ke-10 dikembangkan keterampilan seperti pandai besi, pembuat bangunan rumah dan perahu, pembuatan sumpit, senjata dan lain-lain. Selanjutnya, dengan dipeluknya agama Islam sebagai agama resmi kerajaan pada tanggal 9 November 1607, sistem pendidikan tradisional semakin berkembang. Mesjid Kalukubodoa (Tallo-Gowa) misalnya, menjadi pusat pengajian Islam yang dikunjungi oleh siswa baik dari kerajaan Gowa maupun dari segenap negeri-negeri Bugis-Makassar lainnya yang telah menerima agama Islam.

Pada masa pemerintahan raja Gowa ke-15 (1637-1653) Sultan Malikussaid (I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiung), tiap-tiap negeri (bate) memiliki mesjid dan di tiap-tiap kampung memiliki langgara’ (langgar). Selain dipergunakan untuk shalat, mesjid dan langgar juga digunakan sebagai tempat pengajian agama bagi anak-anak muda di tempat itu. Guru yang mengajarkan Alquran dan ilmu-ilmu Islam lainnya disebut anrong-gurunta atau gurunta. (Mattulada, 1995: 29).
Selain itu, penulisan dan penyalinan buku-buku agama Islam dari bahasa Melayu ke bahasa Makassar (lontara) giat dilaksanakan. Berbagai lontara yang asalnya dari bahasa Melayu diduga berasal dari zaman permulaan perkembangan Islam di Sulawesi Selatan (abad ke-17 dan 18), sampai sekarang masih populer di kalangan orang tua-tua Bugis-Makassar. Lontara yang dimaksud antara lain: (1) Lontara perkawinan antara Sayidina Ali dengan Fatima, putri Rasululullah, (2) Lontara Nabi Yusuf dan percintaan Laila dan Majnun, (3) Sura’ bukkuru yang dalam bahasa Bugis dikenal dengan lontara pau-paunna Sultanul Injilai, (4) Budi Istihara, (5) Kitta faraid (Kitab Hukum Pewarisan), (6) Kitta Nika (Kitab Hukum Perkawinan), (7) Lontara’na Sehe Maradang, (8) Lontara tentang peperangan Nabi Muhammad dengan raja Hindi, (9) Berbagai mukjizat Nabi Muhammad, dan (10) Lontara tentang wewenang kali (kadhi) menurut sara’ dan banyak yang lain (Mattulada, 1995: 28).

Berbagai fenomena historis di atas, memberikan pemahaman kepada kita bahwa perkenalan yang intensif terhadap pendidikan (baca: pendidikan tradisional) bagi masyarakat Indonesia, khususnya Makassar telah berlangsung jauh sebelum intervensi asing. Namun demikian, seiring dengan kehadiran pemerintah kolonial di wilayah ini maka pendidikan tradisional juga mengalami pergeseran.

2. 2. Menuju Pendidikan Kolonial
Praktik pendidikan tradisional di Makassar mulai bergeser ke sistem pendidikan kolonial sejak seorang pendeta yang bernama Benjamin Fredrick Matthes bersama dua orang kawannya mendirikan kweekschool (sekolah guru) pada tahun 1876. Pada tahun 1880, pemerintah kolonial mengambil alih sekolah itu dan mengangkat Matthes sebagai direkturnya. Pengambilalihan kweekschool oleh pemerintah kolonial sekaligus menandai munculnya pendidikan formal di Makassar (Indische Gids, 1885: 1567-68; AVGCO, 1879 No. 132/1).

Pengambilalihan kweekschool tersebut tidak dengan sendirinya menyuburkan pendidikan di Makassar. Bahkan, dibanding dengan daerah lainnya (misalnya Manado), perkembangan pendidikan di Makassar relatif lebih lambat. Keterlambatan tersebut karena perhatian pemerintah Hindia Belanda terkonsentrasi pada usaha penaklukkan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan yang baru diselesaikannya pada tahun 1905. Selain itu, kaum kerabat dekat dari bekas raja dan kaum bangsawan yang dalam strata sosial pada masa lampau tergolong bangsawan tinggi tidak banyak menggunakan kesempatan untuk belajar di sekolah formal. Mereka tidak tertarik pada lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda, karena beranggapan dengan memasuki lembaga pendidikan kolonial berarti mereka akan di-Belanda-kan dan dijadikan ata (budak) yang mengabdi pada kepentingan kolonial. Akan tetapi, dalam perkembangannya, khususnya ketika hampir seluruh kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dikuasai dan setelah pemerintah mengembangkan suatu aparat administrasi kekuasaan Hindia Belanda, pemerintah kolonial mulai membuka sekolah rendah seperti sekolah desa dan Inlandsche School (sekolah pribumi) bagi anak-anak keluarga terkemuka. Di sekolah-sekolah tersebut siswa diberi pelajaran berhitung, menulis dan membaca untuk disiapkan menjadi pegawai rendah administrasi kekuasaan Hindia belanda.

Dari fenomena masuknya pendidikan kolonial di Makassar berbagai hal dapat diungkapkan, seperti perkembangan pendidikan dasar, menengah, dan lanjutan. Selain itu, dapat pula dikaji lebih jauh tentang signifikansi pendidikan dengan mobilitas sosial, pendidikan dengan pers, pendidikan dengan pergerakan nasional, dan lain-lain. Pada bagian ini hanya akan dideskripsikan pendidikan kejuruan yang pernah ada di Makassar, khususnya peralihan dari Kweekschool ke Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) atau sekolah kelanjutan bagi para pejabat pribumi dengan harapan dapat membuka kajian yang lebih dalam dan intensif tentang pendidikan Makassar.

2. 2. 1. Kweekschool
Kehadiran kweekschool di Makassar tidak dapat dipisahkan dengan peran Matthes di daerah ini. Matthes lahir di Amsterdam pada 16 Januari 1818 dari perkawinan H.J. Matthes dengan W.M.E. Hayer (ENI, 1919:689). Pada tahun 1873, Matthes yang saat itu tinggal di Belanda, setelah seperempat abad mempelajari bahasaBugis dan Makassar di Sulawesi Selatan sebagai utusan Nederlandsch Bijbelgenootschap (NEG) oleh pemerintah diminta agar kembali ke Makassar dalam dinas negara. Matthes diminta untuk membuka kweekschool bagi guru pribumi dan untuk mendidik para juru bahasa di Makassar. Untuk membantunya, pada tahun 1874 pemerintah memperbantukan L.W.Th. Schmidt yang bekerja sebagai guru di Hindia Belanda dan memiliki ijazah sebagai pegawai bagi bahasa Melayu dan bahasa pribumi lainnya. Pada tanggal 1 Oktober 1875 keduanya berangkat ke Makassar. (IG,II, 1885: 1567-1568).

Pada bulan Juli 1876, Matthes membuka kweekschool yang oleh penduduk disebut sebagai "sekolah raja". Selain Schmidt dan H.W. Bosman, Matthes juga dibantu oleh La Mangewa Daeng Manasa. Yang disebut terakhir adalah guru yang membantu dalam bidang bahasa Bugis dan Makassar.

Pada awalnya sekolah yang dibuka Matthes (1876) yang bertujuan mencetak guru mengalami kesulitan dalam mendapatkan siswa. Siswa yang tertampung sangat sedikit yakni sekitar 20 orang. Umumnya siswa sekolah berasal dari keluarga raja dan atau kerabat raja yang pernah memperoleh pendidikan privat di rumah masing-masing. Inilah salah satu alasan sekolah ini disebut oleh penduduk sebagai sekolah raja. Pada akhir tahun 1878 di sekolah ini terdapat 18 guru bantu, 16 pengurus pembantu dan 5 juru bahasa. Sementara itu, pada tahun pelajaran 1879/1880, sekolah ini memiliki 39 siswa dan tiga guru bantu (AVCO,1879:68-71).

Pada 31 Oktober 1879 atas permohonan sendiri, Matthes mengundurkan diri sebagai direktur dan diganti oleh Schmidt dan pada tahun 1880 Matthes kembali ke Belanda (AVGCO, 1879 No. 132/1, IG, Jilid II, 1885: 1567-1568). Sejak saat itu kweekschool mengalami kemunduran drastis. Kweekschool yang semula tidak hanya bertujuan mendidik guru pribumi, tetapi juga juru bahasa dan pegawai pribumi kini oleh pemerintah Hindia Belanda dibatasi hanya untuk mendidik calon guru. Menurut pemerintah Belanda penciptaan juru bahasa Bugis dan Makassar lebih baik dilakukan pada biro pribumi di kantor gubernur (KV, 1880:92, STNI,1880 No.77).

Setahun sebelum reorganisasi, yakni pada akhir tahun 1885, kweekschool di Makassar memiliki 31 orang siswa dan sejak tahun 1886 jumlah siswa sekolah itu mengalami penurunan. Penurunan itu disebabkan oleh reorganisasi yang ditandai dengan keluarnya Staatsblad No. 189 tahun 1885, yang menetapkan antara lain bahwa sejak 1 Januari 1886 jumlah maksimal calon guru yang diterima dikweekschool Makassar dikurangi dari 50 menjadi 25 orang (STNI, 1885 No. 189).

Pengurangan jumlah siswa ini disebut oleh Jhs. J.K.W. Quarles van Ulfrod sebagai "hukuman mati" bagi kweekschool untuk guru pribumi di Makassar. Re-organisasi ini akhirnya menjadi perdebatan di parlemen negeri Belanda. Perdebatan bermula ketika Quarles mengirimkan tulisannya pada majalah Venderland tanggal 10 November 1885 dan dalam majalah Indische Gids pada Desember 1885 dan artikel pada 29 dan 30 November 1885 serta usulannya pada Majelis Tinggi Parlemen (IG, 1885, II, hlm. 1567-1568).

Menurut Quarles apa yang disampaikan oleh menteri urusan jajahan kepada majelis tinggi dalam kasus kweekschool di Makassar adalah tidak benar. Menurutnya, dia dan Matthes lebih mengerti apa yang terjadi di Hindia Belanda jika dibandingkan dengan menteri jajahan. Akan tetapi, pemerintah Belanda tetap pada keputusannya untuk membatasi jumlah siswa kweekschool Makassar dari 50 menjadi 25 siswa terhitung 1 Januari 1886.

Sejak pengurangan itu, jumlah siswa kweekschool tiap tahun mengalami penurunan. Pada tahun 1886, 1887, 1889, dan 1890 jumlah siswanya berturut-turut 25, 24, 23, dan 22 (KV, 1887-1891). Penurunan ini berlanjut terus sampai dihapusnya sekolah ini pada Oktober 1910. Untuk memenuhi kebutuhan guru yang merupakan kebutuhan mendesak di Makassar maka dibukalah Opleiding School Voor Indlandsche Ambtenaren (OSVIA) yang di dalamnya juga dididik calon pegawai.

2. 2.2. Opleiding School voor Indlandsche Ambtenaren (OSVIA)
Pendidikan OSVIA atau Sekolah Latihan bagi Pejabat Pribumi sangat berkaitan dengan pendekatan "elitis" yang ditempuh oleh J.H. Abendanon, direktur pendidikan "etis" yang pertama (1900-1905). Di bawah Abendanon, pada tahun 1900 Hoofdenscholen (sekolah para kepala) yang lama diubah menjadi sekolah yang direncanakan untuk menghasilkan pegawai-pegawai pemerintahan dan diberi nama baru OSVIA (Bijblad STNI, 1900 No. 5516).

Problem kekurangan guru di Makassar merupakan masalah serius dalam upaya meningkatkan jumlah sekolah untuk memajukan pendidikan masyarakat. Di samping itu, mendidik anak-anak bangsawan dan melatih para calon pegawai juga merupakan kebutuhan mendesak. Untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut maka sekolah kombinasi untuk pegawai negeri dan guru (OSVIA) didirikan di Makassar yang ditetapkan lewat Surat Keputusan Pemerintah tanggal 10 Agustus 1910 No. 50. Kombinasi tersebut membuat OSVIA Makassar berbeda dengan OSVIA di daerah lainnya seperti Bandung, Magelang, dan Probolinggo yang berdiri sendiri.

Sekolah yang secara resmi dibuka pada tanggal 17 Oktober 1910 ini memiliki masa studi enam tahun dan menerima lulusan sekolah-sekolah dasar berbahasa Belanda. OSVIA menerima siswa tidak hanya berasal dari Sulawesi Selatan, tetapi juga dari Kalsel dan Kaltim, Timor, Manado, dan Ternate (AVIO, 1910: 67). Untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan siswa dipungut uang sekolah yang berkisar antara f 1-10 sebulan. Akan tetapi, jika jumlah penghasilan orang tua atau walinya kurang dari f 150 sebulan maka seorang siswa mendapatkan pelajaran secara gratis dengan jalan mengajukan permohonan pada pihak sekolah.

2. 3. Sistem Penerimaan Siswa
Sistem pendidikan kolonial Belanda yang diterapkan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari tujuan politiknya dalam usaha mempertahankan kekuasaannya. Tujuan utama ini tidak berubah walaupun di negeri Belanda terjadi pergeseran dari politik kolonial liberal ke politik etis. Oleh karena itu, pendidikan sebagai instrumen yang sangat penting bagi berlangsungnya kekuasaan kolonial di Indonesia selalu diarahkan pada pencapaian tujuan. Dalam hal ini yang terpenting adalah untuk mengisi kekurangan tenaga pegawai dalam birokrasi kolonial di tingkat bawah (lokal) atau menjadi pegawai pada perusahaan-perusahaan industri dan perdagangan swasta yang erat hubungannya dengan pemerintah (Furnivall, 1943: 35; Mustika Zed, 1991: 19).

Secara umum dapat dilihat bahwa penyelenggaraan pendidikan kolonial berorientasi pada prinsip-prinsip garis warna (color line), diskriminasi, segregasi, dan nonakulturatif (Djoko Suryo, 1996). Prinsip-prinsip ini direalisasikan dengan penyelenggaraan pendidikan yang dibedakan menurut pembagian golongan masyarakat kolonial, yakni untuk golongan Eropa, Timur Asing (Cina) dan golongan pribumi kemudian penyelenggaraan pendidikan dibedakan menurut status sosial, yakni pendidikan untuk kaum elite dan pendidikan untuk rakyat biasa. Pemisahan menurut golongan ras dan status sosial itu dipertegas dengan diferensiasi dalam hal penggunaan bahasa pengantar, yakni bahasa Belanda untuk pendidikan orang-orang Eropa dan golongan elite dan bahasa daerah bagi pendidikan golongan rakyat biasa.

Menurut Vastenhouw (1964), sistem pendidikan dualistis di atas adalah ciri khas pendidikan di Indonesia pada masa kolonial. Perbedaan antara kedua jenis pendidikan itu pada hakekatnya jauh lebih besar daripada perbedaan antara kedua macam bahasa pengantar tersebut. Pendidikan berbahasa pengantar Belanda tersusun lengkap dan terdiri atas pendidikan rendah, menengah, kejuruan dan pendidikan tinggi. Pada tahun 1940 jumlah siswa sekitar 180.000 orang, tetapi biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan relatif tinggi yakni sekitar 21 juta rupiah, sedangkan pengeluaran pemerintah seluruhnya untuk pendidikan berjumlah kira-kira 33 juta rupiah. Jadi 2/3 dari pengeluaran itu dipergunakan untuk membiayai pendidikan berbahasa pengantar Belanda. Di lain pihak, pendidikan yang berbahasa pengantar bumiputera memiliki susunan yang tidak lengkap dan hanya meliputi pendidikan rendah yang sangat sederhana dengan jumlah siswa lebih dari 2 juta orang.

Realisasi lebih lanjut dari diferensiasi atas ras, status sosial maupun bahasa tersebut dapat dilihat pada pengaturan penyelenggaraan pendidikan dasar yang termuat dalam Staatsblad Tahun 1893, No. 125. Dalam Staatsblad tersebut disebutkan bahwa pendidikan dasar di Hindia Belanda dibedakan atas Sekolah Dasar Kelas Satu (De Eerste Klasse School) yang diperuntukkan bagi anak-anak para pemuka, tokoh terkemuka dan terhormat bumiputera dan sekolah dasar Kelas Dua (De Tweede Klasse School) yang diperuntukkan bagi bumiputera pada umumnya.

Dalam menerima siswa, khususnya untuk jurusan pemerintahan, OSVIA memiliki aturan sebagai berikut. Kategori A diperuntukkan bagi siswa yang orang tuanya menjabat pamong praja atau keturunan pamong praja. Kategori B adalah siswa yang berasal dari keturunan bangsawan dan kategori C adalah mereka yang tidak termasuk kategori A dan B. Mereka yang berkategori A dan B bila tamat HIS segera diarahkan ke pendidikan jurusan kepemerintahan, sedangkan yang berkategori C dapat melanjutkan ke OSVIA dengan mendapat surat rekomendasi dari kepala distrik di wilayahnya. Untuk mengetahui kategori seorang siswa, kepala sekolah mempelajari kategori seorang siswa yang dibuat dan disetujui oleh kepala distrik. Silsilah tersebut dikirim kepada Inspecteur Inlands Onderwijs (Pegawai Pendidikan Pribumi) yang berkedudukan di Makassar untuk memperoleh persetujuan apakah siswa yang bersangkutan berhak menempuh pendidikan di OSVIA. Hasil seleksi ini akan dikirim kepada residen, yang kemudian mengeluarkan surat keputusan siapa-siapa yang berhak memasuki tahun ajaran berikut di OSVIA (Wowor, 1993: 6-7).

Di sekolah ini siswa menerima pelajaran bahasa Belanda, Melayu, Bugis, Makassar, Geografi, Sejarah, Ilmu Alam, Berhitung, dan Menulis Indah, sedangkan yang memilih untuk menjadi calon pegawai mendapat tambahan pelajaran seperti Prinsip-prinsip Agraris, Ilmu Ekonomi Negara, Prinsip-prinsip Negara dan Administrasi Hukum, Ilmu Hukum, dan Ilmu Ekonomi Pertanian.

Sejak didirikannya tahun 1910 sampai pada tahun 1931, OSVIA Makassar memiliki peminat yang cukup besar dan stabil. Sulawesi Selatan merupakan pemasok siswa yang paling banyak disusul Kalsel dan Kaltim, Timor, Manado, Ternate, dan Ambon (KV, 1910-1927; AVVO, 1933: 85). Namun demikian, sekolah yang semula berdiri atas hasil reorganisasi dari kweekschool ini kembali menghadapi persoalan yang sama. Pada akhir tahun ajaran 1933/1934 sekolah ini dihapus dan selanjutnya digabung dengan MULO dengan jalan menambahkan satu kelas lanjutan selama satu tahun. Re-organisasi dilakukan dengan maksud penghematan anggaran. Data tentang perkembangan sekolah ini setelah digabung dengan MULO tidak ditemukan, kecuali disebutkan bahwa pada akhir tahun pelajaran 1936/1937 semua siswa dari bekas OSVIA telah lulus (AVVO, 1939: 42).

3. Simpulan
Dari deskripsi di atas beberapa hal dapat disimpulkan. Pertama, sebelum masuknya pendidikan kolonial di Makasar telah tumbuh dengan baik pendidikan tradisional yang ditandai dengan berkembangnya penggunaan huruf lontara dan tradisi mangngaji. Pengajaran Islam di langgar-langgar semakin mengukuhkan keberadaan pendidikan tradisioanl tersebut.

Kedua, dalam pengembangan pendidikan tampak bahwa pemerintah kolonial Belanda berada dalam posisi dilematis. Pada satu segi ingin memenuhi "kewajiban moralnya" atas bangsa Indonesia yang telah lama dieksploitasi, tetapi pada segi yang lain terbentur pada anggaran dan kepentingan pemantapan hegemoninya di Sulawesi Selatan. Hal tersebut menyebabkan terjadinya reorganisasi dengan maksud menghemat anggaran sekaligus mencetak tenaga guru dan pegawai pribumi yang akan mengabdi pada kepentingannya.

Ketiga, sistem rekruitmen atau penerimaan siswa juga memperlihatkan ciri umum dari sistem pendidikan kolonial yang berorientasi pada prinsip-prinsip garis warna (color line), diskriminasi, segregasi, dan nonakulturatif. Prinsip ini direalisasikan dalam bentuk pengaturan penerimaan siswa OSVIA yang dibagi atas tiga kategori yaitu anak pamong praja, anak bangsawan, dan mereka yang tidak termasuk di antara keduanya. Dengan demikian, upaya untuk membayar "hutang budi" kepada bangsa Indonesia, khususnya di Makassar dapat dikatakan tidak tercapai. Sebaliknya dengan kebijakan yang tampaknya setengah hati itu justru semakin memantapkan kekuasaannya lewat penciptaan pegawai-pegawai administrasi yang setia kepadanya.

Pustaka Acuan
Ary H. Gunawan. 1986. Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
Algemeen Verslag van het Gouvernement celebes en Onderhoorigheden over het Jaar 1879 No. 132/1. Koleksi Arnas: Bundel Makassar No. 10/11.
Algemeen Verslag van het Celebes en Onderhoorigheden over het Jaar 1879 (AVvCO). . Koleksi ANRI: Bundel Makassar No. 10/10.
Algemeen Verslag van het Inlandsch Onderwijs in Nederlandsch-Indie, 1910. 1912. Batavia: Landsdrukkerij.
Algemeen Verslag van het Onderwijs in Nederlandsch-Indie, 1936-1937 (AVVO). 1939. Weltvreden: Landsdrukkerij.
Algemeen Verslag van het Inlandsch Onderwijs in Nederlandsch-Indie over het Schooljaar 1930/1931. 1933. Weltevreden: Landsdrukkerij.
Ben Wowor, dkk. 1993. Drs. H.R. Ticoalu: Sebuah Biografi, Profil Seorang Abdi Masyarakat. Manado, Yayasan Drs. H.R. Ticoalu, 1933.
Bijblad STNI, 1900 No. 5516
Bosch, Amry van den. 1941. The Dutch East Indies: Its Governement, Politics, and Problems. Berkeley: Berkeley University Press.
Djoko Suryo, 1996. "Pendidikan, Diferensiasi Kerja & Pluralisme Sosial: Dinamika Sosial Ekonomi 1900-1990". Makalah disampaikan pada Konggres Sejarah Nasional Indonesia di Jakarta, Tanggal 12-15 Nopember 1996.
Encyclopaedie van Nederlandsch Indie (ENI). 1919. ‘s-Gravenhage Martinus Nijhoff, Leiden: E.J. Brill.
Furnivall, J.S. 1943. Educational Progress in Southeast Asia. New York
International Secreatariat Institute at Pasific Relations, 1943.
Indische Gids, Jilid II, 1885
Koloniaal Verslag, 1880, 1882, 1887-1891, 1910-1927.
Mattulada. 1995. Latoa: Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Ujungpandang: Hasanuddin University Press.
Mestika Zed. 1991. "Pendidikan Kolonial dan Masalah Distribusi Ilmu Pengetahuan: Suatu Perpektif sejarah"; dalam SEJARAH, Pemikiran, Rekonstruksi, Perspepsi I. Jakarta: MSI-Gramedia, 1991.
Noorduyn, J. 1993. "Variation in the Bugis Makassare Script" dalam BKI, Deel 149.
-----. 1995. "Asal Mula Historiografi di Sulawesi Selatan" dalam Soedjatmoko, dkk. Historiografi Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Reid, Anthony dan David Merr, ed. 1992. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jilid I. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ricklefs, M.C. 1995. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1880 No. 77.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1885 No. 189.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1893 No. 125.
Vastenhouw, M. 1964. Inleiding tot de Voor Oorlogsche Paedogogische Problemer in Indonesia. Groningen: J.B. Wolter, 1964.
Zamakhsyari Dhofier. 1982. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES.
Sarkawi, adalah Staf Pengajar Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Surabaya.

-

Arsip Blog

Recent Posts