Berbicara tentang pornografi, orang selalu mengidentikkan kata tersebut dengan produk manusia modern, bukti dari kemorosotan moral. Padahal, pornografi sudah eksis sejak ribuan tahun lalu, bahkan sebelum ditemukannya teknologi video dan kamera foto.
Para ilmuwan bahkan yakin bahwa evolusi memengaruhi manusia memiliki gairah visual. Berbagai bukti material pornografi dari zaman lampau juga menunjukkan bahwa manusia sejak dahulu sudah tertarik pada hal-hal yang berbau seks.
"Seks selalu menjadi hal yang penting bagi hubungan tiap manusia. Apa yang orang lain lakukan secara seksual selalu memancing rasa ingin tahu," kata Seth Prosterman, seksolog klinis dan terapis dari San Francisco, Amerika Serikat.
Definisi pornografi sendiri sangat subyektif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pornografi adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks.
Dari pengertian tersebut, ternyata penggambaran erotis pertama yang diketahui manusia mungkin tidak porno, tetapi lebih dalam pengertian tradisional. Sekitar 30.000 tahun silam, manusia Paleolithic memahat bentuk payudara yang besar dan padat dalam figur wanita hamil pada batu dan kayu. Para arkeolog menduga figur Venus ini tidak dimaksudkan untuk membangkitkan gairah, tetapi sebagai simbol kesuburan.
Kalau kita maju lebih dekat lagi, manusia purba di Yunani dan Roma menciptakan seni pahat dan seni lukis di dinding untuk menggambarkan homoseksual, threesome, fellatio (seks oral pada penis), serta cunnilingus (tindakan menstimulasi organ intim wanita dengan tangan atau lidah).
Di India pada abad kedua, Kama Sutra menjadi buku manual cara melakukan seks. Kemudian orang-orang dari suku The Moche di Peru telah melukis adegan seksual pada barang-barang tembikar. Di Jepang, pada abad ke-16 hal-hal erotis bahkan dicetak dalam kayu (woodblock).
Sementara di Barat, kebanyakan material seksual yang disebar lebih banyak bersifat politis daripada pornografi. Misalnya saja, saat Revolusi Perancis disebarkan pamflet bersifat seksual untuk menyindir anggota kerajaan. Bahkan Marquis de Sade, penulis terkenal dari Perancis yang karyanya terkenal akan unsur brutal dan erotis, lebih banyak berangkat dari unsur filosofis.
Kelahiran pornografi
Sekitar tahun 1800, hal-hal yang berbau porno mulai menyebar. Novel erotis sendiri sudah mulai ditulis pada pertengahan tahun 1600 di Perancis. Namun, novel pornografi yang ditulis dalam bahasa Inggris pertama kali adalah Memoirs of Woman of Pleasure, atau dikenal dengan Fanny Hill, diterbitkan tahun 1748.
Teknologi kemudian mendorong inovasi genre porno. Tahun 1838, Louis Daguerre menciptakan daguerreotype, bentuk primitif dari fotografi. Tak lama berselang, buku-buku cabul langsung memanfaatkan teknologi itu. Penggambaran persenggamaan pun dilakukan secara hati-hati pada tahun 1846.
Penemuan video pun mengikuti jalan serupa. Tahun 1896, pembuat film dari Perancis menciptakan film bisu porno berdurasi pendek. Isinya adalah aktris film beradegan tari telanjang. Baru pada tahun 1900, film seks yang termasuk hard core muncul. Film-film itu kebanyakan memakai aktor yang sudah tua, tetapi beradegan seks sesungguhnya.
Selama bertahun-tahun film-film porno itu berjalan stagnan, baik dalam hal kualitas maupun isinya. Baru pada tahun 1970-an, terjadi pergeseran sebagai imbas masyarakat yang lebih terbuka menerima sensualitas. Perkembangan internet dan kamera digital ikut berpengaruh pada produksi film-film porno.
Menurut sebuah penelitian tahun 1994, diketahui bahwa 48 persen orang yang mengunduh film porno menyukai bentuk seksual yang tidak lazim, misalnya, hubungan seks dengan binatang, inses atau paedofilia. Hanya kurang dari 5 persen yang mengunduh film seks yang dilakukan lewat vagina. Diduga masyarakat mencari di internet hal-hal yang tidak mereka temukan pada majalah dan film porno biasa.
Kini, pornografi bisa dengan mudah ditemukan di internet meski angka pasti penjualan materi pornografi ini masih misteri. Menurut sebuah riset, diperkirakan angka penjualan majalah, alat bantu seks, dan film porno per tahunnya mencapai 6 miliar dollar AS.
Usaha untuk membungkam materi pornografi sendiri masih terus berlangsung sejak era Victoria dan tampaknya belum akan mencapai kata akhir dalam waktu dekat. Kecuali jika orang mulai berhenti melihat foto atau gambar orang lain dalam kondisi telanjang. (AN)
Sumber: http://health.kompas.com