Oleh: Azyumardi Azra
Di tengah kehebohan hubungan Indonesia-Malaysia terkait dengan pemukulan Ketua Wasit Karate Indonesia, Donald PL Colopita, dan gegap gempita Malaysia merayakan hari ulang tahun ke-50 kemerdekaannya, saya berkesempatan datang ke Kuala Lumpur menyampaikan makalah dalam forum internasional "The Makkah Declaration: Implementing the Economic Agenda of the Moslem World" (1-4 September 2007).
Masih dalam suasana Malaysia merayakan kemerdekaannya yang "gemilang" dan "cemerlang", dari pertemuan dengan beberapa pejabat tinggi Malaysia dan KBRI di Kuala Lumpur, saya dapat melakukan retrospeksi dan refleksi tentang hubungan Indonesia-Malaysia, yang begitu kompleks, tetapi pada saat yang sama juga rentan dan sekaligus eksplosif.
Di antara masalah paling eksplosif sehingga seolah merupakan "bom waktu", seperti dituturkan kepada saya oleh KUAI Indonesia di Kuala Lumpur, Abdurrahman Muhammad Fachir, adalah masalah TKI. Menurut data dan estimasi KBRI, TKI legal sekitar 1.200.000 orang dan yang biasa disebut sebagai pekerja atau "pendatang haram" (ilegal) antara 800.000 sampai satu juta orang. Mereka ini, baik yang resmi maupun yang haram, berada dalam posisi sangat rawan terhadap eksploitasi, pemerasan, dan penganiayaan majikan dan aparat Malaysia, seperti sudah lazim terjadi.
Salah satu sumber kerawanan adalah nota kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia yang memberi kuasa kepada majikan Malaysia memegang paspor dan identitas lainnya yang dimiliki para TKI. Hasilnya, majikan berada dalam posisi sewenang-wenang dalam menghadapi TKI. Oleh karena itu, bisa dipahami kalau PBB, ILO, dan LSM internasional yang bergerak dalam labor watch menyesalkan nota tersebut.
Lebih celaka lagi, sampai sejauh ini tidak ada UU dan Peraturan Malaysia sendiri yang dapat melindungi TKI dari tindakan sewenang-wenang majikan mereka. Padahal, peraturan tersebut sangat dibutuhkan jika Malaysia tetap ingin meningkatkan kemakmurannya; karena sumbangan para TKI dalam ikut menggenjot ekonomi Malaysia tidak bisa diabaikan begitu saja. Ketika beberapa ratus ribu TKI dipulangkan secara paksa beberapa tahun lalu, banyak proyek konstruksi terpaksa berhenti, sementara sayur-sayuran dan buah-buahan membusuk karena tidak ada tenaga kerja yang mengerjakannya.
Politik pencitraan Malaysia
Hampir bisa dipastikan, warga Malaysia umumnya dewasa ini memandang orang Indonesia secara negatif. Semua citra negatif itu secara sempurna terlihat dalam sebutan "Indon" yang mereka gunakan dalam percakapan sehari-hari ataupun pada media massa. Dalam perspektif "Indon" itu, setiap dan semua orang Indonesia yang datang ke Malaysia mereka anggap sebagai TKI ilegal yang mau mencari kerja dan nafkah, padahal banyak dari mereka yang datang sebagai turis yang gemar berbelanja. Setiap kali terjadi peristiwa jenayah (kriminal), orang-orang "Indon" langsung saja dicurigai sebagai pelakunya.
Banyak kalangan warga Indonesia yang telah lama berada di Malaysia menganggap penggunaan istilah "Indon" berlaku secara sistematis. Meski ada imbauan kalangan pejabat Malaysia agar media massa dan masyarakat mereka tidak lagi menggunakan istilah yang merendahkan itu, praktik itu terus berlangsung. Sebaliknya, proses "demonisasi" dirasakan para TKI dan warga Indonesia lainnya di Malaysia terus meningkat.
Di tengah proses seperti itu, Malaysia menjulangkan diri sebagai salah satu negara yang paling sukses, gilang-gemilang, dan cemerlang di Asia jika tidak di dunia secara keseluruhan. Sepanjang peringatan HUT ke-50 kemerdekaannya, para petinggi Malaysia dengan penuh semangat terus memompa kebanggaan diri mereka sehingga menciptakan psyche rakyatnya sebagai bangsa dan negara paling maju dan sangat berhasil dalam pembangunan ekonominya.
Sementara itu, masyarakat Malaysia umumnya tidak mendapatkan informasi memadai tentang sikap negara lain—khususnya tetangga, seperti Indonesia—terhadap mereka, khususnya dalam soal tenaga kerja. Gelombang demonstrasi anti-Malaysia yang berlangsung di berbagai kota di Indonesia dalam hari-hari terakhir hampir tidak mendapatkan tempat di media massa. Jika ada beritanya di koran-koran Malaysia, itu hanyalah berita kecil atau sekadar berita "positif" tentang mahasiswa Malaysia yang aman di Indonesia selama masa demonstrasi tersebut. Agaknya media massa Malaysia, yang secara ketat dikontrol pemerintah, terlarang memberitakan unjuk rasa anti-Malaysia yang merebak di Indonesia. Sebaliknya, pemukulan Donald PL Colopita dan TKI di Malaysia menjadi berita utama media di Indonesia sehingga menyulut kemarahan.
Psikologi orang kalah
Pada pihak lain, di Indonesia sendiri seiring peningkatan jumlah TKI ke Malaysia yang diikuti munculnya berbagai kasus penganiayaan TKI legal ataupun tidak ilegal, perlahan tapi pasti kemarahan terhadap Malaysia terus berkembang. Berakumulasi dengan perkara Pulau Sipadan dan Ligitan, dengan Indonesia kalah perkara, kemarahan itu bahkan bukan tidak mungkin meledak menjadi sikap anti-Malaysia yang jika tidak terkendali dapat membuat hubungan kedua negara tidak terselamatkan.
Inilah salah satu sisi dari ambivalensi warga Indonesia dalam melihat Malaysia; inilah sisi kemarahan (anger). Namun, ada sisi kedua yang berupa "kekaguman" (admiration). Pada sisi kedua ini terdapat kecenderungan kuat di kalangan banyak warga Indonesia memuji dan mengagumi berbagai kemajuan Malaysia—khususnya ekonomi dan pendidikan—yang dianggap jauh meninggalkan Indonesia. Kemajuan Malaysia itu lazimnya mereka lihat dalam perspektif perbandingan dengan Indonesia yang mereka pandang tidak berhasil mencapai kemajuan apa-apa. Kebanyakan warga Indonesia sendiri lupa bahwa perbandingan itu pada dasarnya tidak comparable mengingat perbedaan-perbedaan mencolok yang terdapat di antara kedua negara dalam hal ukuran besar wilayah atau jumlah penduduk, misalnya.
Lebih jauh, orang-orang Indonesia sering menyatakan, dulu pada tahun 1970-an, Indonesia mengirim guru, dosen, dan tenaga profesional lainnya ke Malaysia untuk membukakan jalan bagi kemajuan negara tersebut. Kini sebaliknya, Indonesia mengirimkan banyak TKI yang umumnya "non-profesional"—untuk tidak menyebut kuli—mencari sesuap nasi di Malaysia. Dan juga kian banyak mahasiswa menuntut ilmu di Malaysia, sementara seolah lupa, sebenarnya juga masih banyak warga Malaysia yang belajar di berbagai universitas di Indonesia.
Semua realitas ini memperkuat sikap ambivalen, yang secara sadar atau tidak telah menempatkan kalangan masyarakat Indonesia ke dalam posisi underdog dalam berhadapan dengan Malaysia. Posisi seperti itu pada gilirannya menumbuhkan apa yang saya sebut sebagai "psikologi pecundang" (psychology of the losers).
Mempertimbangkan gejala tidak sehat dari sikap ambivalen tersebut, sudah sepatutnya masyarakat Indonesia meninggalkan "psikologi underdog" atau "psikologi pecundang" tadi. Hal itu dapat memunculkan suasana batin lebih sehat, yang dapat mencegah terjerembabnya masyarakat Indonesia sendiri ke dalam sikap-sikap defensif, apologetik, dan reaksi berlebihan dalam menghadapi kasus-kasus yang terjadi dalam konteks Malaysia dan negara-negara lain, khususnya di mana banyak terdapat TKI.
Sumber: http://www.kompas.com