Ritual Balimau Kasai Kehilangan Makna

Oleh Jodhi Yudhono

Balimau Kasai bagi masyarakat Riau mempunyai makna yang mendalam yakni bersuci sehari sebelum Ramadhan. Biasanya dilakukan ketika petang sebelum Ramadhan berlangsung. Tua-muda turun ke sungai dan mandi bersama.

Balimau artinya membasuh diri dengan ramuan rebusan limau purut atau limau nipis. Sedangkan kasai yang bermakna lulur dalam bahasa Melayu adalah bahan alami seperti beras, kunyit, daun pandan dan bunga bungaan yang membuat wangi tubuh.

Tradisi ini, berlangsung sejak turun menurun di kalangan Melayu Riau. Tradisi dilakukan hampir di seluruh kabupaten/kota yang ada, dengan nama berbeda satu sama lain. Contohnya saja Balimau Kasai lebih dikenal oleh masyarakat Kabupaten Kampar dan Kuantan Singingi. Di Pekanbaru, tradisi ini dinamakan Petang Megang sedangkan di Indragiri Hulu cukup dengan nama Balimau saja.

"Balimau Kasai artinya mensucikan diri baik lahir dan batin, sebelum datangnya Ramadhan," ujar Husni (55), salah seorang tokoh masyarakat Muara Lembu, Kecamatan Singingi, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, kepada ANTARA Selasa (10/8) lalu.

Bagi masyarakat Melayu, lanjut Husni, kegiatan Balimau Kasai ini merupakan ritual wajib yang harus dilakukan. Selain mandi di sungai dengan limau yang dianggap sebagai penyucian fisik, ajang ini juga dijadikan sarana untuk memperkuat rasa persaudaraan sesama muslim dengan saling mengunjungi dan meminta maaf.

Biasanya, dalam setiap kunjungan akan ada makanan yang dibawa seperti Lemang, Lepat, Kue, Rendang dan Sup daging. Makanan ini, nantinya akan dijadikan santapan pada saat sahur pertama di bulan Ramadhan.

"Tradisi ini dulunya, dilangsungkan per kampung. Tapi saat ini, pemerintah yang mengelolanya dan dilakukan di sungai yang ukurannya besar," jelas Husni.

Kalau dulu, tradisi ini hanya diisi dengan makan dan balimau. Seiring perkembangan tradisi mengalami perubahan. Ada penambahan tertentu seperti organ tunggal dan acara lainnya seperti motorcross.

"Sekarang tradisi ini semakin menyalahi, dulu ada batasan antara lelaki dan perempuan. Sekarang semua bercampur baur," ujar dia resah.

Tak hanya itu, lanjut dia, musik yang dihadirkan pun bukan lah yang bernuansa Islami. Melainkan musik dangdut dengan goyangan yang membangkitkan gairah.

Tak ayal, ajang yang semula dijadikan penyucian diri berubah makna menjadi ajang cari jodoh dan mandi bersama pasangan yang bukan muhrim. Balimau Kasai dijadikan hari terakhir sebelum hari semuanya dilarang pada keesokan hari.

"Kami memang sengaja datang ke sini, hanya untuk Balimau Kasai,"ujar Dedi (21), pemuda asal Pekanbaru, yang sengaja datang ke anak sungai Kampar, di Sungai Pagar, Kampar.

Untuk menuju Balimau Kasai ini, lanjut dia, ia rela menempuh satu jam perjalanan. Namun hal ini sebanding dengan keriangan yang ia dapatkan. Ia tak memungkiri, jika Balimau Kasai dijadikan sebagai ajang untuk berkenalan dengan gadis dari daerah lain.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) maupun tokoh masyarakat pun geram dengan berubahnya makna Balimau Kasai ini. Tetapi seperti yang sudah-sudah, tradisi ini tetap berjalan menyimpang dari makna sebenarnya.

Camat Singingi, Hendra AP, mengatakan bahwa kegiatan Balimau Kasai ini diharapkan bisa dijadikan ajang wisata, terutama wisatawan domestik selain wisata tahunan Pacu Jalur.

"Diharapkan dengan adanya ajang ini, maka perekonomian masyarakat akan jalan. Karena pengunjung yang datang tak hanya dari Kuantan Singingi saja, melainkan dari kabupaten/kota lain di Riau," jelas dia.

Dr Junaidi, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning, mengakui makna Balimau Kasai yang sesungguhnya telah hilang dari masyarakat Melayu Riau. Menurutnya, Balimau Kasai hanya ajang keramaian atau hiburan yang dapat ditonton orang.

"Esensi penyucian diri dan taubat tidak diingat lagi," kata dia.

Padahal, lanjut dia, bila masyarakat bisa mengetahui bahwa Balimau Kasai mempunyai makna bahwa kita akan berada dalam kondisi yang suci dan mengekalkan niat kita untuk membersihkan diri dan bertaubat.

-

Arsip Blog

Recent Posts