Sumpah Pemuda dan Nasionalisme

Oleh : Prof. Dr. H.M. Ahman Sya

Momen sejarah 28 Oktober 1928 yang dipelopori oleh para pemuda dan mahasiswa, telah berhasil mendeklarasikan Sumpah Pemuda. Naskah aslinya berbunyi (1) kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia, (2) kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia, dan (3) kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng tinggi bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Peristiwa ini adalah cikal bakal tumbuhnya kesadaran berbangsa dan bernegara dalam suatu ikatan nasional yang kemudian mendorong proklamasi 17 Agustus 1945, yang juga dipelopori para pemuda dan mahasiswa. Sebelumnya, memang telah berdiri Boedi Oetomo yang dibentuk oleh para mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Arsten), meskipun pada waktu itu mereka tidak mengatasnamakan pemuda maupun mahasiswa, melainkan berupa perkumpulan umum dalam pergerakan nasional.

Dalam perjalanan sejarah kebangsaan, pemuda dan mahasiswa memang selalu menjadi perintis dan penggerak dalam berbagai perubahan dan pembangunan, sehingga tidak salah apabila kita menilai maju mundurnya suatu bangsa berdasarkan kemampuan pemudanya, termasuk mahasiswa.

Kini, setelah melewati momen-momen lain seperti tahun 1966 (Orde Baru), 1974 (Malari), 1977-1978 (asal tunggal), dan 1998 (reformasi), kemampuan para pemuda Indonesia kembali diuji untuk meluruskan perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di usianya yang ke-62, NKRI memang sudah bebas dari penjajahan fisik. Akan tetapi, penjajahan ekonomi, sosial budaya, dan bentuk-bentuk penjajahan lain menjadi dominan.

Keadaan ini tentu berdampak pada integritas dan harga diri sebagai bangsa yang berdaulat. Berkali-kali kita dilecehkan oleh bangsa lain dalam berbagai peristiwa, baik di tingkat regonal maupun internasional. Namun kenyataannya, kita hanya diam dan kalaupun melawan secara diplomatis. Sementara itu, permasalahan ekonomi dalam bentuk kemiskinan dan pengangguran terus berjalan sehingga ketergantungan kita kepada bangsa lain yang lebih maju tetap besar.

Demikian halnya dengan penjajahan sosial budaya termasuk pendidikan. Dengan alasan globalisasi dan transparansi, berbagai sistem dan modelnya merasuki kehidupan kebangsaan kita. Lama-kelamaan, bukan hal yang mustahil bangsa ini akan tercabut dari akar budayanya, dan otomatis nasionalisme mengalami degradasi dan kepudaran. Antisipasi untuk menghidnari keadaan ini harus dipersiapkan dengan baik, dan menuntut peran optimal para pemuda Indonesia di dalamnya. Para pemimpin dan tokoh masyarakat lainnya juga harus proaktif, terutama dalam mengakomodasi gagasan-gagasan para pemuda kita yang brilian, yang bebas dari muatan-muatan politis maupun kepentingan-kepentingan kelompok tertentu.

Kekhawatiran memudarnya nasionalisme, sebagai akibat persoalan internal dan dampak eksternal atau global tidak dapat dimungkiri. Bagi bangsa Indoensia yang berdaulat, nasinalisme adalah suatu tata pikir dan tata rasa yang meresapi mayoritas terbesar sesuatu rakyat dan menganggap dirinya meresapi semua anggota rakyat itu. Nasionalisme mengakui negara nasional sebagai bentuk ideal organisasi politik dan menganggap nasionalitas sebagai sumber bagi segala tenaga budaya yang kratif serta kesentosaan ekonomi. Karena itu, kesetiaan tertinggi manusia harus ditujukan pada nasionalitasnya, sebab hidupnya itu sendiri disangka berakar di dalamnya dan dimungkinkan oleh kesejahteraannya (Hans Kohn, 1956:16).

Dalam pengejawantahannya, nasionalisme adalah suatu ide yang mengisi otak dan hati manusia dengan pikiran baru dan perasaan baru, serta mendorongnya untuk menerjemahkan kesadarannya ke dalam tindakan berupa aksi yang terorganisasi. Dengan demikian, nasionalitas bukan semata-mata suatu kelompok yang diikat dan dijiwai oleh kesadaran bersama, melainkan juga merupakan suatu kelompok yang ingin mengungkapkan dirinya ke dalam apa yang dianggapnya bentuk tertinggi berorganisasi, yaitu negara berdaulat.

Memang, nasionalitas bisa berubah-ubah sesuai perkembangan kehidupan yang ada. Bahkan, faktor-faktor tertentu seperti asal-usul keturunan, bahasa, wilayah, satuan politik, adat istiadat dan agama yang sama, dapat memengaruhi nasionalitas itu. Akan tetapi, sebagai warga NKRI yang plural, hendaknya nasionalitas lebih diarahkan pada perwjudan kemauan yang sama yang hidup dan aktif dalam bentuk nasionalisme.

Pada tataran awal, nasionalisme dapat dimulai dengan pemupukan rasa cinta daerah kelahiran melalui pengenalan dan pemahaman berbagai aspek yang dimilikinya, baik fisik, sosial, maupun budayanya secara integratif. Aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial bduaya dan hankam yang tumbuh dan berkembang di masing-masing daerah juga harus dipahami dengan baik oleh setiap warga NKRI. Harapannya, tiada lain adalah tumbuhnya nasionalisme yang berakar kuat dan memberi manfaat.

Degradasi nasionalisme memungkinkan runtuhnya NKRI di masa depan apabila antisipasinya tidak rasional, sistematis, dan empiris. Oleh karena itu, seluruh elemen yang ada dalam NKRI perlu secara sungguh-sungguh menangani gejala ini agar bangsa dan negara ini tetap eksis sepanjang masa.

Sejarah menunjukkan, NKRI lahir bukan karena belas kasihan orang lain. Akan tetapi, sebagai perwujudan cita-cita ideal (idealisme) dan patriotisme, yang kemudian melahirkan nasionalisme. Dalam suasana yang penuh tantangan seperti sekarang, diperlukan usaha-usaha yang sistematis dan terorganisasi dengan baik, yang meliputi penumbuhan dan penguatan bidang (1) spiritual, (2) intelektual, (3) fisik dan disiplin, (4) sarana dan prasarana, serta (5) gotong royong. Tujuannya adalaH untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan kita dalam wadah NKRI dengan mengoptimalkan potensi beserta pemberdayaannya.

Bagi bangsa Indonesia yang bermartabat, NKRI adalah final, bukan wahana maupun tujuan yang bisa dimainkan, apalagi dipecah belah. Perlawanan terhadap upaya-upaya untuk merobek-robek NKRI harus dilakukan secara terpadu dan berbarengan oleh berbagai unsur dan lapisan masyarakat sesuai fungsi dan peran masing-masing. Oleh karena itu, spiritualisme dalam konteks jiwa juang bangsa Indonesia harus tetap dipelihara dan bahkan ditingkatkan dari waktu ke waktu.

Demikian halnya dengan intelektual, sebagai modal dasar untuk mengejar berbagai ketinggalan yang dialami selama ini, harus terus diusahakan melalui perbaikan sistem pendidikan dan pembelajaran di lingkungan persekolahan maupun luar sekolah.

Selanjutnya, di bidang fisik dan disiplin, bangsa ini perlu mereformasi dirinya dengan serius. Rendahnya kekuatan fisik dan disiplin kita diprediksi telah mengakibatkan terpuruknya kehidupan berbangsa dan bernegara.

Akibatnya, meskipun negara ini luasnya 7,5 juta kilometer persegi, memiliki 17.500 buah pulau, 525 suku bangsa, 250 bahasa daerah, dan dihuni oleh lebih dari 215 juta penduduk, tetap saja belum memperoleh posisi yang disegani di dunia. Hal ini bagaikan buih di lautan, yang kelihatannya besar dan banyak, tetapi di dalamnya tidak kuat apalagi tangguh.

Dalam hal sarana dan prasarana sebagai penunjang kehidupan perlu terus dilengkapi melalui empowering berbagai potensi yang ada. Walaupun, kita menyadari bahwa untuk mencapai ini diperlukan kekuatan ekonomi dan finansial yang memadai. Akan tetapi, dengan berlimpahnya kekayan alam dan budaya, kita dapat memanfaatkannya dengan baik dan menjawab tantangan kelemahan ekonomi dan finansial itu.

Berikutnya, gotong royong diyakini sebagai kunci kesuksesan hidup berbangsa dan bernegara. Melalui gotong royong pula, yang berat dapat menjadi ringan dan yang susah menjadi mudah. Sejak dulu, para perintis kemerdekaan selalu mengamanatkan kehidupan seperti ini. Sekarang, selaras dengan peringatan sumpah pemuda, gotong royong sangat penting utuk disosialisasikan dan ditingkatkan kembali.

Pelopornya, tentu diharapkan pada pemuda dan mahasiswa yang senantiasa memiliki jiwa dan pemikiran yang jernih, semata-mata untuk kepentingan rakyat banyak. Mereka diharapkan terus-menerus mengenali perkembangan zaman dan kenyataannya melalui perkembangan sejarah perjuangan bangsa. Dengan begitu, para pemuda dan mahasiswa dapat melaksanakan darmanya dengan tepat, dan melanjutkan tradisi gemilang perjuangan pemuda dan mahasiswa Indonesia di masa lampau.

Akhirnya, sebagai bangsa yang beradab kita harus selalu optimistis untuk menjadi bermutu super (superkualitas) yang dihargai dan disegani bangsa lain di dunia, superefisien, marketable, dan visioner sehingga dapat berperan serta aktif dalam perdamaian abadi dunia selaras dengan ideologi negara Pancasila. Optimasi peran pemuda dan mahasiswa dalam memelihara, menumbuhkan dan meningkatkan tradisi nasionalisme amatlah penting.

Perjuangan mereka selalu manunggal dengan kehendak bangsanya. Karena itu, dalam kaitannya dengan pembangunan di era reformasi, sangatlah wajar bila pemuda dan mahasiswa diberi ruang dan kesempatan untuk secara terbuka berpartisipasi di dalamnya. Regenerasi, melalui pemberian kepercayaan dan kewenangan kepada pemuda dan generasi muda pada umumnya mungkin merupakan bentuk lain dan keikhlasan bansa ini untk dibangun menjadi lebih baik dan dinamis. Jadi, jangan resahkan nasionalisme pudar bila generasi muda tampil di muka. Jangan pula khawatir akan kemampuan mereka. Mereka adalah generasi penentu masa depan kita, dan kunci keberhasilan perwujudan kesejahteraan dan keamanan NKRI. Hidup pemuda!***

Penulis, Rektor Universitas ARS Internasional, Bandung.

Pikiran Rakyat, 28 Oktober 2007

-

Arsip Blog

Recent Posts