Oleh Dr Junaidi SS MHum
DALAM satu Seminar Internasional yang ditaja oleh Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Lancang Kuning, UU Hamidy pernah berkata, “Bila saya sebagai seorang budayawan meninggal dunia, maka siapa yang akan menggantikan saya. Tetapi bila seorang pejabat pemerintah yang meninggal dunia, seketika itu juga orang akan berebut untuk menggantikan posisinya.”
Kata-kata UU Hamidy itu terasa sangat menusuk penulis sebab sebagai dekan yang baru saja dilantik di Fakultas Ilmu Budaya, saya merasa punya tanggung jawab yang besar untuk melahirkan budayawan seperti UU Hamidy. Tidak mudah untuk melahirkan seorang budayawan yang betul-betul serius memperjuangkan kebudayaan.
Kata-kata UU Hamidy itu terus menempel di benak saya. Sekarang ini FIB Unilak sedang dalam proses untuk melahirkan budayawan sebagai penjaga kebudayaan Melayu. Tanpa bermaksud untuk “mendewakan” UU Hamidy, beliau patut disebut sebagai budayawan agung sebab telah banyak karya dan pemikiran tentang kebudayaan Melayu yang dilahirkan. Dalam tradisi Melayu, kita memang tidak suka mendewakan tokoh sebab hanya Tuhan yang pantas didewa-dewakan. Tetapi jasa UU Hamidy sangat besar dalam melestarikan kebudayaan Melayu. UU Hamidy telah berperanan penting dalam menjaga kebudayaan Melayu dengan melakukan penelitian, penerbitan buku dan memberikan ceramah atau kuliah tentang kebudayaan Melayu.
Kini di usia tuanya, UU Hamidy sebenarnya masih mengamati perkembangan budaya dan sastra di Riau meskipun beliau tampaknya “muak” melihat perhatian pemerintah terhadap kebudayaan di Riau. Kita saja yang kurang memperhatikan beliau sebab kita memang tidak pandai menghargai budayawan. Misalnya, Tenas Effendy lebih dihargai oleh orang Malaysia daripada orang Riau sendiri. Tenas Effendy diberikan anugrah doktor di Malaysia dan diangkat pula sebagai dosen tamu. Tetapi kita di sini tidak melakukan itu. Mengapa kita tidak memberikan penghargaan yang lebih kepada para budayawan yang benar-benar berperan dalam menjaga kebudayaan Melayu?
Kita tampaknya lebih pandai menghargai tokoh politik yang suka menebarkan pesona dan mencari popularitas. Sosok UU Hamidy jauh dari keinginan untuk mencari popularitas. Beliau lebih suka hidup dalam kesederhanaan tetapi beliau tetap konsisten untuk mengangkat kebudayaan Melayu. Berkaitan dengan kontribusi besar yang telah dilakukan oleh UU Hamidy untuk mengangkat dan menjaga kebudayaan Melayu, dalam tulisan ini disampaikan beberapa sumbangan UU Hamidy dalam bidang kebudayaan.
Pertama, penulisan buku-buku budaya Melayu. Saya sendiri lebih mengenali UU Hamidy melalui karyanya. UU Hamidy telah menulis puluhan buku tentang kebudayaan Melayu Riau. Buku-buku yang telah ditulisnya itu bisa dijadikan dasar untuk mengangkat dan mengembangkan kebudayaan Melayu di Riau. Tanpa adanya buku yang ditulis oleh UU Hamidy kita tidak akan percaya diri untuk membicarakan kebudayaan Melayu. Kita nyaris kehilangan identitas dan sejarah bila UU Hamidy tidak menuliskan kebudayaan Melayu dalam bukunya. Jauh sebelum dinyatakan Visi Riau 2020 sebagai pusat kebudayan Melayu, UU Hamidy telah menuliskannya dalam buku yang berjudul Riau Sebagai Pusat bahasa dan Kebudayaan Melayu terbit tahun 1981. Ini menunjukkan betapa besarnya sumbangan pemikiran yang telah diberikan oleh UU Hamidy untuk menempatkan kebudayaan Melayu di Riau.
Tetapi ironisnya, ketika Visi Riau 2020 dibicarakan di mana-mana dan diagung-agungkan, UU Hamidy tidak diajak untuk menyusun rancangan pembangunan kebudayaan di Riau. Pembangunan kebudayaan pun tampaknya tidak mempunyai konsep yang jelas sebab yang merancangnya bukan orang yang memahami kebudayaan seperti UU Hamidy. Pembangunan kebudayaan seperti pembangunan sektor lainnya lebih bersifat project oriented dan lebih mengutamakan festival-festival yang bersifat mencari popularitas sehingga ini menyebabkan pembangunan kebudayaan tidak berorientasikan nilai-nilai. Bahkan pembangunan kebudayaan cenderung mendistorsi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kebudayaan itu.
Kita sering mengadakan pertunjukkan kebudayaan tetapi kita tidak paham nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan itu. Ini bertentangan dengan apa yang telah dilakukan oleh UU Hamidy. UU Hamidy telah meneliti kebudayaan dan ia ungkapan nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaaan itu. Ia kemudian menuliskannya ke dalam buku untuk kita sebagai pewaris kebudayaan Melayu. Tetapi kita sering malas untuk mengambil rujukan dari buku-buku beliau dalam pembangunan kebudayaan sebab kita lebih suka bersifat asalan dalam pembangunan kebudayaan. Akibatnya, pembangunan kebudayaan Melayu terbengkalai di Riau dan semakin tak jelas arahnya.
Meskipun UU Hamidy telah banyak menulis buku tentang kebudayaan Melayu, karya beliau itu sulit untuk ditemukan sebab sudah lama tidak diterbitkan lagi. Sebenarnya karya-karya UU Hamidy perlu untuk diterbitkan kembali. Karya-karya UU Hamidy sangat berguna untuk dijadikan sebagai rujukan bahan ajar muatan lokal budaya Melayu di sekolah dan perguruan tinggi. Tetapi sayangnya, pemerintah daerah belum menyadari pentingnya penerbitan karya UU Hamidy meskipun para guru muatan lokal Melayu telah menjerit-jerit karena sangat kurangnya buku rujukan untuk mengajarkan kebudayaan Melayu. Kurangnya perhatian pemerintah daerah terhadap penerbitan buku rujukan pengajaran budaya Melayu menunjukkan bahwa program muatan lokal budaya Melayu belum diperhatikan secara serius. Padahal melalui penerbitan dan pendidikan itulah pondasi pengembangan budaya Melayu itu dibangun.
Kedua, konsisten mengangkat budaya Melayu. Saya baru mengenali UU Hamidy secara pribadi sejak menjadi Dekan di FIB Unilak. Ketika FIB Unilak bertekad untuk menghidupkan kembali Jurusan Sastra Melayu —setelah enam tahun tanpa ada mahasiswa— kami meminta petuah dan dukungan dari UU Hamidy. Sikap konsisten beliau untuk mengangkat kebudayaan Melayu, telah memprovokasi jiwa kami untuk terus berjuang menyelamatkan kebudayaan Melayu dengan cara mempertahankan keberadaan Jurusan Sastra Melayu di FIB Unilak. Tanpa dorongan dari beliau, sulit bagi kami untuk mempertahankan Jurusan Sastra Melayu sebab banyak pihak yang tidak peduli dengan keberadaan jurusan itu. Bahkan banyak pula pihak yang berkeinginan untuk menutup jurusan itu sebab dianggap tidak produktif dan tidak sesuai dengan minat bursa kerja. Tetapi sikap konsisten UU Hamidy telah mengembalikan kepercayaan diri kami dan menyadarkan jiwa kami untuk konsisten pula memperjuangan kebudayaan Melayu melalui jalur pendidikan tinggi sebab salah satu upaya untuk membangkitkan kebudayaan Melayu di Riau adalah dengan pendekatan akademis.
Ketiga, dasar keilmuan yang kuat. UU Hamidy lebih dari pada budayawan biasa sebab beliau mempunyai dasar pengetahuan akademis yang kuat. Sebagai seorang dosen tetap di Unri dan dosen luar biasa di beberapa perguruan tinggi di Pekanbaru, UU Hamidy telah membagikan ilmunya kepada kita. Ketika beliau mengajar di kelas, kita dapat melihat betapa sangat dalamnya pengetahuan beliau tentang kebudayaan Melayu. Kita sering merasa sangat kecil bila berhadapan dengan sosok UU Hamidy yang sudah sangat mendalam memahami kebudayaan Melayu. Banyak persoalan kebudayaan Melayu yang tidak terpikirkan oleh kita, tetapi UU Hamidy mampu menjelaskannya. Dengan bekal akademis sarjana dan master yang dimilikinya, UU Hamidy mampu menjelaskan kebudayaan Melayu secara logis dan empiris. Ini menunjukkan bahwa pemikiran UU Hamidy tentang kebudayaan Melayu perlu kita hargai dan dijadikan rujukan bila kita berbicara tentang Melayu.
Keempat, kesederhanaan dalam hidup. Ketika suatu hari saya membawa salah seorang pengurus adat berkunjung ke rumah UU Hamidy, beliau terkejut sambil berkata kepada saya, “Apakah ini rumah Pak UU Hamidy? Sederhana ya, padahal beliau kan seorang budayawan ternama Riau.” Saya hanya menjawab dengan sederhana sambil menahan nafas “ya”. Ketika kami berbicara dengan UU Hamidy, terlihat beberapa kali UU Hamidy memukul meja karena beliau sangat semangat berbicara tentang nasib kebudayaan Melayu dan beliau pun telihat muak melihat pembangunan kebudayaan di Riau. Akhirnya pengurus adat Riau itu pun mengakui bahwa ia pun sangat tidak paham dengan arah pembangunan kebudayaan di Riau padahal pengurus adat mestinya memahami itu.
Dari kehidupan UU Hamidy terlihat bahwa beliau adalah seorang tokoh budaya yang sangat agung tetapi beliau lebih memilih sikap sederhana karena bagi beliau nilai-nilai budaya Melayu telah membuatnya bahagia hidup di dunia ini. Beliau adalah budayawan yang tidak mau terpengaruh oleh kepentingan politik tertentu. Bagi beliau kebudayaan itu tidak bisa ditundukkan oleh kepentingan politik, tetapi bagi beliau justru tokoh budaya yang seharusnya meluruskan prilaku politik yang menyimpang atau tidak sesuai dengan budaya Melayu.
UU Hamidy memang telah pensiun sebagai seorang dosen PNS di Universitas Riau pada 1 Desember 2008. Kita percaya bahwa dengan sikap konsistennya UU Hamidy akan terus memberikan perhatiannya kepada bengkalai-bengkali budaya dan sastra di Riau. Sekalipun kita tidak mau memperhatikan beliau karena kita terlalu sibuk dengan urusan yang lain, UU Hamidy akan tetap memperhatikan kebudayaan kita. UU Hamidy akan terus mengamati kebudayaan dan sastra dari jauh meskipun kita tidak menyadarinya sebab kita lebih menyadari aspek materi dalam pembangunan kebudayaan. UU Hamidy telah meletakan pondasi kebudayaan Melayu Riau, sekarang tugas kita untuk menjaga dan mengembangkan kebudayaan Melayu.***
Dr Junaidi SS MHum, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning dan Dosen S2 Ilmu Komunikasi Universitas Muhamadiyah Riau. Tinggal di Pekanbaru.
Sumber: http://www.sagangonline.com