Bandung, Jabar - Adalah Udjo Ngalagena atau dikenal sebagai Mang Udjo, seorang putra dari tanah sunda yang memutuskan mengabdikan hidupnya untuk melestarikan angklung dan budaya sunda. Semasa muda, Mang Udjo gemar mempelajari musik dan lagu sunda, pencak silat, dan tari- tarian sunda. Mang Udjo yang lahir pada tahun 1929, pada tahun 1966 mulai merintis pembangunan Saung Angklung Udjo, tempat pelestarian dan pendidikan angklung dan budaya sunda di Indonesia.
Sama dengan Walter Elias Disney, cita–cita dan mimpinya mendirikan Walt Disney terwujud setelah meninggal dunia. Begitu juga dengan Mang Udjo, cita-cita dan mimpinya terwujud membangun Saung Angklung Udjo ketika tua dan meninggal dunia. Keduanya sama-sama memegang teguh prinsip bekerja dan hidup dengan rasa cinta terhadap apa yang dikerjakannya.
Hasilnya, 4 tahun lalu angklung resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda dari Indonesia oleh UNESCO, badan dunia yang mengurusi seputar budaya di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Selanjutnya tanggal 16 November ditetapkan sebagai hari angklung sedunia. Saung Angklung Udjo memberikan peranan besar terhadap penetapan ini.
Saung Angklung Udjo setiap hari menampilkan panggung pertunjukan kombinasi drama musikal tradisional, teater, tarian, dan musik angklung bagi para tamu. Dengan tiket yang cukup terjangkau, Rp 60.000 untuk turis domestik dan Rp 100.000 untuk turis luar negeri. Pelajar diberi tiket khusus, Rp 40.000. Tiket termasuk minuman dan souvenir berupa liontin bambu berbentuk angklung.
Tempatnya pun nyaman. Selain panggung yang besar dengan tata suara dan cahaya yang apik, di Saung Angklung Udjo para tamu bisa belanja beraneka ragam souvenir khas Indonesia. Tersedia kafe dan kantin buat tempat makan dan beristirahat para tamu. Tempatnya pun rindang, nyaman buat hanya sekedar menikmati udara sejuk Bandung.
Untuk mempertahankan alat musik bambu ini, Saung Angklung Udjo juga mendirikan kelas pendidikan musik, tarian, dan angklung. Muridnya mulai dari anak-anak sampai mahasiswa dan tanpa dipungut biaya. Adin, salah satu muridnya di Saung Agklung Udjo mulai belajar angklung dan alat musik sunda lainnya sejak 5 tahun lalu. Sekarang, Adin duduk di kelas 5 SD. Rumahnya kebetulan tak jauh dari Saung Angklung Udjo dikawasan Padasuka, Bandung.
“Nggak ada yang maksa, saya mau sendiri”, katanya.
Setiap hari Adin bersama sekitar 200 murid belajar di kelas selama sekitar 1,5 jam. Suasana kelas sengaja dibikin bermain agar anak-anak senang. “Nggak ada yang galak. Kalau bolos juga paling di skor aja," ucapnya.
Kembali ke filosofi awal, bekerja dengan cinta. Walau tanpa bayar dan dibayar, saat ini Saung Agklung Udjo sudah mencetak sekitar 500 murid yang sudah menyebar ke seluruh dunia. Bukan hanya di Bandung, Saung Angklung Udjo sering kali mewakili Indonesia di ajang Internasional.
Mendidik anak-anak tentang musik dari angklung juga bukan hal yang mudah. Sebenarnya tidak semua lagu bisa dimainkan dengan angklung. Makanya sejak tahun 1935, Pa Daeng Soetigna mengembangkan angklung menjadi nada diatonis atau dikenal tangga nada "do re mi fa sol la si do".
Tidak jelas kapan angklung ini mulai ada. Sejauh ini angklung diperkirakan sudah mulai ada sejak 18 abad silam. Angklung berasal dari suku Baduy yang merupakan masyarakat sunda asli. Sejarahnya, angklung bagi masyarakat Baduy dianggap sakral. Tidak sembarang waktu angklung boleh dibunyikan yaitu hanya saat awal musim menanam padi. Beberapa kalangan menengarai angklung adalah bagian dari budaya ritual hinduisme di nusantara.
“Angklung adalah bunyi-bunyian alam dari sebongkah bambu”. Begitulah sebait syair yang dilantunkan di panggung Saung Angklung Udjo dalam memperingati 4 tahun angklung diakui sebagai warisan dunia. Bunyi-bunyian alam yang menandakan keindahan yang akan abadi karena bersinergi dengan cinta sang manusia.
Ketika ditanya sampai kapan Adin akan di Saung Angklung Udjo? Dengan tersenyum simpul khas anak kecil Adin menjawab, ”Sampai tua saya akan di Saung Udjo he he he “.
Sumber: http://travel.kompas.com