Wates, DIY - Kebersamaan mensyukuri nikmat yang telah diberikan Sang Pencipta, adalah makna yang tersirat dalam ritual Kembul Sewu Dulur. Tradisi yang telah ratusan tahun itu digelar kembali oleh masyarakat yang tinggal di kawasan Perbukitan Menoreh di Dusun Turusan, Desa Pendoworejo, Girimulyo, Rabu (9/12/2015).
Bersama menikmati hidangan ala kadarnya berupa ingkung ayam yang dimasak gurih, nasi gurih atau nasi uduk dengan taburan ubo rampe khas nasi kenduri. Menu sederhana yang disajikan dengan tenong dan daun pisang. Beralaskan tikar di pinggiran Kali Tempuran, Bendung Kayangan, ratusan warga tumpah ruah di sepanjang sungai tersebut.
“Upacara Kembul Sewudulur adalah sebuah kebersamaan, dan menggambarkan kesederhanaan masyarakat sekitar. Bersama-sama menikmati hidangan ini di pinggir sungai sebagai upaya membangun keakraban antar warga,” ujar Pemangku Adat setempat Sri Mulyono.
Di balik perbukitan rindang di desa ini, ternyata tersimpan sejarah tentang masyarakat agraris Kulonprogo di sisi utara. Mulyono mengisahkan, desa tersebut memiliki sistem pengairan yang cukup vital di masa sebelum dibangunnya Selokan Mataram.
Bendung Kayangan, di mana terdapat pertemuan sungai yakni Sungai Ngiwo dan Sungai Kledung. Derasnya aliran air yang ada di wilayah itu menjadi sumber penghidupan bagiblahan pertanian kaki perbukitan Menoreh. Pada masa kolonialisme, dibangunlah sebuah bendungan untuk memberikan sistem pengairan yang lebih baik bagi warga sekitar.
Namun, bendungan yang dibuat sempat rusak, padahal kedalaman air di bendungan tersebut bisa mencapai sepuluh meter. Seiring tak lagi dianggap bermanfaat, Bendung Kayangan mulai ditinggalkan, meski demikian ritual saparan kenduri Kembul Sewu Dulur dan Ngguyang Jaran tetap dilakukan untuk melestarikan budaya yang telah turun temurun diwariskan. Ritual inipun tidak hanya berkembang sebagai upacara adat, tetapi menjadi wadah tirakatnya para penggiat seni rupa.
Berbagai karya seni rupa dilukiskan di tengah suasana keakraban Kembul Sewu Dulur dan diiringi musik gamelan serta pertunjukan jathilan. Ngguyang Jaran juga menjadi salah satu daya tarik utama dari penyelenggaraan tradisi tersebut. Ngguyang adalah istilah yang digunakan warga untuk menampilkan ritual pembersihan jaran kepang atau kuda lumping.
“Jathilan adalah kesenian rakyat yang sebagian besar berkembang di desa kami. Jadi kesenian ini merupakan potensi yang terus kami pertahankan. Tidak hanya sebagai bentuk pelestarian, tetapi juga sebagai daya tarik dari tradisi ini,” jelas Mulyono.
Sumber: http://www.harianjogja.com