Surabaya, Jatim - Globalisasi bisa menjadi ancaman terhadap eksistensi warisan budaya. Jika terlena dengan arus globalisasi yang makin canggih, upaya melestarikan warisan budaya bisa semakin terkikis. Baik warisan budaya benda maupun warisan budaya tak benda.
Prof L Dyson, pengajar mata pelajaran Antropologi Unair menjelaskan sejauh ini banyak hal terkait kebudayaan yang dipatenkan. Baik secara nasional maupun internasional.
"Penetapan karya ini agar diakui secara internasional, tetapi juga perlu dipertimbangkan sejarahnya. Jangan satu orang mematenkan bentuk rumah adat. Karena itu milik semua ras yang memiliki adat itu," tuturnya dalam diskusi Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) di Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Unesa, Minggu (6/12/2015).
Ia pun menjelaskan harus ada pencatatan warisan budaya dari pemerintah daerah. Hingga menjadi usul untuk tercatat sebagai budaya provinsi. Sejak tahun 2009 hingga 2015 Direktorat Kebudayaan telah menetapkan 4.970 karya budaya.
Sedang Pembantu Dekan I Universitas Negeri Surabaya Agus Supriono menambahkan upaya revitalisasi warisan budaya benda dan warisan budaya tak benda menjadi keharusan. Itu membutuhkan peran pendidikan.
"Pendidikan punya peran strategis dan menjadi tempat persemaian benih-benih kebudayaan," jelasnya.
Menurut Agus, warisan budaya bisa beragam bentuknya. Bukan hanya berupa objek benda, tapi juga tradisi dan ekspresi budaya dari nenek moyang.
Ketua IAAI Komisariat Daerah Jawa Timur, Y Hanan Pamungkas menandaskan forum diskusi yang diselenggarakan itu diharapkan bisa menjadi ajang tukar pendapat antara organisasi profesi, ahli, dan masyarakat yang peduli dengan warisan budaya.
Sumber: http://surabaya.tribunnews.com