Kopi Tubruk Simbol Pergerakan Nasional

Oleh Andreas Maryoto

Para penikmat kopi banyak yang terbuai dengan ”kemewahan” berbagai minuman kopi yang dihidangkan ala Italia. Cara menghidangkan kopi tradisional, salah satunya adalah kopi tubruk, banyak dilupakan. Padahal, kopi tubruk ini sempat dijadikan simbol pergerakan nasional ketika mahasiswa-mahasiswa Indonesia menimba ilmu di Belanda.

Dalam sebuah pertemuan Perhimpunan Indonesia di Leiden seperti yang diberitakan tanggal 3 Oktober 1927 oleh jurnalis media Bintang Timoer yang tengah melancong ke sejumlah negeri di Eropa, Abdul Rivai, dikisahkan sejumlah mahasiswa Indonesia dari berbagai kota di Belanda, seperti Den Haag, Leiden, Delft, Rotterdam, dan Wageningen, tengah berkumpul.

Dalam pertemuan itu, semua tata cara, kebiasaan, dan berbagai atribut diusahakan berciri nationaal. Beberapa nationaal yang disebut, antara lain, adalah bahasa yang dipakai bahasa Jawa dan Melayu (untuk menyebut tidak menggunakan bahasa Belanda), berbagai makanan yang dihidangkan juga khas Indonesia, cara makannya juga menggunakan tangan (tidak menggunakan sendok), dan mereka bekerja gotong royong dari mulai urusan menyiapkan makanan sampai urusan bersih-bersih. Hanya pakaian yang disebut tidak nationaal.

Dari berbagai makanan dan minuman yang dihidangkan, salah satu yang menarik adalah kopi tubruk. Di dalam berita Bintang Timoer yang telah dibukukan dengan judul ”Student Indonesia di Eropa” dengan ejaan yang sudah diperbarui itu tertulis, ”Kopinya bukan kopi saringan, tetapi kopi tubruk sebab kopi ini katanya nationaal, gulanya gula Jawa. Susu tidak dipakai sebab tidak nationaal. Rokoknya kelobot. Selamatan nationaal ini terus sampai pagi hari.”

Aroma pergerakan nasional memang sangat kuat di tengah aroma kopi tubruk itu. Untuk menambah kekuatan pergerakan, digunakanlah berbagai simbol, termasuk ragam kuliner yang dihidangkan dalam setiap pertemuan pun sedapat mungkin menggelorakan semangat itu. Kopi menjadi salah satu menu yang digunakan sebagai sebuah simbol.

”Sebenarnya ini hanyalah persoalan selera. Menu Barat tak bisa bersambung dengan lidah mereka. Mereka dibesarkan tidak dengan menu Eropa, jadi di mana pun mereka berada tetap citra rasa tradisional Nusantara melekat dengan mereka alias tak bisa diganti. Untuk urusan makanan dan minuman tak semudah mengganti sarung dengan pantalon,” kata sejarawan Universitas Negeri Medan, Ichwan Azhari.

Meski makanan dan minuman bersifat kebutuhan elementer, pada saat yang sama para mahasiswa Indonesia di Belanda itu membutuhkan simbol ketika mereka ingin mengungkapkan perasaan nasionalisme mereka.

”Mereka mencari simbol nasionalisme dan perasaan solidaritas sebuah negeri melalui media makanan. Kebetulan lagi enak-enaknya meminum kopi, mereka mempunyai ide nasionalisme. Dari sekadar kebutuhan dasar, makanan menjadi media yang bisa mempersatukan mereka,” kata Ichwan.

Pilihan makanan dan minuman juga dinilai strategis. Ungkapan nasionalisme dalam bentuk makanan makin sulit dibaca oleh polisi Belanda yang sering memata-matai gerakan mereka.

Alasan

Dengan cara itu, polisi tak mempunyai alasan yang kuat untuk menangkap mereka. Sekadar catatan, saat itu Pemerintah Belanda sangat ketat memata-matai pergerakan mahasiswa Indonesia yang dikhawatirkan teracuni ide-ide revolusioner pasca-Revolusi Bolshevik di Rusia tahun 1917. Bahkan, sejumlah mahasiswa pernah dituduh mendapat bantuan dana dari Moskwa.

Para mahasiswa juga menggunakan kopi tubruk untuk memperlihatkan identitas mereka. Pilihan mereka sangatlah tepat karena cara menghidangkan minuman kopi tubruk ini khas Indonesia.

Istilah kopi tubruk hingga sekarang dikenal di dunia internasional untuk merujuk pada penghidangan kopi yang masih dilakukan di Indonesia. Setidaknya di internet disebutkan ”kopi tubruk is an Indonesian-style coffee similar in presentation to Turkish coffee. However, kopi tubruk is made from coarse coffee grounds, and is boiled together with a solid lump of sugar. It is popular on the islands of Java and Bali and their surroundings”.

Kopi tubruk adalah minuman kopi khas Indonesia yang penyajiannya mirip dengan kopi Turki. Kopi tubruk terbuat dari bubuk kopi yang dijerang bersama dengan gula (dulu menggunakan gula batu). Kopi ini terkenal di Jawa, Bali, dan sekitarnya.

Dari berbagai sumber tentang cara menghidangkan minuman kopi, dikenal empat cara menghidangkan kopi, yaitu dengan pemanasan, perendaman, gravitasi, dan tekanan.

Kopi tubruk itu sendiri termasuk ke dalam cara menghidangkan kopi dengan pemanasan. Cara ini merupakan cara yang sederhana, yaitu mencampur kopi dengan gula kemudian diberi air panas. Untuk mendapatkan pencampuran yang baik, dilakukan pengadukan. Ciri khas kopi ini adalah adanya endapan kopi di dalam cangkir atau gelas.

”Pemanasan itu untuk mengekstraksi, mengeluarkan senyawa volatil klorogenat yang membuat aroma khas kopi itu muncul. Semakin panas air semakin muncul aromanya. Untuk mendapat kopi yang enak, sebaiknya tidak langsung ditaruh gula dulu. Biarkan bubuk kopi dan air panas bercampur hingga aroma itu muncul. Baru setelah itu diaduk dengan gula,” kata penikmat kopi dan ahli pangan dari Universitas Santo Thomas, Medan, Posman Sibuea.

Sayang sekali kopi tubruk ini kemudian kalah populer dengan berbagai minuman kopi yang dihidangkan ala Italia. Pembuatan minuman kopi ala Italia ini muncul setelah teknik penghidangan dengan menggunakan tekanan atau lebih dikenal dengan nama espresso pada awal abad ke-20. Dari pengembangan pembuatan minuman ini kemudian muncul mesin espresso yang dipatenkan oleh Luigi Bezerra pada tahun 1901. Selanjutnya pengembangan dari karya Bezerra ini muncul mesin kopi espresso. Dari kopi espresso ini kemudian dikembangkan berbagai minuman kopi, seperti latte, capucino, macchiato, moka, dan lain-lain.

Tersingkir

Persoalan pilihan gaya hidup sangat mungkin menjadikan kopi tubruk tersingkir. Di warung kopi pun kebanyakan minuman kopi disajikan dengan menyaring endapannya. Tak sedikit pula yang membuat kopi dengan menggunakan kopi instan yang memang tidak akan memunculkan endapan kasar di bagian bawah cangkir atau gelas.

Apalagi kalau kita melihat pilihan-pilihan minum kopi warga perkotaan, yang lebih dikenal adalah latte, capucino, macchiato, dan moka, sehingga kopi tubruk makin terpinggirkan.

Mengapa demikian?

Pertama, sesuatu yang jamak mereka merasa lebih bangga bila makan atau minum sesuatu yang berasal dari luar negeri. Gengsi sepertinya naik ketika minuman mulai masuk ke mulut. Sepertinya meski kita sudah bebas dari penjajahan, penjajahan lidah masih terjadi. Malah, dalam hal pilihan gaya hidup, kita yang mengundang penjajah itu.

Kedua, memang harus diakui kopi tubruk relatif tidak praktis. Para peminum kopi tubruk kadang harus mengelap bibir karena lumpur kopi itu kadang tersisa di bibir. Peminum kopi tubruk kadang juga harus berhati-hati agar endapan lumpur itu tidak ikut terminum.

Akan tetapi, apa pun kenyataannya, istilah kopi tubruk terkenal di sejumlah sumber yang membahas mengenai penyajian kopi. Nah, menjadi aneh kalau kita sendiri meninggalkan kekayaan kuliner itu. Apalagi kopi tubruk memiliki sejarah yang terkait dengan pergerakan nasional, sebuah gerakan menuju kemerdekaan negeri ini.

Sumber: http://cetak.kompas.com
-

Arsip Blog

Recent Posts