Potret Antropologis Petalangan

Oleh UU Hamidy

1. Alur Cerita
Novel Lelaki Pembawa Kain Kafan karangan Griven H Putera digambarkan dengan alur cerita bolak-balik. Rangkaian peristiwa dengan teknik alur serupa itu pada pembukaan cerita memang akan menyentak perhatian pembaca.

Sebab, cerita dibuka dengan suatu peristiwa yang bersifat mengejutkan. Tetapi bagi pembaca yang terbiasa membaca cerita menurut alur lurus tradisional, akan agak sulit mengikuti jalan cerita, sebelum dia mengetahui bagaimana susunan cerita itu secara kronologis. Pengarang memulai cerita atau novel ini kira-kira pada bagian tiga perempat jalan cerita yang kronologis.

Demikianlah, novel dibuka dengan tetawak (gong besar) yang menimbulkan kegemparan kepada semua penduduk kampung yang mendiami daerah aliran sungai yang masih terkesan lestari dengan rimba belantara serta kekayaan alamnya. Gambaran perkampungan di tepi rimba belantara itu benar-benar membayangkan perkampungan puak Melayu Petalangan. Kegemparan itu barasal dari menghilangnya seorang warga yang dipanggil Pak Jupen, di kampung Dusun Torok. Penduduk memukul canang sepanjang kampung, memberitahukan kecemasan ini, sambil mencari sosok yang hilang sepanjang tebing sungai serta semak belukar di pinggir dusun.

Kemudian novel mengisahkan siapa sebenarnya orang yang dipanggil Pak Jupen ini. Pak Jupen adalah panggilan kepada seorang pegawai pemerintah yang bertugas sebagai juru penerangan. Dia berkelana dari kampung ke kampung di daerah aliran sungai, memberikan penerangan kepada masyarakat. Cukup banyak perkara yang diterangkan oleh Pak Jupen kepada khalayak.

Di antaranya tentang kebersihan, bekerja sebaik mungkin, hidup dengan layak dari pencaharian yang halal, berpikir yang jernih dan punya akhlak mulia dalam iman yang teguh. Semuanya ini disampaikannya dengan penampilan yang menarik, didramatisir dengan gerak yang memukau, sehingga setiap dia membe rikan penerangan, warga kampung datang berduyun-duyun menghadirinya, bagaikan menonton layar tancap.

Rupa-rupanya Pak Jupen ini telah melalui lintasan hidup yang cukup panjang sebelum dia sampai menjadi juru penerangan dan tersadai di kampung ini pada usianya yang sudah tua. Dia telah menjadi pedagang yang cukup berhasil di daerah Kepulauan Riau. Mula-mula menjadi penjual obat keliling antar pulau, lalu pindah menjadi pedagang kain. Dengan keberhasilan itu, sebenarnya dia bisa hidup bahagia menikmati selera dunia yang gemerlapan di daerah perairan itu. Tapi akidahnya yang kokoh dalam keimanannya, membuat dia mampu memelihara dirinya dengan rahmat petunjuk dan perlindungan dari Allah SWT.

Kemudian dia pulang kampung. Diminta oleh temannya yang jadi camat untuk ikut memelihara kampung yang sering mendapat huru-hara dari para petualang yang memakai ilmu gaib. Dia diangkat menjadi juru penerangan. Karena keberhasilannya sebagai juru penerangan, maka dia diminta memberikan penerangan pada wilayah kecamatan tebing sungai lainnya. Pada perkampungan yang lain ini lebih banyak lagi manusia bajingan. Manusia yang mengamalkan ilmu setan seperti keputing gayung, tinggam, tuju, kipas senandung, paramayo, punting, dsb. Maka berceramah pulalah dia dari dusun ke dusun sepanjang tebing sungai, sehingga sampailah pada Dusun Torok yang menyimpan timbunan misteri dan takhayul.

Pak Jupen menjadi tokoh yang sangat disenangi oleh penduduk kampung, ceramahnya selalu ramai dikunjungi. Dia juga mendapat layanan yang memadai dari warga dusun berupa bahan makanan dari penduduk yang hidup sebagai petani dan nelayan. Tapi tidak demikian halnya dengan para dukun yang mengambil jalan kidal, yang tadi dikatakan mengamalkan ilmu setan. Pak Jupen diserang terus oleh dukun sihir ini dengan berbagai cara kekuatan gaib. Untuk menghindar dari serangan yang tak kunjung usai ini, Pak Jupen kemudian menghilang. Tetapi setelah menghilang dari serangan itu, ternyata dengan kehendak Allah, sejumlah dukun sihir ini mati secara misterius.

2. Potret Antropologis
Novel ini memberikan gambaran yang cukup berharga, bagaimana tingkahlaku budaya puak Melayu pada umumnya atau puak Melayu Petalangan khasnya. Pertama puak Melayu punya tradisi memukul tetawak (gong) apabila terjadi peristiwa yang menggemparkan. Gong akan dipukul apabila ada orang tenggelam (mati hanyut), orang diterkam harimau dan orang hilang atau tersesat di rimba belantara. Di Petalangan, tetawak juga dibunyikan, kalau tertangkap ada orang berzina dan bila terjadi gempa. Gong dipukul agar khalayak segera berkumpul. Setelah itu akan diberikan pertolongan jika ada marabahaya. Untuk menyampaikan apa yang terjadi, maka dipukul pula canang kepada seluruh penjuru kampung.

Gambaran antropologis puak Melayu seperti yang direkam oleh novel ini, paling kurang masih berlaku sampai tahun 1950-an. Sementara lukisan alam semula jadi di daerah Petalangan tergambar dalam novel dengan bermacam jenis kayu, binatang, burung dan ikan, yang biasa terkait dalam kehidupan sosial budaya orang Melayu. Puak Melayu yang hidup sebagai petani dan nelayan tergambar melalui sungai­-sungai kecil dengan rumah-rumah di atas rakit yang sekaligus menampilkan alat penangkap ikan yang mereka pakai. Gubuk atau pondok terbuat dari dinding kulit kayu atau pelupuh dari bambu dengan atap rumbia, mengkanang, mengkuang, bahkan dari jerami atau ilalang. Gubuk yang di atas rakit berpindah menurut tempat nelayan menangkap ikan. Sedangkan pondok di ladang akan ditinggalkan setelah padi dituai. Sungguh suatu gambaran kehidupan dengan budaya yang amat alami, yang niscaya akan segera hilang ditelan oleh ular budaya globalisasi. Namur potret kecilnya ini barangkali masih tersisa sedikit di perkampungan Petalangan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan.

Gambaran alam lingkungan dan budaya itu dilengkapi oleh novel dengan alam pikiran yang masih karut, yakni animisme-hinduisme. Mereka mempercayai rimba belantara adalah perkampungan bahkan istana makhluk halus, dengan orang bunian sebagai mahkluk halus yang paling terkenal. Minda atau alam pikiran serupa itu telah menyuburkan tradisi Melayu yang menjaga hubungan manusia dengan alam melalui berbagai upacara. Maka peranan dukun menjadi dominan, sebab mereka dipandang mampu menerangkan misteri alam, di samping bisa menangkal dan menjinakkan alam. Pada masa dulu, berbagai tanaman yang dipakai ramuan obat oleh dukun, dipelihara dan dilestarikan oleh orang Melayu.

Dukun Melayu yang memakai jalan kidal atau ilmu setan mendatangkan malapetaka kepada yang dipandang musuh dengan berbagai cara. Yang paling sederhana ialah racun, yang terbuat dari getah kayu dan miang. Tapi juga dipercayai melalui sejenis binatang sebesar cecak. Sedangkan untuk melancarkan serangan sihir dipakai antara lain telur ayam, jarum berkarat, limau mentimun, serbuk kaca dan bunga kayu. Malapetaka yang berlaku oleh perbuatan sihir dukun ini bermacam-macam, di antaranya: kaboji (benci pada suami atau isteri), penyakit menahun, kolau (tak dapat jodoh sampai tua) jadi dungu dan penurut, bahkan bisa mendatangkan mati mendadak.

3. Hak Lawan Batil
Medan komplik dalam novel Lelaki Pembawa Kain Kafan, sebenarnya merupakan pertarungan antara yang hak melawan yang batil. Pak Jupen sebagai tokoh protagonis dengan akidah yang kokoh berhadapan dengan Ncik Soma serta para dukun sihir lainnya sebagai tokoh antagonis. Sementara itu proses islamisasi yang belum selesai dalam masyarakat puak Melayu, menjadi latarbelakang medan tempur, menyabung pertarungan antara dua kekuatan ini.

Kedudukan Ncik Soma dan kawan-kawannya sangat dominan dalam kehidupan masyarakat yang masih lemah imannya, bahkan masih karut akidahnya. Akidah yang lemah itu membuat para dukun yang mengamalkan ilmu gaib jalan setan terpelihara dan memainkan peranan yang cukup menentukan. Dengan pandangan para dukun serupa itu, kekuatan makhluk halus seperti orang bunian, jin, peri, jembalang dan berbagai nama hantu, dipercayai dapat mengatasi kekuatan manusia. Jadi meskipun mereka percaya Allah SWT, tetapi mereka masih yakin dapat bersandar kepada kekuatan makhluk halus, untuk mencapai tujuan dan hajatnya. Kepercayaan serupa itu membuat para dukun mendapat berbagai keuntungan dan kemudahan terhadap para warga, sehingga mereka dengan leluasa dapat memuaskan hawa nafsunya. Ncik Soma sendiri lebih suka hidup membujang di atas rumah rakitnya, karena ingin bebas ke hulu atau ke hilir sungai menurut keinginan hatinya. Dalam pandangan dia lebih banyak betina daripada perempuan.

Sementara itu kedatangan Pak Jupen ke Dusun Torok, tidak dapat dibiarkan begitu saja oleh para dukun ini. Dunia dukun jalan kidal adalah dunia petualangan sebagaimana ajaran Iblis yang menjadi guru besar para setan. Dunia mereka adalah dunia hulubalang, selalu mencari lawan tanding. Maka begitu Pak Jupen hadir di dusun mereka, semua jurus ilmu gaib harus dicobakan padanya. Apalagi Pak Jupen sulit untuk diracun, karena tidak makan-minum di sembarang tempat.

Ketegangan atau konflik itu semakin memuncak, ketika Pak Jupen semakin besar pengaruhnya serta mendapat sambutan yang luar biasa dari khalayak. Masyarakat merasa tercerahkan oleh Pak Jupen, karena hampir segala pesan ceramah Pak Jupen berpijak kepada ajaran Islam yang benar. Penampilannya semakin banyak mengambil hati masyarakat. Ini menjadi berbanding terbalik dengan kepentingan para dukun. Sejalan dengan niat dan kebaikannya, Pak Jupen mendapatkan pula berbagai kebaikan dari kalangan masyarakat. Tak heran, jika banyak perempuan kampung baik janda maupun gadis ingin dipinang oleh Pak Jupen, walaupun sebagai isteri kedua.

Di seberang sana penampilan Ncik Soma dan kawan-kawannya berlawanan dengan penampilan jujur dan akhlak mulia Pak Jupen. Ncik Soma dan kawan-kawannya memakan masak-mentah serta melakukan apa saja yang disukainya, apakah itu memberi kebaikan atau mendatangkan malapetaka. Kehadiran juru penerangan ini semakin mendesak kedudukan para dukun, membuat masyarakat semakin segan memberikan bantuan padanya (kecuali karena ketakutan atau terdesak). Pada gilirannya para dukun akan dipandang hina oleh masyarakat, sehingga akhirnya mereka akan ditinggalkan oleh warganya. Ini tidak boleh terjadi. Karena itu Pak Jupen harus dibinasakan.

Meskipun Pak Jupen telah mendapat sambutan yang cukup baik dari penduduk dusun, namun dia boleh dikatakan berjihad seorang diri. Pihak pemuka masyarakat seperti kepala desa, imam masjid dan pak guru, meskipun menyokong kegiatannya, tapi mereka juga tak berdaya memberikan perlindungan yang memadai pada Pak Jupen. Hal ini tak mengherankan. Serangan para dukun terbadap Pak Jupen, bukanlah pertama-tama dalam bentuk serangan fisik, yang dapat dikenal dengan mudah oleh panca indera. Serangan berupa kekuatan sihir itu bisa tidak mengenal ruang dan waktu dan amat sulit ditandai. Akibatnya amat sulit mendapat bantuan dari pihak mana saja.

Menyadari keadaan medan jihad yang demikian, maka Pak Kahar — yakni nama Pak Jupen — benar-benar telah menyiapkan hidup dan matinya untuk menegakkan yang hak serta mencegah yang batil. Dia tak ingin lagi pulang kampung. Bahkan juga untuk kembali pada anak isterinya. Dia mempergunakan sisa umurnya yang sudah tua untuk berjihad membela kebenaran, walau nyawa padahnya. Dia seakan telah mendapat firasat, bisa mati sendirian dalam pertarungan ini. Karena itulah agaknya, dia telah menyediakan kain kafan di dalam tasnya, yang selalu dibawa ke mana-mana. Maka ketika ajal tiba, dia pikir tak susah lagi orang menyelenggarakan penguburannya. Sebab di daerah Petalangan itu, memang sulit mendapatkan kain kafan.***

UU Hamidy adalah kritikus, dosen bahasa-sastra, dan budayawan Riau. Puluhan bukunya tentang sastra dan budaya telah terbit. Tinggal di Pekanbaru.

Sumber: http://www.sagangonline.com
-

Arsip Blog

Recent Posts