Rampak Melayu dalam Panggung Serantau

Sebuah eksplorasi dan reka cipta tarian Melayu yang mulai dilupakan.

Pokok beringin daunnya lebat
Ditanam orang di negeri Siam
Kami ingin berkenal dekat
Di mana rumah tempat berdiam

Lebat daunnya di pokok beringin
Akar menjuntai sempat ke bawah
Jika itu yang Cik Abang ingin
Tanyakan saja pada Toke

Gelak tawa berhambur cicit-mencicit dari mulut sekelompok ronggeng Melayu. Mereka berhimpun satu sama lain mengelilingi seorang Cina totok yang mereka sebut Toke. Perempuan penghibur itu sangatlah rupawan. Sampai-sampai tiga lelaki hidung belang itu mabuk kepayang ingin bertegur sapa.

Pantun berlarik-larik mereka lantunkan demi menarik hati. Ronggeng itu membalasnya satu demi satu. Rupanya tak semudah itu mereka mendapatkannya. Untuk menggunakan jasa para penghibur, mereka harus membeli tiket dari Toke.

Begitulah dialog terjadi antara Toke dan tiga lelaki hidung belang itu. Salah satu cuplikan teatrikal berjudul Berbalas Pantun dalam pertunjukan Panggung Melayu Serantau, pada Jumat malam pekan lalu, di Teater Luwes Institut Kesenian Jakarta. Pergelaran tarian Melayu tersebut digarap oleh koreografer ulung Arison Tom Ibnur.

"Tari Melayu tak lagi populer sejak Orde Baru," kata Tom. Padahal, semasa pemerintahan Bung Karno pada 1950-an, tari Melayu, seperti Serampang Dua Belas atau Mak Inang Pulau Kampai, dikukuhkan menjadi tarian nasional. Kedua tari karya maestro tari Melayu, Sauti, tersebut digarap dengan sangat rampak pada pementasan kali ini.

Keberadaan ronggeng, kata Tom, tak hanya ada di Jawa. Masyarakat Melayu juga menyebut perempuan penghibur ini sebagai ronggeng. Bahkan hingga saat ini masih bisa ditemui di desa-desa kecil masyarakat Melayu. Tak dimungkiri bahwa peran ronggeng selalu identik dengan prostitusi. Namun masih ada juga yang hanya berlaku sebagai perempuan penghibur.

Tom mengatakan filosofi tarian Melayu tak kalah kaya dibanding tarian Jawa. Serampang Dua Belas, misalnya, yang mengisahkan perjalanan cinta sepasang muda-mudi. Terdapat 12 tema yang bercerita seputar muda-mudi tersebut memulai pendekatan dan akhirnya merajut pernikahan. Apabila mereka sudah saling mengaitkan sapu tangan masing-masing, pertanda pernikahan telah mereka lakukan.

Berangkat dari sebuah tarian rakyat, Serampang Dua Belas berkembang di seluruh Kepulauan Nusantara, termasuk Malaysia dan Filipina. Sang kreator Sauti kemudian memolakannya sehingga tarian tersebut bisa dipelajari dan dikembangkan. "Saya khawatir pakem-pakem yang sudah dibuat oleh Sauti itu menjadi usang dan tidak diperhatikan lagi sebagai khazanah Indonesia," ujar Tom.

Menurut Tom, pergelaran ini salah satu cara mereka cipta sekaligus mereaktualisasi keberadaan tari Melayu. Tom menampilkan enam komposisi tari karyanya sendiri ataupun karya Sauti. Diawali dengan Sembah Makan Sirih, tarian persembahan sekapur sirih sebagai simbol rasa hormat bagi tetamu dalam sebuah perhelatan. Para penari perempuan membawa tempat sirih dan rangkaian bunga menunjukkan keramahan dan kehalusan budi. Penari pria dengan gagah membawa payung emas bertingkat yang menunjukkan kemegahan budaya Melayu. Gerakan tari kemudian berakhir dengan mempersembahkan sirih tersebut kepada para tamu.

Ada pula tari Zapin Dana Bedana. Tarian yang semula dibawa para saudagar Arab ini telah diadopsi seutuhnya oleh masyarakat Melayu. Tari Zapin menunjukkan kegembiraan muda-mudi. Pada awalnya kaum perempuan tak diperbolehkan menari Zapin. Tapi masyarakat Melayu telah memperbolehkannya. "Saya coba libatkan perempuan menari Zapin tapi masih dalam tata krama dan sopan santun Melayu," kata Tom.

Bermula dari gerakan dua penari laki-laki, salah satunya Tom, di atas sebuah permadani. Mereka beradu gerak, saling melengkapi hingga membentuk semacam dialog dalam gerakan. Alas permadani yang digelar bukan tanpa alasan. Karpet indah ini menunjukkan kepiawaian penari. Barang siapa yang mampu menari di atas karpet tanpa terlipat, sudah lihailah mereka. Tingkatan selanjutnya, mereka boleh menggunakan alas rotan.

Selepas gerakan duet pembuka itu, para penari laki-laki dan perempuan berpasangan menghambur memenuhi panggung. Suasana riang kental terasa. Gerakan-gerakan canda sesekali terlihat. Saking riuhnya, kadang gerak mereka menjompak-jompak mengajak diri larut dalam keriangan itu.

Tak hanya dendang tarian, tapi musik juga mengalun riang. Seperangkat alat musik, seperti biola, akordeon, kendang, dan gambus, tertata sedemikian rupa. Ditambah lagi pelantun lagu yang kental dengan cengkok Melayu. Bahkan pada satu kesempatan, penonton diajak serta berdendang bersama, membaur dalam panggung.

Pentas itu boleh dibilang tak semeriah keberadaan tari Melayu. Belakangan popularitas tarian Melayu makin memudar. Tokoh-tokohnya juga banyak yang meninggal dan tak sempat melakukan regenerasi.

Bahkan ciptaan Sauti justru populer di luar Indonesia. Di sana, tarian tersebut dipelihara dan dikembangkan menjadi lebih kontemporer. "Mereka menghargai tarian Sauti itu milik Indonesia," Tom menjelaskan. ISMI WAHID

Sumber: http://www.korantempo.com
-

Arsip Blog

Recent Posts