Gebyar Indonesia "Hangatkan" Musim Dingin di Nanchang

Nanchang, Tiongkok - Musim dingin mulai menyapa Kota Nanchang. Pepohonan terlihat menguning dan kecoklatan, bahkan ada yang menyisakan ranting-ranting telanjang tanpa dedaunan. Matahari yang terbit lebih lambat dan terbenam lebih cepat, membuat setiap orang enggan beranjak dari peraduan.

Tapi memang kodrat manusia untuk tak menyerah pada tekanan alam. Di sela gemericik hujan yang turun di akhir musim gugur itu, sayup terdengar hentakan irama-irama nusantara di ibu kota provinsi Jiangxi, Tiongkok itu.

Irama-irama nusantara itu berasal dari ruang pertunjukan kampus Jiangxi Normal University yang tengah menghelat Indonesian Culture Festival (ICF). Event itu digelar oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia Tiongkok cabang Nanchang (PPIT Nanchang) pada 30 Nopember 2014.

Suhu dingin dan cuaca yang kurang bersahabat tak mengurangi antusiasme pengunjung. Ruang pertunjukan yang berkapasitas 300 tempat duduk itu padat oleh penonton. Mereka terdiri dari para mahasiswa Tiongkok, mahasiswa internasional dari berbagai negara, hingga para orang tua dan anak-anaknya.

Terbukti kegiatan tersebut telah "menghangatkan" musim dingin di Nanchang. Dalam pagelaran yang berlangsung dua setengah jam itu, para pengunjung disuguhi berbagai atraksi seni dan budaya Indonesia.

Hampir semua penampil adalah para mahasiswa Indonesia yang tengah menempuh studi di Nanchang. Mereka menampilkan atraksi tarian tradisional dari berbagai daerah di Indonesia, musik angklung, penampilan band dan musik akustik, hingga fashion show yang memperagakan busana tradisional Indonesia.

"ICF adalah satu-satunya event promosi budaya Indonesia yang digelar setiap tahun di kota Nanchang," tutur Rifqi Hasibuan, mahasiswa S2 di Jiangxi Normal University, Nanchang sebagai Ketua PPIT Nanchang sekaligus penanggung jawab ICF, dalam email yang diterima Kompas.com.

Memang tak mudah menggelar acara budaya di negeri orang. Ketersediaan perlengkapan seni pentas menjadi salah satu kendala. Perlu biaya sangat besar untuk mendatangkan berbagai kostum tari dan perlengkapan lain dari tanah air. Toh, selalu ada jalan bagi setiap kemauan.

"Beberapa kostum tari kita desain sendiri, sementara pakaian daerah dan angklung kita pinjam dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Beijing," tutur Valeria Claudia, ketua panitia ICF.

Dua bulan penuh para mahasiswa mempersiapkan acara, mulai dari mendesain pakaian, menjahit, hingga latihan. Alhasil, tahun ini para mahasiswa kembali bisa menghadirkan nuansa Indonesia di tengah perantauan.

Sorak-sorai dan tepuk tangan para pengunjung tak henti bersahutan sepanjang acara. Terlebih lagi, panitia juga menyajikan masakan tradisional Indonesia yang diracik sendiri oleh para mahasiswa. Nasi kuning, perkedel, risoles, bakwan jagung, siomay, hingga minuman beras kencur disediakan cuma-cuma.

"Kegiatan ini sangat positif, dan membantu kami lebih mengenal Indonesia," tutur Rubi Chen, seorang dosen Jiangxi Normal University.

Acara ini juga diramaikan dengan lomba mewarnai untuk anak-anak TK Tiongkok, serta fashion show yang menampilkan pakaian-pakaian tradisional Indonesia, mulai dari pakaian adat berbagai daerah hingga batik.

Yang tak kalah menarik, para peraga busana justru mahasiswa asing dari berbagai negara. Sorak-sorai bergemuruh ketika para mahasiswa dari Tiongkok, Brasil, Rusia, hingga Afrika berlenggang-lenggok mengenakan pakaian-pakaian khas Indonesia. Memang, selain ajang promosi Indonesia, acara ini juga menjadi media untuk mempererat hubungan mahasiswa Indonesia dengan para mahasiswa dari berbagai negara.

"Peningkatan kerja sama bilateral antara pemerintah Indonesia dengan Tiongkok perlu diiringi hubungan baik antarwarganya," tutur Dian Havid yang hadir mewakili KBRI Beijing.

Budaya bisa menjadi media untuk memperantarai peningkatan hubungan itu, mengingat Indonesia dan Tiongkok sendiri memiliki sejarah asimilasi budaya yang panjang.

"Di era yang sangat ekonomistis ini, kita harus tetap menjaga kelestarian budaya leluhur sebagai bagian dari identitas bangsa," tutur Sri Widagdo, Ketua Steering Committee ICF.

Hari itu, pukul 17.00 waktu Tiongkok, hujan lebat masih mengguyur kota Nanchang. Jarum thermometer semakin mendekati angkal nol derajat celcius. Namun, cuaca beku itu serasa lumer oleh semangat lagu "Kebyar-kebyar" yang dinyanyikan serentak oleh 60 mahasiswa Indonesia di atas panggung.

Lagu itu seolah mewakili semangat kecintaan para mahasiswa PPIT Nanchang terhadap tanah air, meski mereka jauh dari kampung halaman. Lantunan lagu gubahan almarhum penyanyi Gombloh oleh seluruh panitia dan penampil acara ICF itu sekaligus menutup rangkaian acara ICF tahun ini.

-

Arsip Blog

Recent Posts