Oleh : Ahmad Arif
Kain berwarna merah dan kuning itu berkibar-kibar. Sesekali berputar dan melilit kupiah meukeutop (peci khas Aceh). Di sudut panggung, dari layar kain samar-samar muncul bayangan buah pisang yang dikupas oleh sang tukang cerita. "Wah, jorok," sebut seorang penonton perempuan sambil senyum dikulum.
Lewat gerak-gerik dan penuturan, sang tukang cerita, Agus Nur Amallebih dikenal dengan nama panggung Agus PM Tohtelah menjadikan kupiah meukeutop itu mewakili sosok sultan. Dan, kain warna- warni mewakili para selir.
Tak sampai satu menit, pergumulan antara "kain" dan kupiah meukeutop itu pun berakhir. Kemudian, terdengar suara dengkur yang keras. "Hanya segini saja kekuatan sultan," tutur Agus, disambut gelak tawa penonton.
Seiring dengkur sultan yang mengeras, sang putra mahkota, yang diamuk cemburu dan berahi, sekonyong-konyong menggotong salah satu selir sultan ke kamarnya. Sultan yang terbangun kemudian hanya mendapatkan kenyataan salah satu selirnya telah lenyap dari peraduan. Begitu melihat kain salah satu selirnya itu terjuntai dari kamar anak kandungnya, kasih dan harap pada sang pangeran pun lenyap. Keputusan yang diliputi amarah pun dititahkan: "Hukum mati pangeran."
"Ayahanda punya puluhan selir, aku hanya ingin merasakan satu saja," demikian pembelaan sang pangeran. Akan tetapi, Zulfikar (pedang kesayangan sultan) tak mengenal ampun. Pada hari yang ditetapkan, sang pangeran pun hanya bisa menunggu ajal.
Agus, yang telah menjelma sebagai sultan dengan kupiah meukeutop-nya, telah mengangkat Zulfikar untuk memenggal kepala pangeran, yang divisualisasikan dalam bentuk buah semangka. Namun, seorang anak kecil tiba-tiba berteriak ke arah panggung, "Jangan, dong...."
Agus menghentikan ayunan pedang. Namun, bukan berarti cerita terhenti. Dengan piawai, Agus memasukkan dialog dengan sang bocah (berisi tawar-menawar untuk melanjutkan adegan pemenggalan) yang terjadi secara spontan itu sebagai bagian pertunjukan berjudul Hikayat Koera-koera Berjanggoet.
"Dilanjutkan, ya. Azhari memang membuat ceritanya seperti itu," bujuk Agus kepada sang bocah, sambil meneruskan memenggal semangka dan memotong-motongnya. Bahkan, dia menawarkan kepada penonton untuk ikut mencicipi semangka itu, yang disambut gelak tawa penonton.
Hikayat ini sebenarnya terdiri atas sembilan sekuel kisah yang menceritakan Aceh dari abad ke-17 hingga abad ke-21. Kisah ini dipersiapkan oleh Azhari, sastrawan Aceh yang memenangi penghargaan Free Word dari Belanda pada tahun 2005, menjadi sebuah buku. Dan, malam itu, Agus menampilkan kisah Hikayat Zulfikar dengan piawai dan penuh improvisasi.
Hikayat baru
Sultan dalam hikayat-hikayat lama Aceh, yang biasa digambarkan sebagai sosok agung, di tangan kolaborasi Agus dan Azhari menjadi pribadi yang lebih manusiawi: memiliki amarah, nafsu berahi, dan juga penuh penyesalan setelah memancung sendiri calon pewarisnya. Mereka seperti sengaja hendak menjungkirbalikkan hikayat-hikayat mainstream yang istana sentris, seperti Bustan us Salatin, Hikayat Aceh, Hikayat Raja-raja Pasai, dan Taj us-Salatin.
Azhari mengatakan, hikayat merupakan seni bertutur yang paling populer di Aceh. Dan, tradisi mengkritisi kekuasaan sultan melalui hikayat sebenarnya sudah ada sejak dulu kala. Di luar hikayat mainstream yang biasanya ditulis pengarang- pengarang istana, telah beredar hikayat pinggiran yang kritis, penuh olok-olok, dan terkadang cabul.
"Jadi, Hikayat Zulfikar ini pada dasarnya hanya ingin melanjutkan tradisi tutur itu dalam bentuk tulisan. Bahwa yang bernama kesultanan atau kekuasaan di mana-mana tak bisa lepas dari kelemahan dan dosa," tambah Azhari.
Dengan gayanya yang konyol dan unik, Agus sebenarnya juga menawarkan modernisasi seni bertutur hikayat. Jika biasanya hikayat yang disampaikan oleh penutur disampaikan dengan "pakem" sesuai cerita yang diwariskan turun-temurun, Agus mematahkan semua itu. Dengan alat bantu visual tak lebih dari bantal dan pedang, Agus mengusung aneka barang keseharian, seperti pemanggang ikan untuk penjara, gayung untuk kapal selam, kain warna-warni untuk selir, dan kupiah meukeutop untuk tokoh sultan.
Penonton tergelak saat Agus menggunakan benda-benda keseharian yang sederhana itu menjelma jadi aneka makna. Agus memang mengajak penontonnya kembali ke masa kecil kala benda-benda masih bisa divisualisasikan menjadi bentuk lain dengan bebas.
"Waktu kita kecil kita sering kali menggunakan benda-benda sebagai alat permainan. Dari kotak korek api bisa dimainkan menjadi mobil-mobilan. Inilah suatu daya khayal yang justru sangat kaya ketika kita masih usia anak," jelas Agus, kelahiran Sabang, 17 Agustus 1969.
Sistem penuturan hikayat yang searah juga ditabrak Agus dengan pola dialogis. Bahkan, sering dia mengajak penonton sebagai pemain dan ikut bertutur di sela-sela pertunjukannya. Metode ini, menurut Agus, dipelajari dari gurunya, almarhum Tgk Adnan atau populer dengan Adnan PM Toh. Nama PM Toh itu diambil dari nama bus lintas Sumatera milik pengusaha dari Lhokseumawe, yang bunyi klaksonnya sering ditirukan Adnan.
Tahun 1991, Agus cuti kuliah dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ) selama setahun dan berkelana dari kampung ke kampung di Aceh, mengikuti Tgk Adnan; seorang penjual obat terkenal di Aceh yang selalu memukau orang dengan kisah-kisah lisannya. Namun, jika gurunya itu mengisahkan hikayat-hikayat lama, seperti Hikayat Malem Diwa, Hikayat Raja Beudiu, dan Hikayat Elia Tujuh, Agus membawakan hikayatnya sendiri.
"Hikayat adalah cermin hidup masyarakat Aceh karenanya selalu berubah sesuai kondisi zaman. Hikayat-hikayat baru harus terus diciptakan," ujar Agus.
Cerita pertama yang ditulisnya adalah Hikayat Anak Emak Mencari Telor, dongeng untuk anak-anak. Tahun 1996, saat situasi politik di Indonesia sudah semakin memanas, Agus mulai menciptakan hikayat sarat kritik sosial dan politik, seperti Hikayat Jenderal Puyer Bintang Toejoh yang mengisahkan jenderal yang korup dan Hikayat Pelayaran Samudra Dunia tentang hampir runtuhnya imperium keluarga Soeharto.
Era tahun 2000, saat konflik di Aceh semakin memanas, Agus menciptakan hikayat Hamzah Fansyuri Anak Dunia, sebuah kisah yang menjelaskan kenapa ada pemberontakan di Aceh. Kecewa dengan proses reformasi, Agus kemudian menciptakan cerita-cerita biografi dari teman- temannya sendiri. Ada Hikayat Udin Pelor, seorang seniman sandiwara di Aceh, mengenai kehidupannya sebagai seorang seniman di kampung.
Kini, selain tampil di TV, panggung-panggung modern hingga ke luar negeri, di antaranya main di Teater Spectakel (Zurich), Agus juga masih tampil di kampung-kampung. Pada Januari-Februari 2006, bersama Komunitas Tikar Pandan yang digawangi Azhari, Agus dan sejumlah seniman tutur Aceh lainnya, seperti Udin Pelor, menghibur korban tsunami Aceh di barak-barak. Pada Mei 2006, kelompok ini kembali mengelilingi 42 kampung di Aceh, membawa pesan perdamaian Aceh.
Direktur Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh Rusdi Sufi menilai bahwa gerakan anak- anak muda Aceh mengusung hikayat-hikayat baru yang kontekstual ini bisa mengukuhkan kembali keberadaan hikayat sebagai sumber kekuatan budaya Aceh. Menurut Rusdi, hikayat adalah ekspresi hidup masyarakat Aceh sejak zaman dulu kala. Masing-masing zaman dan kelompok membawa pesannya sendiri. Misalnya, hikayat yang ditulis seniman sultan akan menuturkan kehebatan sultan.
Namun, di luar itu, Aceh kaya dengan hikayat-hikayat lain, yang berisi kritik sosial hingga hikayat-hikayat cabul. Selama konflik, kreasi seniman-seniman Aceh telah mandek. Kini saatnya merayakan kebebasan itu dengan karya-karya baru....
Sumber: http://www.opensubscriber.com