WWF Tawarkan Konsep Ekowisata di Taman Nasional Sebangau

Palangkaraya, Kalteng - World Wide Fund For Nature (WWF) Indonesia menawarkan konsep pengembangan ekowisata di kawasan Taman Nasional (TN) Sebangau. "Konsep Ekowisata yang ditawarkan WWF Indonesia tersebut berbasis masyarakat (Community Based Ecotourism Development)," kata Pimpinan Projek Konservasi Sebangau WWF-Indonesia Rosenda Ch. Kasih, di Palangkaraya, Selasa (14/7).

Ia menambahkan, konsep tersebut menggabungkan konsep community based tourism dan ecotourism guna menganggkat ekonomi masyarakat tanpa melupakan konsep pembangunan berkelanjutan, dengan berakar pada potensi lokal. TN Sebangau memiliki luas sekitar 568.700 hektare terletak di antara Sungai Sebangau dan Sungai Katingan. Secara administrasi merupakan bagian dari Kabupaten Katingan, Kabupaten Pulang Pisau, dan Kota Palangkaraya. Kawasan ini merupakan hutan rawa gambut yang masih tersisa di Kalteng setelah gagalnya Proyek Lahan Gambut (PLG) sejuta hektare pada tahun 1995.

Ekowisata agaknya menjadi satu istilah yang cukup asing, ekowisata merupakan bentuk pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan mendukung upaya pelestarian lingkungan termasuk di dalamnya adalah alam dan budaya. Ekowisata juga meningkatkan partisipasi masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan TN Sebangau. Dalam pengelolaannya, ekowisata harus dilaksanakan secara bertanggungjawab di tempat-tempat alami, secara ekonomi harus berkelanjutan, dan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat setiap generasi. Ketika ekowisata akan dikembangkan maka potensi sumberdaya alam (SDA) maupun budaya yang selama ini harus dipandang sebagai aset dan minimal harus ada empat pilar yang harus diusung, yakni konservasi, ekonomi, pendidikan, dan partisipasi masyarakat itu sendiri.

WWF Indonesia melihat kawasan Sebangau merupakan kawasan konservasi dengan ribuan jenis flora yang menjadi habitat hidup berbagai satwa dengan species kunci orangutan. Di sekeliling TN Sebangau, berinteraksi berbagai budaya khas masyarakat Suku Dayak Kalteng dengan kehidupan tradisionalnya dalam memanfaatkan SDA tersebut. "Mereka harus memiliki nilai dan porsi tawar yang setara dengan pihak lain, ketika ekowisata ini dibangun dan dikembangkan. Masyarakat tidak boleh hanya menjadi objek dari pengembangan, tetapi harus menjadi pemilik dari kegiatan ekowisata," kata Rosenda Ch Kasih. (OL-04)

Sumber: http://www.mediaindonesia.com 17 Juli 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts