Adat kawin-mawin masyarakat etnis Lamaholot yang meliputi Kabupaten Flores Timur, Kabupaten Lembata, dan Kabupaten Alor memang bukanlah perkara mudah dan amat rumit.
Di Jawa proses pernikahan memang sangat mudah. Asal punya pasangan, restu orang tua, sudah. Jadwal menikah di depan penghulu (KUA) atau pemberkatan di gereja bisa langsung dilakukan. Teman saya, wartawan koran terbesar di Indonesia, hanya butuh waktu kurang dari dua bulan untuk berkenalan dengan cewek (dia tidak pacaran dulu), meminta restu calon mertua, penetapan jadwal, dan hari-H menikah di depan penghulu. Kemudian ramah-tamah, pesta sederhana. Jadilah mereka pasangan suami-istri.
Kenapa bisa secepat ini? Orang Jawa, dalam contoh ini, sudah lama tidak terikat lagi pada adat-istiadatnya.
Masuknya agama Islam di akhir kejayaan Kerajaan Majapahit telah merasuk ke sumsum orang Jawa. Islam sudah jadi way of life, segala sesuatu serba dirujuk dari Alquran dan Alhadits alias ajaran Islam. Dan agama Islam memang pada dasarnya sangat memudahkan pernikahan asalkan sama-sama beragama Islam. Tidak pakai kursus persiapan perkawinan, mengecek buku induk, seperti di Gereja Katolik.
Orang Jawa bahkan selalu dimotivasi untuk segera menikah kalau sudah cukup umur dan punya pekerjaan. Pria Jawa disarankan menikah sebelum berusia 25 tahun. Wanita tentu lebih muda lagi.
Di Flores, sayangnya, Gereja Katolik belum menjadi satu-satunya rujukan hidup. Saya mengalami sendiri, adat lama (animisme) jauh lebih kuat ketimbang Gereja Katolik. Lihat saja, begitu banyak orang yang kawin kampung (baca: kawin secara adat), tapi belum menikah secara Katolik atau hukum sipil. Adat lama ini begitu kuatnya sehingga orang tua tak akan pernah mau menikahkan anaknya tanpa mempertimbangkan
prinsip-prinsip adat.
Belis atau mas kawin merupakan persoalan paling prinsip sebelum sebuah pernikahan diresmikan di gereja. Di Jawa, mas kawin atau belis ini hanya sekadar simbolis, misalnya perangkat alat salat, uang tunai sekadarnya. Pihak perempuan tidak akan menolak meskipun mas kawin hanya Rp 100 ribu atau Rp 50 ribu.
Berkali-kali saya dengar ada pengantin pria yang hanya bisa memberi mas kawin alat-alat salat dan uang receh yang disesuaikan dengan tanggal pernikahan mereka. Misalnya, nikah tanggal 25 Juni 2006, maka mas kawinnya 25.606, dua puluh lima ribu enam ratus enam rupiah.
Di Flores, mas kawin simbolis alias iseng-iseng macam ini tidak akan pernah terjadi. Belis merupakan urusan yang benar-benar serius, dibahas secara intensif oleh dua keluarga besar, sampai ada deal di antaranya kedua belah pihak.
Belis di Flores Timur adalah gading gajah atau bahasa daerahnya BALA. [Di Flores lain juga belis sangat ditekankan, hanya wujudnya berbeda.] Aneh bin ajaib, Flores Timur yang tak punya seekor pun gajah sejak tempo doeloe mensyarakatkan gading (bala) sebagai belis. Mungkin, karena superlangka inilah, nenek moyang menjadikannya sebagai mahar atau mas kawin.
Jauh sebelum pernikahan, digelar KODA KIRING alias pertemuan adat di antara keluarga besar wanita dan pria. Yang terlibat adalah keluarga besar (fam/suku/marga), bukan orang tua kandung saja seperti di Jawa dan tempat-tempat maju lain di Tanah Air. Biasanya, KODA KIRING ini digelar sepanjang malam, beberapa hari, sampai ada kesepakatan.
Waktu kecil saya kerap nguping pembicaraan mereka sambil menikmati makanan enak. Suasana rata-rata tegang, menjurus panas, karena pihak perempuan (OPU LAKE) meminta call yang tinggi. Gebrak meja adalah hal biasa, apalagi para pemuka adat menenggak tuak selama rapat berlangsung.
OPU LAKE menginginkan BALA alias gading kualitas terbaik, setidaknya setara dengan gading yang dulu diterima ibu calon mempelai wanita. Tak boleh lebih rendah. Mereka yang derajatnya tinggi, umumnya menuntut belis mahal. Panjangnya sekian, diameter sekian, mulus, jumlahnya sekian.
Pihak keluarga pria (ANA OPO) dalam posisi tertekan. Mengalah. Kata-katanya halus. Cenderung merayu. Minta agar call dari OPU LAKE tadi diturunkan. Rapat hari pertama lazimnya deadlock, karena OPU LAKE ngotot jaga gengsi. Lalu, disepakati rapat adat kedua, ketiga, keempat… dan seterusnya.
Jika kedua belah pihak tetap tidak mau mengalah, bukan tak mungkin pembicaraan soal belis (BALA) ini berlangsung beberapa bulan. Sering terjadi rapat adat terus-menerus buntu sehingga calon mempelai patah semangat: putus hubungan atau melarikan diri ke Malaysia. Tragis!
Kalau belis BALA ini sudah disepakati, barulah persoalan tetek-bengek lain dirancang. Misalnya, kewajiban-kewajiban kedua belah pihak, bentuk pesta seperti apa, PENANG atau antaran, kambing-babi (atau sapi), hingga jadwal pernikahan. Pihak gereja baru diberi tahu ihwal rencana pernikahan setelah persoalan adat-istiadat ini beres.
“Jangan sampai setelah menerima sakramen pernikahan di gereja masih ada utang masalah adat. Kasihan keluarga mereka,” ujar almarhum Pastor Petrus Maria Geurtz, S.V.D. [RIP].
Dalam kenyataan, persoalan gading ini tetap menyisakan masalah bagi pasangan pengantin tertentu. Keluarga wanita yang tadinya mengalah, bisa memahami kemampuan laki-laki, tiba-tiba terprovokasi untuk meminta belis yang lebih berkualitas. Secara adat memang dibenarkan.
Bagaimana kalau tidak bisa membayar belis? Wah, si pria itu bakal terus menjadi ‘tawanan’ keluarga wanita selama utangnya tidak dibayar. Dia harus mengabdi kepada OPU LAKE yang telah merelakan anaknya untuk dinikahi.
Soal belis atau mahar atau mas kawin BALA (gading) ini terlalu njelimet untuk dipahami orang-orang di luar Flores Timur. Sejarahnya begitu panjang. Begitu banyak misionaris, pastor lokal, pemerintah, meminta agar persoalan ini disederhanakan. Boleh ada belis, tapi jangan terlalu kaku ala orang-orang zaman 1950-an hingga 1970-an awal. Toh, tradisi yang sudah berurat berakar ini tidak bisa dihapus begitu saja.
Sejak tahun 1980-an anak-anak muda Lembata atau Flores Timur banyak yang hijrah ke tempat lain untuk sekolah, kuliah, atau bekerja. Tak sedikit yang tinggal di Jawa seperti saya. Di tempat baru ini lingkungannya berbeda, adat lain, tradisi lama di kampung halaman tak bisa dilaksanakan begitu saja. Beberapa teman saya mengaku sangat menikmati pernikahannya dengan gadis-gadis Jawa: prosedur mudah, tidak pakai BALA, semua serba efisien.
Di Jakarta yang begitu moderen sekalipun keluarga besar Flores tidak ingin melupakan tradisi adatnya begitu saja. Semua prosedur dilaksanakan meskipun tidak seheboh kalau pesta pernikahan itu digelar di LEWOTANAH, kampung halaman.
***