Orasi Sastra dan ’Maria Zaitun’ untuk Mengenang Rendra

Jakarta - Dewan Kesenian Jakarta menggelar acara "Napak Tilas Sastrawan Indonesia: W.S. Rendra" dengan menghadirkan orasi sastra "Kawindra Wafat, Hidup Kawindra" oleh Remy Sylado dan pertunjukan naskah "Maria Zaitun" oleh Amien Kamil berkolaborasi dengan pelukis Hanafi di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta (25/11).

Remy Sylado seorang seniman sastra, musik, lukis dan akting membacakan orasi sastra berdurasi 30 menit yang menceritakan sosok Willibrordus Surendra Broto Rendra atau yang lebih akrab disapa W.S Rendra sebagai seorang "Kawindra" yang berarti seorang penyair besar dalam bahasa Kawi.

Dalam orasi sastra yang berjudul "Kawindra Wafat, Hidup Kawindra" Remy Sylado mengkritik pemimpin bangsa yang lebih menghargai seniman populer daripada seorang "Kawindra" seperti Rendra.

"Berita wafatnya Rendra berdekatan dengan meninggalnya Mbah Surip. Serta merta saya prihatin sebab konon Presiden RI ke-6 dan ke-7 Susilo Bambang Yudhoyono merasa lebih terpanggil memberikan belasungkawa kepada Mbah Surip ketimbang kepada Rendra," kata Remy Sylado dalam orasi sastranya, Senin (25/11).

Selain itu Remy Sylado juga membacakan salah satu puisi Rendra yang berjudul "Balada Penyaliban" dan menjelang akhir orasinya, seniman berusia 68 tahun ini memuji Rendra sebagai seorang pemimpin.

"Memang di sana istimewanya Rendra. Selain Kawindra, di dalam teater Rendra adalah Agramanggala, dalam bahasa Kawi artinya adalah pemimpin paling unggul," kata Remy Sylado menutup orasi sastranya.

Acara ditutup dengan pertunjukan naskah "Maria Zaitun" oleh Amien Kamil berkolaborasi dengan pelukis Hanafi, dua seniman yang sudah sering melakukan pagelaran mancanegara seperti Tokyo, Toronto dan Barcelona.

"Maria Zaitun" diadopsi dari puisi Rendra berjudul "Nyanyian Angsa" yang berkisah tentang hidup seorang pelacur yang tersingkir dari rumah bordil, tidak diterima rumah ibadah dan mengidap penyakit tetapi tidak bisa ditolong rumah sakit.

Pertunjukan naskah ini dibalut dengan tata panggung yang hidup sehingga memberikan kesan mencekam namun bisa menyatu dengan beberapa dialog komedi sehingga sangat memainkan emosi para penonton.

Sebelumnya acara ini dibuka dengan dengan diskusi sastra mengenang W.S Rendra oleh Dr. Max Lane, Dosen Politik dan Studi Internasional di Victorian College of the Arts, University of Melbourne dan penulis sastra Seno Gumira Adjidharma. Keduanya membahas kritik Rendra dalam puisi dan drama.

Setelah diskusi juga dilakukan pemutaran arsip berharga yakni rekaman audio pembacaan puisi Rendra pada tahun 1978 di Taman Ismail Marzuki, satu malam sebelum Rendra ditangkap dan dipenjara selama beberapa bulan tanpa pengadilan oleh pemerintah kala itu.

Program Napak Tilas Sastra Indonesia merupakan ruang untuk memperbincangkan dan menafsir kembali mutiara pemikiran sastrawan Indonesia yang sudah tiada. Dengan cara ini karya-karya sastrawan menjadi tetap hidup.

-

Arsip Blog

Recent Posts