London, Inggris - Sebanyak 12 anak Inggris berusia delapan hingga 10 tahun yang sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia muncul di panggung dan bersenandung "Becak, becak tolong bawa saya..." dengan aksen kental Inggris.
All Saint's Children Choir di bawah pimpinan Luke Green hanya berlatih sekitar tiga bulan namun dari pentas utama, berhasil memukau 200-an penonton, warga Inggris bercampur dengan warga Indonesa dalam Festival tahunan Indonesia kontemporer (IKON) yang digelar ARTiUK di SOAS, University of London, akhir pekan.
IKON, yang diadakan untuk ke tiga kalinya, diresmikan Dubes RI untuk Kerajan Inggris , T.M. Hamzah Thayeb menghadirkan suasana Indonesia di London dan berhasil menarik perhatian masyarakat Indonesia dan juga warga Inggris yang ada di London, demikian Direktur ARTiUK, Felicia Nayoan-Siregar kepada ANTARA London, Senin.
Dubes T.M. Hamzah Thayeb menyampaikan penghargaannya dan terima kasih kepada para pengunjung Indonesia Kontemporer 2013. "Seni dan budaya merupakan salah satu upaya diplomasi yang efektif," ujarnya.
Usai menyampaikan sambutan, Dubes Thayeb berbaur dengan para penonton Inggris dan perantau Indonesia di aula utama menyaksikan fashion show yang menampilkan rancangan kontemporer Leny McDonnell yang berbasis corak tekstil tradisional Indonesia.
Felicia Nayoan-Siregar mengatakan berbagai kekayaan Indonesia ditampilkan dalam Indonesia Kontemporer diminati komunitas di luar masyarakat Indonesia. "Dan minat yang tinggi seperti ini memaksa saya untuk langsung merencanakan Indonesia Kontemporer 2014 walau lelah untuk persiapan tahun ini belum pulih," ujarnya.
Dikatakannya Indonesia Kontemporer yang digelar lembaga nonprofit ARTiUK bekerja sama dengan Centre of South East Asian Studies-University of London ini didukung penuh KBRI serta BKPM London.
Menurut Felicia, IKON juga bertujuan mengenalkan keragaman budaya Indonesia ke panggung internasional dan sekaligus mendukung warga Inggris yang terinspirasi oleh seni budaya Indonesia.
Sementara itu Dr Carol Tan, Ketua Centre of South East Asian Studies SOAS, mengharapankan Indonesia Kontemporer melembaga sebagai acara seni dan budaya Indonesia di London. "Ini merupakan tahun yang ketiga dan saya harapkan terus berlangsung."
Suasana Tanah Abang
Suasana pasar Tanah Abang tiba-tiba terasa hadir di pusat kota London dengan hadirnya sebanyak 16 warung makanan menjual beragam makanan mulai dari rendang, tempe, ayam pedas, sate, bakso, soto, rujak, bubur sumsum, pempek, dan berbagai makanan kering.
Sejumlah kerajinan tangan dan tekstil Indonesia ikut dipajang dan dijual. Suasana pasar Tanah Abang tiba-tiba terasa hadir di pusat kota London.
Perantau yang kangen Indonesia maupun warga Inggris yang suka berpetualang kuliner pun membawa tas plastik berisi bumbu dan kopi sase serta kerupuk.
Sementara itu Diane Gaffney, memamerkan koleksinya dan sekaligus membuka sesi dan tanya jawab di ruang diskusi, yang juga diramaikan dengan pembahasan tentang arsitektur dan seni di Indonesia dengan pembicara arsitek Indonesia Daliana Suryawinata dan periset tekstil Inggris, Lesley Pullen.
Pemeran kain antik tradisional koleksi pribadi Lesley dan Diccon Pulen dari Lampung dan Palembang memukau warga Indonesia yang merasa belum pernah melihatnya. Seorang peneliti tekstil Batak asal Belanda, Sandra Niessen juga hadir menuturkan pengalamannya dalam peneliatian ulos di tanah Batak. Presentasinya disusul dengan film pembuatan ulos berjudul Rangsa ni tonun.
Dalam festival Indonesia juga tampil Jagat Gamelan yang beranggotakan segala usia campuran warga Inggris dan Indonesia . Kelompok amatir dari London yang beranggotakan anak sekolah, mahasiswa, karyawan, maupun ibu rumah tangga ini sudah beberapa kali tampil di pentas umum dan agaknya sudah memiliki pendukung setia yang memenuhi aula utama.
Penampilan dua jago tari topeng Bali terbaik di Inggris Tiffany Strawson dan Margaret Coldiron, membuat penonton tertawa lepas saat menampilkan kisah klasik dunia Barat, Red Riding Hood.
Acara puncak diisi dengan penampilan kelompok tari Indonesia kontemporer asal Australia yang baru menyelesaikan tur di Eropa daratan. Lima penari antara lain mempertontonkan tari kipas yang dikemas dengan gerakan yang lebih cepat dan sentuhan modernitas untuk pakaiannya.
Dan menutup kehadiran bumi Indonesia di London, giliran para hadirin yang mengisi panggung dengan tarian bersama Poco-poco. Tua muda, laki perempuan, Inggris dan Indonesia, berjilbab maupun berok mini sama-sama melintasi batas-batas budaya untuk menikmati satu seni Indonesia.
Sumber: http://www.antaranews.com