KOMISI Pemberantasan Korupsi mendapat pelaksana tugas untuk menggantikan tiga pemimpin yang beperkara. Tumpak Hatorangan Panggabean menggantikan Antasari Azhar, Mas Achmad Santosa sebagai Deputi Bidang Penindakan, dan Waluyo Deputi Bidang Pencegahan. Sebagai pelaksana tugas, ketiganya menghadapi tugas berat: mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap KPK yang menurun.
Mas Achmad Santosa adalah orang baru di lembaga itu. Meski begitu, Ota—demikian panggilan akrabnya—adalah salah seorang panitia seleksi pimpinan KPK yang sekarang tugasnya digantikannya.
Ota bukan orang asing di kalangan pegiat organisasi nonpemerintah bidang hukum. Pendiri kantor hukum Lubis, Santosa, dan Maulana ini aktif di bidang pemberantasan korupsi, reformasi, dan hukum lingkungan.
Rabu lalu, ia menerima Akbar Tri Kurniawan, Anton Aprianto, Cheta Nilawati, dan Endri Kurniawati dari Tempo di rumahnya di Bumi Serpong Damai untuk sebuah wawancara. Ota menceritakan seluk-beluk proses penunjukan para pelaksana tugas, hal-hal yang akan dilakukan, dan tantangan yang dihadapi. Berikut ini petikannya.
Apa yang dibicarakan dalam rapat pimpinan KPK?
(Awak) KPK sebulan-tiga bulan berada di daerah, kami tidak punya cabang. Kami ingin minta ruang di Kejaksaan Tinggi untuk jaksa KPK.
Apa yang dilakukan pertama kali di KPK?
Ada beberapa keputusan yang diambil. Yang jelas yang dua hal: pemilihan ketua dan pembagian tugas.
Apa prioritasnya?
Restoring public confident. Memulihkan kepercayaan publik. Publik tahunya penindakan, itu saja.
Kasus Century akan diambil KPK agar tidak mengesankan pelaksana tugas bukan titipan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono?
Kami paham harapan publik. Siapa sih yang mau mengorbankan diri dengan menjadi titipan? Jauhlah dari gitu-gitu. Kami paham harapan publik, tapi semua harus dilandasi profesionalisme.
Jangan mengangkat kasus karena untuk meningkatkan popularitas. Kalau by product kami mengangkat kasus lalu kami populer, tidak jadi masalah. Tapi harapan publik jelas kami dengar betul. Kami lihat betul buktinya cukup tidak. Kami tidak punya SP3 (surat perintah penghentian penyidikan), sehingga harus benar-benar prudent. Kasus-kasus itu semua jadi pertimbangan.
Kasus mana yang diprioritaskan?
Saya nggak mungkin ngomong ini. Tapi saya tahu maksud Anda ke mana. Waktu (pelaksana tugas) pendek, jangan sampai keluar tidak melakukan apa-apa. Saya ingin punya kontribusi. Tumpak dan Waluyo juga begitu.
Harapan publik begitu besar sekaligus hampir patah arang. Bagaimana memulihkannya?
Kami tahu, melalui penindakan. Penindakan itu diwujudkan dengan penanganan kasus. Ya, kasus yang sedang diolah, kasus yang sudah matang, cukup bukti. Tidak ada diskriminasi.
Apa yang dilakukan Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI terhadap KPK itu sebuah gertakan?
Masak sih kami nyerah pada gertakan? Ini bukan untuk kepentingan pribadi kami. Kami masuk KPK untuk citra bangsa. Nggak usah takut, why? Kami harus berjalan sesuai mandat undang-undang.
KPK jilid I tebang pilih. KPK jilid II tebang pilih. KPK yang sekarang, yang mana?
Ingat sama sumpah saya saja. Tidak boleh membeda-bedakan gender, ras. UU KPK juga mengatakan begitu, tidak boleh dilandasi diskriminasi.
Kan, sudah terbukti ada kriminalisasi, apa tidak hati-hati?
Tidak tahu, ya. Feeling saya kriminalisasi tidak mungkin akan terjadi lagi. Kenapa? Saya tahu plt tidak didukung masyarakat, tapi mereka akan marah kalau ada kriminalisasi lagi.
Waktu bertemu dengan kami bertiga, SBY mengatakan, jangan dipaksakan kalau tidak ada buktinya. Tapi kalau memang betul, buktinya cukup secara hukum, ya, harus diproses. Kalau kesalahannya kecil, hukumannya jangan terlalu besar; kalau besar, ya, besar. Begitu beliau bilang. Istilah dia, jangan dipaksakan.
Yang di-highlight kok malah "jangan dipaksakan", bukan mendorong agar bekerja lebih progresif? KPK kan bolongnya di situ?
Tidak itu..., aduh salah lagi. Itu kan dari pembicaraan panjang. Di situ ada Menko Polkam, Mensesneg, Pak Sudi. Jadi dia (Presiden) bilang... pengen kenalan lebih secara personal. Presiden menegaskan kembali komitmennya sejak 2004. Janji-janji kampanyenya. Artinya (pemberantasan) korupsi itu.
Ada upaya rekonsiliasi dengan kepolisian?
Sebetulnya, Chandra, juga saya bicara. Harusnya kami intensif berkoordinasi dengan mereka (polisi). Berkoordinasi, berinteraksi, berkomunikasi bukan berarti terkooptasi. Dengan Presiden, kami perlu interaksi. Tugas KPK itu kan bukan hanya penindakan, juga reformasi birokrasi. Selama ini laporannya dari menterinya saja. Ada sistem pemerintahan yang bolong-bolong. Itu kewajiban KPK sebagai lembaga negara untuk berkomunikasi secara intensif dengan Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung.
Jadi banyak hal yang perlu kami bicarakan. Penyidik masih dari kepolisian, penuntut dari kejaksaan.
Terlepas dari itu, mereka masih menghormati korpsnya....
Ada wacana seperti Malaysia, yang punya penyidik sendiri. Tapi itu butuh waktu lama. Konsepnya harus dimatangkan, tapi harus dimulai. Kalau wacana saja, nanti kelamaan. Berbentuk satu konsep yang konkret.
Kalau jaksa dan hakim belajar dari kasus-kasus kecil, kalau KPK langsung kasus besar, apa bisa?
Atau pensiunan polisi dan jaksa?
Tua-tua, dong?
Pak Bibit tua, tapi lebih radikal dari yang muda. Menurut saya, perlu ada rekrutmen sendiri, misalkan penyidik dan penuntut yang diberikan ke KPK dites dulu. Itu yang perlu dikonkretkan.
Biar tidak bocor, perlu penyidik dan penuntut sendiri. Tapi kok malah mau ngantor di kejaksaan?
Kalau pinjam (bangunan) fisik tidak boleh, ya? Idealnya kami punya kantor di seluruh provinsi. Cuma kan perlu biaya besar banget. Kekhawatiran-kekhawatiran itu saya pahami. Tapi tidak sampai independensi KPK diganggu hanya karena kami menggunakan fasilitas kejaksaan.
KPK akan membantu Bibit dan Chandra?
Kami, pimpinan KPK, harus membantu full. Lawyer pasti kami sediakan, bujet dan sebagainya. Karena mereka kena (masalah), karena menjalankan tugas. Kami beri ruangan untuk berkoordinasi dengan lawyer. Gajinya masih (dibayar), 75 persen.
KPK juga mendukung agar Susno Duadji diperiksa?
Kami melakukan persuasi kepada beberapa pihak. Kami all out membela mereka semua.
Anda merasakan harapan masyarakat terhadap KPK sudah menurun?
Saya menerima 500-an SMS, semua mendukung. Artinya mereka tahu KPK ada masalah dan perlu dijaga bareng-bareng.
Jasin pernah bilang di lingkup internal KPK sendiri resah....
Semangat Jasin dan Harjono kembali lagi. Lalu kami bicara dengan (personel) struktural, mereka satu perahulah. Bersemangat seperti kami. Kami minta mereka jangan ragu-ragu. Trust us. Menurut saya, mereka bersemangat.
Berarti besok ada tersangka lagi?
Harapan Anda sama dengan harapan saya.
Butuh berapa lama adaptasi sehingga on fire lagi?
Kami maksud bukan mereka dari nol. Cuma kan banyak persetujuan (dari) pimpinannya (yang sekarang) tinggal dua. Mulai besok, apa yang ada di depan mata, kami jalan.
Kasus Century jalan tidak?
Tahu aja kamu. Memang kasusnya banyak.
Tapi sudah dengan bukti di tangan?
Kalau tidak ada bukti di tangan, kami tolaklah.
Kecepatan KPK periode pertama, katakanlah 50, periode kedua kecepatannya 70. Plt ini berapa kecepatannya?
Maunya berapa? (tertawa). Janganlah.... Saya baru masuk sehari langsung ngomong kasus. Mereka di penindakan bekerja keras, lo. Mereka itu (polisi) bintang dua, komisaris besar. Kalau mereka ingin berkarier, pindah saja ke kepolisian. Jadi saya harus menghargai mereka.
Mengapa Anda menerima menjadi plt?
Dulu waktu KPK jilid II, saya didorong untuk melamar. Saya tidak punya niat sama sekali. Tapi, pada saat perpu keluar, saya agak konsen. Kenapa perpu ini keluar? Waktu saya ketemu Pak Haryono, beliau bilang, gimana Pak, (pimpinan) tinggal dua. Saya bilang, jalan terus.
Saya sangat khawatir SBY mengeluarkan nama-nama (pimpinan KPK secara) langsung. Itu berat. Apalagi kalau yang ditunjuk orang-orang yang kita tidak tahu. Tapi akhirnya (SBY) mengeluarkan Keppres Tim Lima. Saya agak lega. Paling tidak ada Pak Ruki, Todung, dan (Adnan) Buyung. Saya tahulah ketiganya.
Saya baru mau kontak Bang Buyung untuk kasih saran. Kok, tumben tidak kontak-kontak saya. Tiba-tiba Pak Ruki kirim SMS. Bilangnya, "Pak, bisa bicara." Saya curiga.
Bilangnya di hotel?
Tidak, SMS. Apakah saya bisa menelepon. Kalau Pak Ruki yang menelepon saya curiga ini. Berapa kali Bang Buyung telepon missed call. Lalu Bang Buyung telepon lewat istri saya (pengacara Lellyana Santosa), karena saya capek. Waktu itu saya di Singapura dengan keluarga.
Saya bicara dengan Bang Buyung dan Andi Mattalata (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia). Intinya, perlu orang yang memang konsisten di bidang pemberantasan korupsi, punya integritas, visi, dan diterima. Saya bilang, saya harus pikir-pikir dulu. Mereka bilang jangan lama-lama.
Berat meninggalkan UNDP?
Tidak. Saya pengen tahu pekerjaan saya. Saya bisa keluar setiap saat jika Chandra masuk (lagi) karena saya menginginkan dia keluar (dari belitan perkara). Yang penting saya (bekerja) sama siapa? Mereka (Tim Lima) bilang, wah tidak boleh, rahasia. Saya bilang butuh tiga hari untuk mantap. Lalu diundang ke rumah Pak Ruki, berlima berkumpul.
Saya lihat Pak Tumpak dan Pak Waluyo. Saya tanya, benar, ya, Bang mereka berdua. Kata Pak Widodo, "Pak Ota, tidak ada apa-apa di dalam pikiran saya." Dia bilang, nama-nama ini (Tumpak, Waluyo, dan Santosa) Tuhan yang memberikan. Semua tidak diseleksi, hanya ditanya kesediaannya. Tapi saya jadi ragu karena mendengar komposisi akan berubah.
Kolega itu penting. Kalau berantem karena ketidaksamaan kan bahaya. Taruhlah dua orang itu tidak kredibel di mata masyarakat, berat. Buat saya, ini tantangan. Bisa tidak? Dulu saya (sebagai aktivis lembaga nonpemerintah) ngomong saja.
Dengan UU Tindak Pidana Korupsi, apa tidak banyak hal yang menghambat?
Tidak ada yang dipangkas kewenangan KPK. Full.
Mungkin UU Tipikor yang diambangkan?
Memang itu bermain di kata-kata. Keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) tidak memutuskan kewenangan penyadapan. Tapi kewenangan penuntutan tidak akan dihilangkan.
Hanya penyadapan yang agak terganggu?
Tidak ada. UU yang dipakai UU KPK. Artinya boleh saja penyadapan dilakukan dengan akuntabel. Jangan sampai kami kehilangan momentum. Sekarang ini koruptor itu canggih. Tapi mungkin juklak dan juknis harus kita gali.
Ada ketakutan dikriminalisasi lagi?
Mereka sih (awak KPK) tidak takut. Yang dikriminalisasi kan pimpinan. Semua tanggung jawab diambil alih pimpinan. Mereka kerja profesional saja.
Tapi kan lemas juga kalau bosnya diambil lagi?
Sekarang sudah ada lagi. Sekarang ini sudah bicara penindakan. Pokoknya penindakan terus.
Bagaimana hubungan dengan kepolisian?
Anda ada usul, tidak? Yang pasti bertemu dengan Kapolri.
Untuk apa Susno ke KPK bertemu dengan Jasin?
Ya, paling lapor saja.
Bukan karena sudah tersudut?
Anda lebih tahu, saya tidak komentar.
Kalau datang lagi gimana?
Tidak mungkin.
Kalau datang untuk koordinasi perkara, seharusnya Kepala Polri. Kalau karena tugas, kenapa harus lewat pintu samping?
Kalau saya bukan pimpinan KPK, saya bisa komentari. Tapi saya pimpinan dan Anda tahulah hati saya.
Ada sekat besar dengan Kepolisian?
Yah, berat.
Apa yang akan dilakukan dengan Kepolisian?
Salah satunya mengenai Chandra dan Bibit, itu pasti. Yang lainnya, supervisi kasus korupsi yang ditangani polisi. Mungkin kami juga akan berkoordinasi supaya lebih sama-sama. Saya siapkan dulu konsepnya. Semacam summit di antara stakeholder penegak hukum. Sekarang one to one dulu, nanti bisa bekerja sama.
Inspektorat Pengawasan Umum Polri bilang tidak ada kesalahan Susno memeriksa dua pimpinan KPK....
Soal itu saya serahkan kepada Pak Tumpak. Kami banyak pendapat untuk soal itu.
Suara pimpinan terpecah?
Belum dianalisis. Baca pun saat saya pulang ke sini.
KPK punya bukti kuat terhadap tindak pidana Susno, ada nasihat dari Buyung, misalkan?
Ya, Bang Buyung memberikan saran kepada kami sebagai apa. Sebagai masyarakat, kawan, ya, tidak apa-apa.
Kepolisian belum pernah memanggil KPK sebagai pelapor? Bagaimana sikap KPK?
Saya harus ngomong dulu dengan pimpinan yang lain.
Terima jadi cicak?
Tidak. Saya sudah ngomong ke mereka. Buktinya terlalu banyak. Nanti saya bilang ke Pak Tumpak. Besok saya rapat soal ini. Mengertilah, ini ada kepentingan yang lebih besar.
Susno sudah jelas menemui Anggoro Widjojo?
Besok pasti pengacaranya Bibit dan Chandra akan ngomong. Marah pasti.
Saat Antasari terpilih, masyarakat kaget. Tapi Antasari lalu membuat gebrakan. KPK sekarang mau seperti itu?
Setelah itu wartawan tepuk tangan.... Termasuk saya kecewa juga. Kok, bisa Antasari? Setiap ketemu saya, dia (Antasari) selalu bilang, tidak terbukti kan saya punya rumah di Pondok Indah.
Anda tahu background Antasari?
Tahu. Dia pernah minta uang pada Indrianto Seno Adji. Minta uang ke Juan Felix. Indriarto mengadu ke saya, cuma tidak berani testimoni. Payah mereka itu....
Dikasih tidak?
Tidak dikasih. Saya telepon Hendarman dan Komaruddin, dan mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Tidak setuju Antasari sebelumnya.
Lalu alasannya apa?
Tidak tahulah, politik di DPR. Tahu tidak, orang-orang baik seperti Fajrul Falakh dan Hikmahanto Juwana omong banyak, tapi mendukung Antasari. Marah saya. Daniel Sparingga membela mati-matian. Romli, yang awalnya tidak setuju, eh jadi setuju.
Mendatang, seorang pemimpin tidak bisa mengambil keputusannya sendiri?
Tidak, kecuali ada yang bandit. Yang bandit cuman dia (Antasari). Antasari mah bandit banget. Orang kan harus ada di kantor sehari penuh. (Dia) tiba-tiba ke Hotel Mahakam, jalan-jalan. Ia punya kartu masuk.
Sekarang plt ini berat. Dulu KPK diperbantui LSM. Sekarang LSM hanya melihat, menunggu kiprah kami.
BIODATA
Nama: Mas Achmad Santosa
Lahir: Jakarta, 10 Maret 1956
Istri: Lellyana Santosa, dan mempunyai anak satu
Pendidikan: 1) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2) The Osgoode Hall Law School di York University
Pekerjaan: Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan
Karier:
Senior Advisor di UNDP
Konsultan pembaruan di Mahkamah Agung dan Kejaksaan
Anggota panitia seleksi pimpinan KPK
Pendiri, peneliti senior, dan direktur di Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
Penasihat hukum untuk Partnership for Governance Reform di Indonesia
Pendiri Kantor Pengacara Lubis, Santosa, & Maulana Law Officers
Anggota Tim Pembaruan Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung
8. Koordinator Tenaga Ahli Kejaksaan Agung
Penghargaan: Satya Lencana Pembangunan Nasional
Sumber : Koran Tempo, Minggu, 11 Oktober 2009