Yogyakarta - Ancaman terhadap warisan budaya semakin mengkhawatirkan disebabkan oleh pembangunan dan modernisasi yang prokapital serta berorientasi ekonomi sehingga menempatkan aspek budaya pada posisi marjinal, utamanya di kawasan kota, kata Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X.
“Dalam buku The Eye of Power, Micahel Foucault memuat pemikiran penting tentang ruang kota dengan mengintepretasikan geografi manusia. Ruang seperti halnya waktu, memiliki hubungan yang unik dengan manusia,” katanya pada diskusi panel Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 di Hotel Ambarukmo Jogyakarta, Rabu [09/10].
Lebih lanjut Sultan mengatakan bukan hanya karena manusia hidup di dalamnya tetapi karena manusia juga menghidupinya dengan kehangatan dan jiwa.
“Namun selama ini hampir seluruh diskursus mengenai kemajuan hanya berkutat pada pertumbuhan dan pembangunan fisik. Pertumbuhan memang terwujud dalam bentuk fisik dan angka, tetapi tidak banyak menyentuh spiritualitas dan kesejahteraan sebagian masyarakat. Mereka hanya bisa diam terpana menyaksikan perubahan besar-besaran melanda kota-kota mereka”.
Jalanan terasa penuh sesak tetapi sejatinya kosong karena isi lebih diartikan secara materialistik belaka. “Yang terjadi di jalanan adalah perlombaan kekuasaan. Kendaraan besar menguasai kendaraan kecil, demikian seterusnya yang berakhir pada pejalan kaki”, katanya.
Menurut Sultan dehumanisasi, sistematis itu mencerminkan sistem pembangunan kota. Bangunan bersejarah dibongkas, ruang publik digantikan bangunan baru yang indah dipandang tetapi sama sekali tidak memiliki akar budaya setempat.
“Kegelisahan ini kian menyuburkan kesadaran pentingnya memanusiakan manusia kota agar tidak menjadi anonim di tengah geliat raksasa globalisasin” tambahnya.
Namun dibalik kekhawatiran itu, ia memberikan contoh sebaliknya, yaitu upaya pelestarian dan pemanfaatan bangunan gedung di sub-kawasan Titik Nol Kilometer Yogyakarta yang memberi penghargaan terhadap pluralisme.
“Pluralisme adalah ajakan bagi perencana kota dan pengambil keputusan akan arti pentingnya mengkonservasi bentuk lama yang masih bermanfaat selain menyediakan akomodasi kebutuhan di masa datang,” katanya.
Lebih lanjut Sultan mengatakan proses pewarisan budaya itu berlangsung dan bersinggungan dengan globalisasi budaya. Persentuhan budaya ini setidaknya menghasilkan dua hal, penyerbukan dan glokalisasi budaya.
“Fertilisasi silang antarbudaya mewujud dalam aristektur bangunan peninggalan budaya masa lalu. Penyerbukan antar unsur lokal dan luar menghasilkan peradaban unggul yang memesona masyarakat internasional,” kataanya.
Sementara, kekuatan glokalisasi atau melokalkan globalisasi yang berarti tidak sekadar menerjemahkan setiap hal yang masuk tetapi harus mampu memperkuat integrasi nasional.
Sumber: http://beritasore.com