TANPA pengalaman dasar ilmu politik dan politik praktis, Marzuki Alie memimpin Dewan Perwakilan Rakyat. Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Partai Demokrat ini memimpin perusahaan milik negara. Ia pernah pula bekerja di Departemen Keuangan. "Saya tidak punya basis politik," ujar Marzuki.
Di lembaga yang kini dipimpinnya, alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya, Palembang, ini menghadapi banyak masalah yang diwarisi dari anggota Dewan periode sebelumnya. Beberapa di antaranya adalah target yang tidak tercapai, kualitas kerja yang kurang menggembirakan, dan citra parlemen yang tercoreng akibat beberapa anggota tersangkut perkara hukum.
Kamis petang lalu, Marzuki memaparkan rencana yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah itu kepada Endri Kurniawati, Munawaroh, dan fotografer Imam Sukamto di kantornya.
Jika di DPR ada koalisi besar, termasuk Partai Demokrat, bagaimana cara DPR menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono?
Dalam menjalankan fungsi legislasi (pembuatan undang-undang), kan ada checks and balances antara pemerintah dan DPR. Jika undang-undang bertentangan dengan UUD, akan ada peradilan melalui Mahkamah Konstitusi. Untuk fungsi budgeting, DPR membahas (penyusunan anggaran) bersama pemerintah. Ini ada mekanismenya.
Jangan berpikir tidak akan ada kontrol jika ada koalisi yang besar. Kontrol terus berjalan karena Demokrat hanya 148 kursi. Betul ada yang berkoalisi. Tapi presiden kan tidak mungkin mengontrol semua pekerjaan menterinya. Perlu lembaga lain yang independen yang mengawasi pelaksanaan undang-undang dan anggaran. Fungsi pengawasan akan tetap berjalan.
Kalau berasal dari partai yang sama dan koalisi yang besar di parlemen, kan kemungkinan cara berpikir dan platformnya sama?
Oh, beda.
Kepentingannya kan sama?
Kepentingannya sama, kan untuk rakyat. Jika kepentingannya untuk rakyat, pasti sinergis. Tapi, kalau yang satu main-main, di sinilah fungsi kontrol, mengawasi.
Ada lembaga lain yang mengawasi, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang melihat pelaksanaan anggaran. Masih banyak lembaga independen yang mengawasi jalannya (pemerintahan) ini. Jangan khawatir, kalau pemerintahannya korup, DPR korup, kan ada BPK.
BPK melapor ke DPR, DPR-nya sama dengan pemerintah, ya jadi nggak akan ada masalah....
Laporan BPK itu bisa ditindaklanjuti. KPK kan bisa menindaklanjuti temuan BPK. KPK itu lembaga yang kuat.
Bagaimana menjaga mekanisme checks and balances di DPR jika koalisi begitu besar?
Di komisi banyak anggota fraksi yang mewakili partainya. Rata-rata tiap komisi ada sembilan partai, sembilan anggota fraksi. Tentu akan terjadi diskusi dan debat.
Media juga kan tiap saat menginformasikan, LSM, organisasi massa memantau. Ini bukan zaman Orde Baru. Sekarang media enak saja mukulin pemerintah dan pemerintah nggak bisa berbuat apa-apa.
Kenapa Anda berpolitik?
Saya jadi korban media. Saya diangkat jadi Direktur PT Semen Baturaja pada 1999 pada saat perusahaan bangkrut. Perusahaan masuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN, dibentuk untuk menyehatkan perbankan, menyelesaikan aset bermasalah, dan mengupayakan pengembalian uang negara yang tersalur melalui perbankan). Saya jadi direktur karena tidak setuju perusahaan itu dijual. Kalau dijual dengan harga Rp 0—kata konsultan Amerika, Boston Consulting Group—dan akan dibeli oleh Cemex (perusahaan semen asal Meksiko).
Dalam setahun, perusahaan saya keluar dari BPPN. Asetnya Rp 1,2 triliun. Lalu ada masalah pengadaan senilai Rp 93 juta. Saya dituduh meramaikan korupsi. Tidak dilihat kami menyelamatkan aset Rp 1,2 triliun. Yang dikembangkan hanya yang Rp 93 juta itu.
Saya hanya teken cek, pengadaannya bukan saya. Dalam sangkaan, saya disebut sebagai kepala keuangan proyek, saya nggak pernah pegang jabatan itu. Karena ada politisasi, saya jadi tersangka. Ketika (pengadaan) itu, kurs sekitar Rp 2.500, lalu dolar menjadi Rp 16 ribu. Kalau beda kurs, kan (nilainya) jadi naik. Selisih ini dibilang korupsi. Kan gila, itu (ditulis) terus oleh media sampai 2001 ketika saya jadi sekretaris jenderal dan pencalonan (legislator) kemarin. Saya merasa nggak pernah nyuri.
Saya akhirnya protes ke Kejaksaan Agung, kalau mau ditangkap, tangkaplah. Tapi jangan dibiarkan begini (kasusnya). Akhirnya dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan.
Dari Baturaja ke mana?
Partai. Saya minta diberhentikan, nggak diberhenti-berhentikan dari posisi direktur. Karena nggak diberhenti-berhentikan, saya minta menyatakan berhenti pada 2005 setelah jadi Sekretaris Jenderal (Partai Demokrat).
Saya nggak punya basis politik, nggak ada (background) ilmu politik. Nggak punya pengalaman politik. Di politik ini saya pingin yang lurus-lurus, beretika, sehat, solutif. Jangan hanya mementingkan pribadi dan golongan.
Bagaimana Anda mengatasi masalah kinerja?
Saya sedang memetakan kondisi sambil membenahi. Dengan tahu kelemahannya apa saja, trennya bagaimana, kita bisa membenahi.
Apa yang paling mencolok?
Yang paling kelihatan langsung kita benahi.
Sudah ada inventarisasi dari periode sebelumnya?
Lho, komisi-komisi kan baru terbentuk. Dari situ bisa dievaluasi. Jangan terburu-buru tapi hasilnya nggak ada. Kerja itu harus dengan konsep. Kalau tidak dengan konsep, tidak sistematis, tidak akan menyelesaikan masalah yang besar, yang dominan dan diprioritaskan.
Kadang-kadang orang berpikir cuma kuantitatif. Undang-undang yang disahkan sekian banyak, tapi undang-undang yang diperlukan tidak pernah dibicarakan.
Contohnya?
Ini contoh. Kan ada yang berpendapat, ada undang-undang tentang sesuatu tidak pernah dibahas kok yang dibicarakan yang receh-receh. Tapi itu pendapat. Makanya kita inventarisasi dulu. Nanti akan saya bicarakan dengan pimpinan (DPR). Targetnya ditentukan, baru kita susun langkah-langkah.
Pada pertemuan awal, saya lihat ada yang bicara asal-asalan, interupsinya. Padahal dalam tata tertib sudah jelas, harus dengan etika. Ini masalah kan? Akhirnya kita sepakati: seluruh anggota Dewan ikut ESQ, termasuk wartawan di DPR. Kebetulan kami ada kerja sama, nggak bayar serupiah pun. Kami tiga hari (ikut training) di sana. Agar bicara ada etikanya.
Bukankah yang demikian sudah harus selesai sebelum mereka jadi anggota DPR? Asumsinya, mereka kan orang-orang pilihan? Ini jadi seperti baru belajar?
Beda. Seperti bank yang baru merger. Budaya harus dibangun. DPR ini lembaga tersendiri. Mereka berasal dari mana-mana. Budaya yang ingin dibangun adalah yang beretika, santun. Orang dari macam-macam (partai) ini tahu budaya yang ingin dibangun. Membangun budaya ini tidak mudah juga. Membangun kultur itu tidak mudah.
Itu pengalaman Anda bekerja di BUMN?
Saya banyaklah (pengalaman), dari (institusi) macam-macam. Kalau sudah punya budaya, akan berjalan dengan enak. Kita pikirkan kepentingan bangsa, buka baju (predikat). Saya ingin kami memutuskan (segala sesuatu) bersama. Ini kepemimpinan kolektif kolegial. Yang dibicarakan ke luar adalah hasil keputusan ini. Memang tidak mudah, tapi saya yakin bisa.
Apa konsepnya untuk membangun budaya itu selain ikut ESQ?
ESQ itu untuk introspeksi dulu. Agar orang menyadari, menyadari arti hidup, mengerti bahwa tidak hanya pikiran yang sebelah, ada pikiran sebelah lagi yang bisa digunakan. Ada unsur spiritualnya, ada kebahagiaan spiritual lain yang bisa kita capai. Kalau bicara begini, akan lebih enak ngomong-nya.
Jadi konsepnya apa?
Makanya harus ada kesepakatan (dengan pimpinan lain). Saya nggak mau ngomong secara pribadi. Tapi intinya, budaya Timur itulah yang kita bawa. Yang halus budi pekerti, punya etika, menghargai orang lain. Makanya SBY menang karena berpegang pada budaya Timur ini.
Kayaknya bakal setuju semua dengan pemerintah, nih?
Ini kan (pikiran) negatifnya media. Makanya media saya ajak ikut ESQ. Kami bukan antikritik, tapi konstruktif.
Sudah membicarakan target dengan pimpinan lain?
Kalau sudah tahu posisi (masalahnya), saya tentukan targetnya. Kami sudah bekerja dan memperbaiki kelemahan tiap hari. Perbaikan sambil berjalan, target besarnya kita petakan dulu agar tahu posisinya.
Tidak ada catatan evaluasi dari periode sebelumnya?
Kalau saya sendirian kan nggak bisa. Komisi-komisi mempelajari tinggalan yang lalu dan menginventarisasi. Dari situ kami tahu tugas-tugas yang harus dikerjakan, PR baru, dan menentukan prioritas serta targetnya. Tanpa begitu, seperti bawa kucing dalam karung.
Tidak mempertimbangkan pencapaian sebelumnya? Misalnya, dari 186 undang-undang yang disahkan, hanya 70 yang berasal dari Prolegnas. Dari yang disahkan pun, 18 di antaranya dibawa ke Mahkamah Konstitusi, belum lagi yang kontroversial....
Yang banyak disahkan undang-undang pemekaran (pembentukan) daerah, kan? Bukan undang-undang yang digunakan orang untuk bekerja, pedoman bernegara, dan menjalankan pemerintahan.
Saya wacanakan apakah tidak sebaiknya, jika ada keraguan tentang pasal-pasal yang (berisiko) akan di-judicial review, dikonsultasikan. Konsultasi itu bukan berarti DPR berada di bawah MK. Bukan berarti MK terlibat dalam konteks eksekutif dan legislatif.
Ada hal serupa yang diatasi dengan cara itu?
Ini kasusnya sama seperti BPK sebagai lembaga auditor independen pemerintah. Tapi kita sering konsultasi kepada BPK tentang masalah yang multitafsir. Sama dengan ini. Sehingga tidak akan mempengaruhi dia (MK) bekerja. Ini untuk referensi saja untuk menggarap rancangan undang-undang.
Sebelum diketok, kita konsultasikan dulu kalau kita ragu. Tidak akan mempengaruhi independensi MK. Kalau setelah konsultasi lalu ada judicial review, ya, silakan proses. Kalau memang ada perubahan pemikiran, ya, silakan dibatalkan. Tapi setidaknya ada solusi terobosan. Sudah tahu kita lemah, kita perkuat dengan mencari ahli hukum pemerintahan, tata negara.
Selama ini kan selalu ada draf akademik, berdiskusi dengan akademisi, tapi hasil diskusi itu sering tidak dihiraukan.
Berarti masih ada kekurangan ilmunya.
Ada masalah dengan sumber daya manusianya?
Nah, berarti harus ditingkatkan.
Caranya bagaimana?
Sambil meningkatkan kemampuan, pengetahuannya dengan pengalaman, kita lakukan konsultasi antarlembaga. Orang kalau tidak ditempa pengalaman, omong kosong pengetahuannya. Dengan banyak menghadapi banyak persoalan, dia tahu. Dengan konsultasi, ke depannya dia sudah tahu.
Bukankah personel itu sudah bagus di partai? Orang yang terbaik yang ada di DPR, bukan setelah di DPR baru diperbaiki?
Yang salah kita juga. Berapa banyak sarjana yang nganggur? Berapa banyak sarjana bekerja di luar bidangnya? Itu kami perbaiki sambil berjalan.
Persoalan bisa diselesaikan melalui sistem, sumber daya manusianya, dan implementasinya. Sistem bagus, orang bagus, kalau kongkalikong kan rusak juga.
Anggota parlemen periode sebelumnya banyak tersangkut masalah hukum. Bagaimana caranya agar tidak terjadi lagi?
Kita perbaiki sistemnya. Tunggu saja, lihat nanti kinerja DPR. Terlalu banyak janji kan nggak baik.
Punya cara untuk mencegah?
Makanya kita ajak ESQ.
Anda berharap sangat banyak terhadap ESQ untuk menyelesaikan banyak masalah di sini?
Tidak juga. Tapi setidaknya sudah memulai sesuatu yang baik. Apa yang paling baik untuk memperbaiki etika 560 anggota DPR dari partai berbeda? Yang terbaik pengajian mingguan. Pengajian akan mengajari akidah kita. Yakinkan apa yang kita kerjakan pasti diawasi Tuhan. Yang tahu akidah tidak akan (korupsi).
Jadi konsep dan sistem itu yang menghindarkan orang dari korupsi...
Saya percaya itu.
BIODATA
Nama: Marzuki Alie
Lahir: Palembang, 6 November 1955
Istri: Hj Asmawati, dengan dua anak
Alamat: Jalan Permata 21, Kebon Pala, Jakarta Timur
Pendidikan: 1) Kandidat PhD dari Universiti Utara Malaysia, Sintokh, Kedah, Malaysia, untuk Marketing Politik, 2) Magister Manajemen Universitas Sriwijaya, Palembang, 3) Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya, Palembang
Organisasi:
Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat, Jakarta, 2005-2010
ungsionaris DPP Partai Demokrat, Jakarta, 2003-2005
Majelis Pertimbangan Daerah Partai Demokrat Sumatera Selatan 2002-2003
Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Kopertis Wilayah II, 2003-2006
Wakil Ketua Asosiasi Semen Indonesia 1999-2005
Pengalaman Kerja:
Komisaris utama kelompok usaha PT Global Perkasa Investindo, 2006-sekarang
Direktur Komersial PT Semen Baturaja, Palembang, 1999-2006
Pegawai negeri di Departemen Keuangan RI Palembang, 1975-1980
Sumber : Koran Tempo, Minggu, 18 Oktober 2009