Prof Sutandyo Wignyosubroto: Mempertanyakan Keadilan di Peradilan

SIAPA bilang keadilan akan selalu didapat di meja peradilan? Menurut tokoh pluralisme hukum Prof Sutandyo Wignyosubroto (77), hukum sangat keras kepada mereka yang lemah, sebaliknya sangat lemah kepada mereka yang kuat.

”Itu hasil pengamatan saya,” ujar Pak Tandyo, begitu ia disapa, ”Hukum yang digerakkan untuk mengadili orang lemah, sangat keras. Sebaliknya, untuk mengadili yang kuat, dia lemah. Downward law is always greater than upward law.”

Pak Tandyo dikenal sebagai ilmuwan kritis dan konsisten. Ia pakar sosiologi hukum dan pelopor aliran antipositivisme dalam hukum. Murid-muridnya, termasuk para dosen dan ilmuwan kritis serta aktivis gerakan sosial, menganggapnya sebagai guru dan panutan.

Pak Tandyo ditemui di lobi hotel berbintang empat di kawasan Jakarta Selatan, seusai menjadi narasumber diskusi yang diselenggarakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Selasa (8/12).

Begitukah praktik yang biasa terjadi?

Ya, kalau hukum dikonsepkan terbatas pada soal undang-undang. Dalam sejarahnya, orang mengejar kepastian hukum. Untuk itu, hukum kemudian dituliskan dulu secara pasti, eksplisit, istilahnya secara positif, sebagai undang-undang. Ada semacam petunjuk pelaksanaan (juklak) dan itu selalu dirumuskan dalam bentuk sebab-akibat; perbuatan ini, akibatnya itu.

Hukum vs Keadilan

Tak sulit membuktikan Mbah Minah memang mencuri tiga buah kakao dari kebun PT RSA seperti didakwakan. Sebaliknya, akan sangat sulit membuktikanTantular (Robert Tantular, kasus Bank Century-Red) mengambil uang milik orang lain.

”Kadang hukum memang diskriminatif. Pada yang lemah, yang tidak bisa melakukan pembelaan diri, dia keras. Sebaliknya, dia lemah pada yang kuat, yang dibentengi sekian pengacara, apalagi kalau punya posisi politik. Pada akhirnya kita harus mengakui, life is not so fair, ” ujar dia.

Katanya kita akan menuju pada kondisi yang lebih baik?

Cita-citanya begitu. Maunya equal before the law, tetapi mungkinkah menyetarakan Mbah Minah dengan orang besar, sebut saja siapa. Kenyataannya, Mbah Minah tak bisa bayar pengacara, tak bisa berbahasa Indonesia, tak bisa baca kitab undang-undang, marjinal dari segala sisi.

Sebenarnya bisa diupayakan agar antara yang ideal dengan kenyataan jaraknya tak terlalu jauh. Salah satunya adalah bagaimana memperlakukan undang-undang. Kerja hakim memang harus mendasarkan diri pada undang-undang, tetapi di lain pihak dia seharusnya mempertimbangkan faktor-faktor yang tidak terlalu bersifat yuridis formal.

Di sini dibutuhkan kearifan-kearifan hakim sehingga keadilan tidak terletak di undang-undang, tetapi di hati nurani. Jadi, hakim dilatih otaknya untuk bisa membaca undang-undang dan mengetahui penerapan produk hukum serta doktrin-doktrinnya, tetapi masih diperlukan, dan ini yang sekarang kurang sekali, yaitu kepekaan, kemanusiaan.

Adakah keadilan di luar hukum?

Jangan membicarakan hukum sama dengan keadilan. Hukum hanya menertibkan. Tertib hukum, bukan keadilan. Jangan mengandalkan keadilan hanya dari hukum positif. There is legal justice, but there is another legal justice. Itulah social justice.

Mbah Minah mungkin memperoleh keadilan secara hukum, tetapi baik Mbah Minah maupun perusahaan itu mempertanyakan keadilan sosialnya. Yang punya kakao itu perusahaan besar, sementara Mbah Minah miskin dan buta huruf. Apa kasus itu tak bisa diselesaikan baik-baik secara kekeluargaan?

Kalau dalam hukum formal, sistemnya memang bukan untuk mencari keadilan, tetapi untuk membuktikan hukum telah dilaksanakan. Sekalipun langit-langit runtuh, hukum harus ditegakkan, meskipun yang dimaksud sebenarnya bukan hukum, tetapi keadilan, justicia.

Vulgar

Menurut Pak Tandyo, pemikiran-pemikiran sekarang jangan hanya tertuju pada hukum (undang-undang) yang berlaku untuk seluruh tatanan nasional, dari Sabang sampai Merauke. Hukum itu dibuat oleh lembaga-lembaga di mana orang desa tak ikut bicara dan buruh tak terlibat ketika hukum perburuhan dibuat.

”Kalau tidak sangat diperlukan, jangan sampai bersengketa di peradilan. Kalau di situ, yang menang pasti yang punya dana membayar pengacara dan punya posisi kuat di bidang politik, ekonomi, sosial,” ungkap dia.



Sulit memenuhi rasa keadilan untuk kasus-kasus besar yang dikhawatirkan mengganggu stabilitas nasional, meskipun jelas-jelas merugikan banyak warga?

Betul. Untuk kasus besar, yang bertindak juga kekuatan besar. Kalau kekuatan besar ini juga kalah besar dengan yang diperkarakan, ya seperti adu kuat saja. Hukum undang-undang memang vulgar dan sebenarnya bebas nilai. Para ahli hukum menyebutnya positivistik. Positivisme berasal dari filsafat Perancis yang dasarnya saintisme; sebab-akibat, bukan baik-buruk, adil-tidak adil. Kausalitas formalistik. Mencuri hukumannya sekian tahun, menipu sekian tahun. Dilihat tingkah lakunya. Orang yang mencuri beras sekilo karena anaknya kelaparan tidak menjadi pertimbangan.

Sistem kita ini mengasumsikan hakim adalah mulut yang membunyikan undang-undang. Ini agak lain dengan di Amerika. Di sana hakim making the law. Itu sistem common law, tradisinya Inggris dan Australia. Hakim bisa mempertimbangkan, kalau perlu menyisihkan undang-undang dan mengambil keputusan berdasarkan kearifannya, hati nuraninya.

Dulu, Belanda memperkenalkan sistem untuk mengadili orang desa karena orang desa tidak tunduk pada undang-undang, tetapi tunduk pada kebiasaan dan adat. Kalau hakim mau mengadili, dia tanya dulu kepada tetua-tetua desa hukum apa yang berlaku di situ. Sekarang kan tidak. Hakim merujuk pada badan legislatif dengan menggunakan bahasa Indonesia yang belum tentu dipahami orang desa seperti Mbah Minah. Itu kan sama dengan Anda diadili dengan bahasa Yunani....

Mungkin pada zaman kolonial, pendidikan hakim lebih menggugah rasa kemanusiaan. Dulu hakim dididik khusus. Pendidikan hakim pertama di Indonesia tahun 1908, namanya Sekolah Kejuruan untuk Ahli-ahli Hukum Pribumi, hanya untuk jadi hakim yang mengadili orang pribumi. Jumlah yang diterima tak lebih dari 20, mulai usia 13 tahun, lulus SD Belanda, dan punya cara berpikir Barat. Mereka diasramakan. Lama pendidikan enam tahun dan bisa melanjutkan ke Belanda untuk menjadi sarjana hukum.

Bermata Dua

Meski secara resmi telah pensiun sebagai pengajar dari Universitas Airlangga Surabaya, tahun 1997, mantan muridnya yang menjadi pejabat di kampus itu masih memberinya ruangan untuk bekerja. Sampai tahun 2002, ia masih aktif di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Ia masih terbang ke sana-kemari menjadi narasumber dan berbagai kegiatan lain, termasuk menjadi saksi ahli untuk pihak yang mengajukan peninjauan kembali terhadap UU Pornografi.

Ia juga memberikan komitmen membangun lingkar belajar bersama, suatu wahana belajar tentang aliran-aliran hukum yang dihidupi berbagai kelompok, termasuk para dosen.

”Saya pernah tidak lulus waktu ujian di fakultas hukum,” ungkap dia. Pasalnya, ketika ujian lisan hukum pidana, dia dianggap tak menjawab secara tepat penyelesaian kasus yang diajukan karena tidak menyebut pasal-pasal dalam kitab undang-undang.

”Kalau belajar di fakultas hukum pertama-tama yang harus dipegang adalah pasal-pasal itu,” ia mengutip ucapan profesornya waktu itu.

”Lalu saya pikir-pikir, soal keadilan, soal moral itu belajarnya bukan di fakultas hukum, tetapi di filsafat atau di mana, dan tidak bisa jadi hakim. Ini ironi. Kalau Anda mau mencari keadilan, belajarlah soal keadilan, bukan soal undang-undang,”

Lalu?

Karena itu saya tidak menjadi hakim, tidak melanjutkan studi mengenai hukum. Saya mendalami ilmu sosialnya. Saya urun rembuk kritik hukum dari sudut ilmu sosial.

Kenapa tidak menjadi hakim?

Bagaimana berhadapan dengan orang, yang karena berbagai alasan, Anda tidak tega membuat keputusan? Dalam perkara besar, meski katanya hakim harus independen, acapkali dia tak bisa lepas dari desakan politis dari kanan-kiri.

Anda mengatakan paradigma hukum harus berubah....

Pasal-pasal dalam hukum undang-undang hanya bisa diterapkan melalui tindakan hakim. Maka, hakimnya harus dididik secara khusus. Bedil menjadi alat kekejaman atau perlindungan, terletak pada orangnya. Kalau profesionalisme sudah rontok hukum, akan menjadi alat eksploitasi. Seperti pedang bermata dua, bisa dipakai untuk pembelaan, tetapi juga bisa dipakai menodong. Kalau lingkungannya corrupted yang bekerja di dalamnya juga corrupted. (Maria Hartiningsih & Ninuk Mardiana Pambudy)

SERBA BERSAHAJA

ENTAH berapa lama lagi Prof Sutandyo akan bertahan di rumah dinas yang sudah dia huni sejak tahun 1958. Pihak Universitas Airlangga, kata Sutandyo, mengeluarkan surat edaran, meminta para dosen pensiunan segera meninggalkan rumahnya.

”Sebenarnya penghuni berhak membeli rumah itu setelah 20 tahun menempati, tetapi waktu itu rektor meminta supaya jangan dibeli karena ada di kompleks kampus. Kalau dibeli, tanah kampus terpotong,” ujarnya.

Kemudian dibuat perjanjian. Rumah boleh dihuni istri sampai 1.000 hari setelah meninggalnya suami. ”Tampaknya perjanjian itu telah dilupakan,” ujarnya.

Meski tak punya rumah pribadi, sebenarnya ia tidak keberatan meninggalkan rumah dinas itu. ”Saya bisa tinggal di paviliun rumah anak saya,” katanya, ringan. Namun, para penghuni yang lain meminta dia tinggal agar kekuatan perlawanan menolak surat edaran tidak berkurang.

Jalan Berbelok

Rumah itu meninggalkan kenangan yang nyaris sempurna; kehidupan berkeluarga yang penuh, sampai sang istri, Asminingsih, yang hidup bersamanya sejak tahun 1965, berpulang pada 8 Juni 2005.

Menurut banyak sumber, Pak Tandyo merawat dan mendampingi sang istri sepanjang perjuangannya melawan kanker. Rasa kehilangan itu masih tersirat cukup pekat sampai kini. ”Hidup kami sederhana,” ungkap anak kedua dari 11 bersaudara pasangan Soekandar, pensiunan Perusahaan Jasa Kereta Api, dan Rr Siti Nardiah.

”Saya sekolah dengan beasiswa. Waktu anak kedua lahir, sempat jual kulkas. Sekarang keadaan ekonomi sudah jauh lebih longgar, mestinya saya berbagi dengan istri. Dulu kami selalu pergi berdua,” kenangnya.

Ia merasa menjadi guru adalah takdirnya setelah ayahnya mendorong dia berangkat ke Michigan, Amerika Serikat. Saat itu studinya di Fakultas Hukum Universitas Airlangga tinggal skripsi. Ternyata itulah jalan untuk belok. Dia tidak menjadi hakim, tetapi guru.

”Saya baru tahu setelah pengukuhan guru besar tahun 1987. Saya sowan ayah saya yang sedang sakit. Saat itu ayah memeluk saya dan menangis tersedu-sedu. Ia mengatakan, ’Aku dulu disuruh eyangmu jadi guru, tetapi tidak mau. Sekarang anak-anakku semua jadi guru’.”

Bersahaja

Pak Tandyo dikenang banyak orang karena kebersahajaannya. Ketika menjadi anggota Komnas HAM, gajinya sejak tahun 1993 sampai 2002 adalah Rp 800.000 ditambah uang transpor Rp 1 juta sebulan. Untuk mengirit uang transpor antarkota, dari bandara dia baik bus, disambung jalan kaki ke kantor Komnas HAM.

Ia naik sepeda kalau mengajar. Suatu hari Sabtu, ia berangkat ke kampus untuk menguji. Ketika selesai, sepedanya tak ada di tempat. Karena dicari tak ketemu, ia pulang. ”Saya pikir, kalau sudah hilang, ya sudahlah.”

Saat tidur siang, ia dibangunkan karena ada laki-laki muda mengantarkan sepedanya. ”Ia pikir sepeda itu milik cleaning service. Katanya, ia cuma pinjam sebentar.”

Menjelang magrib, ia kembali dikejutkan oleh antaran sepeda baru yang dibeli para mahasiswa atas usul sosiolog Dr Daniel Sparringa setelah mendengar kabar sepeda Pak Tandyo hilang. ”Sekarang saya punya dua sepeda he-he-he....” (MH/NMP)

Sumber : Kompas, Senin, 14 Desember 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts